3 Hal Penting Peningkatan Penerimaan Pajak Untuk Pemulihan Ekonomi
PIKIRAN RAKYAT – (11/8/2021) Pemerintah saat ini membutuhkan dana besar untuk menanggulangi wabah Covid-19 yang sudah berjalan dua tahun serta membiayai pemulihan ekomomi. Sementara, penerimaan pajak setiap tahunnya tidak pernah mencapai target.
Untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak, pemerintah perlu memperluas tax base (jenis barang dan jasa yang dikenai pajak), tax ratio, dan menaikan PPN (pajak pertambahan nilai) dari semula 10 persen menjadi 12 persen.
Ketiganya masuk dalam usulan Perubahan Kelima Undang-undang Perubahan No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU Perpajakan) yang sedang dibahas bersama Dewan Perwailan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Hal tersebut disampaikan Peneliti Ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Christine Tjen dan Peneliti pada Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Universitas Brawijaya Imanina, dalam keterangan, Selasa 10 Agustus 2021.
“RUU Perpajakan yang baru, (dibuat) untuk mengakomodasikan perpajakan baik di dalam maupun luar negeri. Perbaikan UU Perpajakan tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga dunia internasional,” ujar Christine Tjen.
Dia memberi contoh, kenaikan PPN yang diusulkan pemerintah sebesar 12 persen dari yang saat ini 10 persen. Usulan kenaikan PPN bukan hanya dilakukan pemerintah Indonesia. Negara lain yang tergabung dalam OECD (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan), bahkan menaikkan PPN sebesar 15 persen.
“Dengan demikian, rencana kenaikan PPN di dalam negeri 12 persen, itu masih di bawah kenaikan PPN di dunia internasional yang rata rata mencapai 15,4 persen, kata Christine Tjen.
Selain mengusulkan kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 12 persen, menurut Christine, pemerintah untuk azas keadilan sedang mempertimbangkan pengenaan PPN 12 persen dan 15 persen atau dengan sistem multi tarif.
Untuk produk dan jasa tertentu, akan dikenakan PPN sebesar 12 persen. Sedangkan untuk jasa dan produk yang lainnya akan dikenakan PPN sebesar 15 persen.Pengenaan PPN dengan multi tarif, argumentasi dari pemerintah adalah untuk meningkatkan keadilan. Menurut pemerintah, akan ada tarif yang spesial seperti beras kualitas prima dari luar negeri akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi dibandingkan beras dalam negeri yang sama-sama dijual di supermarket kelas atas.
Sementara penjualan beras di pasar tradisional tidak dikenakan pajak. Alasannya, untuk menunjukkan keadilan. Namun demikian, penerapan sistem multi tarif akan menimbulkan administrasi yang lebih rumit.
“Apakah kita sudah siap menerapkan PPN Multi Tarif?” tanya Christine Tjen.
Sebagai pengamat dan peneliti ekonomi, Christine mengaku lebih setuju dengan pengenaan PPN single tarif. Yakni 12 persen untuk semua jenis obyek pajak jasa maupun produk. Alasannya, karena sistem ini lebih sederhana dan mudah diterapkan oleh pemerintah maupun pihak lain.
“Multi tarif akan menimbulkan in efisiensi, sebab biaya administrasinya lebih tinggi. Kalau sistem perpajakan kita sudah oke, kita bisa menerapkan multi tarif. (Hanya) Apakah core tax kita sudah siap atau belum (untuk menerapkan multi tarif). Meski pada tahun 2024 akan diterapkan core tax. Apakah kita sudah siap untuk menerapkan multi tarif,” ujar Christine.
Pendapat senada disampaikan, dosen yang juga peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Imanina. Menurut dia, di masa pandemi Covid-19 ini tak dapat dipungkiri, penerimaan negara mengalami tekanan berat. Hampir semua sektor perekonomian mengalami pelemahan dan menyebabkan penerimaan perpajakan tidak optimal.
Imanina menilai cukup bijak jika pemerintah menaikkan PPN sebesar 12 persen dan memperluas tax base (basis barang dan jasa yang akan dikenakan pajak).
“Dalam upaya memperluas basis pajak di masa pandemi ini, ada 2 hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, perlu kecermatan untuk memilah sektor mana saja yang tidak terdampak dan sektor mana saja yang terdampak pandemi. Hal itu menjadi perhatian penting dalam upaya memperluas basis pajak di masa pandemi,” ucap Imanina. Kedua, adalah waktu atau timing. Menurut Imaninar, ada beberapa kebijakan yang sebetulnya berpotensi untuk menjadi opsi diversifikasi pajak, namun belum bisa diterapkan di masa pandemi saat ini karena sektor tersebut misalnya masih terdampak dan butuh dukungan pemerintah.
“Diversifikasi penerimaan pajak, seperti pajak carbon maupun kenaikan PPN sebenarnya dapat saja diterapkan asalkan pada waktu yang tepat, agar kebijakan tersebut memberikan hasil yang optimal. Terutama bagi kenaikan PPN. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah barang/jasa yang akan dibebani pajak tersebut harus tepat sasaran, karena tidak semua barang/jasa di Indonesia dapat dikenakan tarif yang sama untuk menciptakan keadilan,” kata Imanina.
Perluas Tax base
Baik Imanina maupun Christine Tjen sepakat, pemerintah perlu memperluas tax bases (basis penerimaan pajak ) dalam rangka meningkatkan penerimaan ataupun pencapaian target pajak.
Salah satunya pajak carbon bagi perusahaan maupun individu yang kegiatan usahanya dapat mencemari lingkungan.
“Pajak carbon sendiri sebenarnya memang telah lama diterapkan di beberapa negara, bahkan penjelasannya pun ada dalam teori perpajakan. Pada dasarnya tujuan pajak carbon adalah baik, karena tujuannya untuk kebaikan lingkungan yakni mendorong pengurangan emisi karbon. Di sisi lain pajak carbon dapat mendorong penerimaan negara,” ujar Imanina.
Selain pajak carbon, Imanina juga melihat demi keadilan di bidang perpajakan, sekaligus meningkatkan rasio pajak dan penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah perlu mengenakan cukai bagi industri soda dan plastik, maupun objek pajak lainnya.
Mengkonsumsi soda dalam jangka panjang juga membahayakan Kesehatan. Sementara penggunaan plastik jangka pendek maupun jangka Panjang juga mengganggu lingkungan hidup.
Lebih lanjut Imanina menjelaskan, saat ini produk industri hasil tembakau (IHT) telah cukup berat dibebani oleh berbagai pajak yang harus ditanggungnya.
Pemerintah tidak bisa terus menekan IHT dengan terus menerus menaikkan tarif cukainya. Hal itu karena konsekuensi dari kenaikan cukai yang eksesif dan terus menerus yang dilakukan pemerintah tidak hanya berdampak negatif pada keberlangsungan IHT saja, tetapi juga memicu semakin maraknya peredaran rokok ilegal, di mana hal itu justru dapat menjadi boomerang bagi penerimaan pemerintah berupa hilangnya potensi penerimaan negara.
Karena itu, agar IHT tidak terus menerus menjadi andalan pendapatan negara dari cukai, menurut Imanina pemerintah perlu meningkatkan tax base atau barang barang lain yang kena cukai. Beberapa diantaranya adalah plastik, soda atau sugar tax.
Barang kena cukai yang telah diterapkan di beberapa negara lain dapat diadopsi oleh Indonesia untuk dapat menjadi alternatif penerimaan cukai pemerintah selain cukai hasil tembakau atau CHT.
“Komoditi-komoditi yang dapat dimasukkan ke dalam BKC antara lain baterai, penggunaan freon, makanan dan minuman berkarbonasi, gula, kendaraan bermotor, kartu permainan, peralatan listrik, bahan peledak, parfum, perhiasan, dan masih komoditi lainnya yang dapat dikaji” kata Imanina.
Dijelaskan Imanina, barang kena cukai (BKC) adalah barang-barang yang dibatasi peredaran ataupun konnsuminya (penggunaannya), Hal ini disebabkan karena menganggu kesehatan maupun dampak eksternalitas negatif seperti kerusakan lingkungan.
“Plastik, soda, dan makanan berpemanis adalah beberapa barang yang dapat dikenai cukai sebagai alterntaif barang kena cukai. Ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) tersebut diharapkan mampu menyokong penerimaan cukai, sekaligus penerimaan negara. Kita tidak dapat terus mengandalkan cukai hasil tembakau (CHT) saja untuk mengakselerasi penerimaan negara,” ucap Imanina.