Ekspor-Impor Sektor Manufaktur
Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor Universitas Indonesia
KOMPAS – (3/8/2021) Dana moneter internasional (IMF) mengubah prediksinya. Walaupun ramalan pertumbuhan global untuk 2021 tetap 6 persen, IMF menaikkan prediksi untuk negara-negara maju dan mengoreksi pertumbuhan negara-negara berkembang ke bawah. Perbedaan kecepatan vaksinasi merupakan kunci utama divergensi pertumbuhan tersebut.
Bagi Indonesia, yang sangat relevan adalah pertumbuhan dua raksasa dunia, AS dan China. Transmisinya ke dalam negeri melalui kegiatan ekspor dan impor. China, walaupun pertumbuhannya tidak sefantastis triwulan I-2021, mencatat pertumbuhan tahunan 7,9 persen pada triwulan II-2021. Kendati mulai terjadi perlambatan di China, pertumbuhan AS tetap dapat mengompensasinya. Tercatat pertumbuhan AS di triwulan II-2021 sebesar 6,5 persen atau naik dari 6,4 persen pada triwulan sebelumnya.
Neraca dagang
Data neraca dagang Indonesia untuk Juli 2021 belum dipublikasikan. Namun, momentum pertumbuhan AS dan China masih tetap dirasakan sampai Juni 2021, yang tercatat surplus 1,32 miliar dollar AS dan membantu menopang nilai tukar rupiah. Ekspor pada Juni 2021 naik 9,52 persen dibandingkan Mei menjadi 18,55 milliar dollar AS. Jika dibandingkan dengan Juni 2020, terjadi kenaikan 54,46 persen. Sumbangan terbesar dari ekspor nonmigas, mencapai 17,31 miliar dollar AS. Tiga negara tujuan utama ekspor nonmigas ialah China (4,13 miliar dollar AS), AS (2,13 miliar dollar AS),serta Jepang (1,36 miliar dollar AS).
Ekspor industri manufaktur pada Januari-Juni 2021 naik 33,45 persen. Ekspor manufaktur kebanyakan merupakan permintaan dari AS yang masyarakatnya mempunyai daya beli ekstra akibat stimulus dan mempunyai preferensi pada barang tahan lama. Ekspor hasil pertanian naik 14,06 persen yang menunjukkan tetap ada permintaan dari sistem rantai pasok dunia.
Adapun untuk produk setengah jadi, peningkatan terbesar ada pada besi baja senilai 486,4 juta dollar AS atau meningkat 32,31 persen. Sementara itu, produk jadi ekspor kendaraan dan suku cadangnya naik 42,19 persen.
Untuk mengekspor barang manufaktur, diperlukan impor bahan baku/penolong dan barang setengah jadi, selain impor barang modal. Idealnya, untuk meningkatkan daya ungkit, kebutuhan impor barang-barang input ini dipenuhi oleh industri dalam negeri. Namun, hal ini tidak dapat dipaksakan jika bahan baku impor justru meningkatkan persepsi kualitas di pasar internasional. Ini menjelaskan mengapa pelanggan di luar negeri mensyaratkan penggunaan barang input luar negeri dalam pemesanannya, kecuali barang input dalam negeri mempunyai persepsi kualitas atau dari merek yang kuat.
Model probabilitas linier sederhana menunjukkan, variabel input yang diimpor ini sangat kuat memengaruhi orientasi ekspor. Sebelum tahun 2020, setiap kenaikan rasio input yang diimpor sebesar 1 persen akan meningkatkan kecenderungan mengekspor 0,23 persen. Kendati demikian, efek ini hilang (tidak signifikan secara statistik) pada sampel sesudah tahun 2000.
Salah satu interpretasinya ialah walaupun bertahap dan tidak masif, mulai terjadi substitusi impor ke arah bahan baku yang dihasilkan industri input dalam negeri. Interpretasi yang lain, impor input ini juga dilakukan industri yang tidak berorientasi ekspor yang memanfaatkan daya beli kelas menengah dalam negeri. Hal ini terlihat dari komposisi bahan baku/penolong yang masih sekitar 75 persen dari total impor.
Impor Juni 2021 tercatat 17,23 miliar dollar AS atau naik 21,03 persen dibandingkan Mei 2021 atau naik 60,12 persen dibandingkan Juni 2020. Akibatnya, surplus neraca dagang menjadi 1,32 miliar dollar AS, lebih kecil daripada Mei 2021 yang sebesar 2,36 miliar dollar AS. Namun, hal ini lebih sehat karena menandakan kegiatan ekonomi sudah meningkat.
Peningkatan terbesar pada impor barang modal (porsi 15 persen), seperti mesin dan peralatan mekanis, sebesar 506,7 juta dollar AS atau naik 28,31 persen. Adapun impor bahan baku/penolong yang porsinya sekitar 75 persen dari impor total ialah 13,04 miliar dollar AS atau naik 19,15 persen per bulan.
Peningkatan aktivitas perekonomian terlihat dari angkai ndeks pengadaan manajer persediaan di sektor manufaktur (PMI) yang meski mulai menunjukkan penurunan sebagai akibat lonjakan pandemi, masih tetap dalam zona ekspansi karena tertolong ekspor. Angka PMI Indonesia turun dari 55,3 pada Mei ke 53,5 pada Juni.
Implikasi
Angka PMI manufaktur mengimplikasikan antara satu perusahaan dan yang lain saling terkait karena barang input harus dibeli, baik dari dalam negeri maupun impor. Untuk melihatnya, digunakan survei manufaktur tahunan BPS. Usaha kecil didefinisikan sebagai usaha yang tenaga kerjanya sampai 100 orang, sementara skala menengah 100 sampai 500 orang, dan kategori usaha besar adalah dengan tenaga kerja lebih dari 500 orang.
Dengan menggunakan model durasi ekspor, kemampuan bertahan dari usaha kecil dipengaruhi oleh pertumbuhan industri besar yang berbentuk korporasi berada di dalam aglomerasi yang sama. Usaha kecil berorientasi ekspor dapat menjadikan industri besar sebagai sumber informasi teknologi dan pasar sekaligus sebagai hub untuk ekspor. Usaha kecil yang bukan eksportir dapat memasok berbagai input industri ke usaha besar. Jika kebetulan usaha besar itu sekaligus eksportir, secara tidak langsung usaha kecil tersebut tercatat juga sebagai eksportir.
Sementara itu, kaitan antara skala menengah dan industri besar/korporasi secara statistik lemah. Dalam hal ekspor, usaha menengah cenderung membuat rantai pasokan di antara mereka sendiri selain mengimpor barang input.
Berikutnya, model pertumbuhan unit usaha digunakan untuk melihat potensi naik kelas. Hasilnya, pertumbuhan usaha menengah terkait dengan pertumbuhan industri besar/korporasi. Lebih mudah bagi usaha menengah untuk naik kelas ke skala besar dibandingkan dengan skala kecil ke menengah. Bagi usaha menengah, kaitan dengan industri besar terjadi melalui spillover teknologi dan informasi ketimbang melalui rantai pasokan.
Sementara itu, usaha kecil selain ekspor langsung dapat menjadi pemasok usaha besar/korporasi. Namun, tidak semua kebutuhan input esensial dapat dipenuhi oleh usaha kecil sehingga impor tetap harus dilakukan oleh usaha besar.
Karakter hollow in the middle dalam uraian di atas menyebabkan impor meningkat lebih cepat daripada ekspor ketika ekonomi menggeliat. Dalam hal ini, Undang-Undang Cipta Kerja dengan regulasi turunan yang tepat berpotensi menurunkan ekonomi biaya tinggi untuk memperkuat kaitan antar skala usaha sehingga daya ungkit dalam negeri dapat ditingkatkan.
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 3 Agustus 2021. Rubrik Umum – Analisis Ekonomi. Halaman 15.