Kembali ke Ekuilibrium
Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D. Rektor Universitas Indonesia
KOMPAS – (7/9/2021) Pertumbuhan ekonomi tahunan 7,07 persen pada triwulan II-2021 merupakan yang tertinggi sejak 2005. Triwulan sebelumnya Indonesia tumbuh minus 0,74 persen. Dengan pertumbuhan positif itu, secara definisi Indonesia keluar dari resesi.
Lonjakan pertumbuhan ini merupakan low base effect karena sampai triwulan I-2021, Indonesia masih di zona pertumbuhan negatif. Permintaan yang selama ini tertahan juga ikut berperan.
Fenomena pertumbuhan tinggi pada triwulan II juga terjadi pada negara-negara mitra dagang Indonesia, seperti Amerika Serikat, China, Uni Eropa, dan India. Mirip pegas, jika ditekan lebih dalam akan menghasilkan gaya tolak balik lebih besar.
Lonjakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2021 dikarenakan pengeluaran ”balas dendam”, terutama untuk leisure, seperti hotel serta restoran, perjalanan wisata, dan sejenisnya. Peran kelas menengah yang menurut data Kementerian Keuangan pada 2019 mencapai 21 persen dari total populasi atau 57,3 juta orang amat penting dalam menjelaskan lonjakan pertumbuhan setelah terkungkung oleh pandemi.
Namun, tanda-tanda pemulihan tersebut dibarengi lonjakan kasus baru harian yang membuat pemerintah memberlakukan PPKM level 4 sejak minggu pertama Juli 2021. Dampak dari pembatasan tercermin pada indikator ekonomi yang bersifat melihat ke depan. Indeks manajer pengadaan sektor manufaktur (PMI) turun tajam pada Juli 2021 ke 40,1 dari 53,5 pada Juni atau turun 25,19 persen. Angka PMI ini terendah dalam 13 bulan terakhir.
Penurunan terjadi karena perusahaan lebih berhati-hati mengelola pengadaan bahan mentah/pembantu untuk proses produksi. Mereka mengantisipasi konsumen akan mengetatkan belanja lagi. Selain itu, penurunan pesanan ekspor mulai dirasakan para manajer akibat perlambatan pertumbuhan di China yang lalu ditransmisikan ke rantai pasokan dunia.
Dari sisi permintaan, indeks keyakinan konsumen (IKK) pada Juli merosot ke 80,2 dari 107,4 Juni lalu atau turun 25,3 persen. Persentase penurunan ini disebabkan pesimisme masyarakat tentang kondisi ekonomi enam bulan ke depan, baik dalam aspek kegiatan usaha maupun ketersediaan lapangan kerja.
Jalur pertumbuhan jangka panjang
Menjadi pertanyaan, apakah lonjakan pandemi ini akan memengaruhi pemulihan ekonomi sehingga proses kembali ke ekuilibrium pertumbuhan jangka panjang terhambat atau paling tidak tertunda. Data pertumbuhan sektoral menunjukkan, momentum masih cukup kuat meski ada pembatasan mobilitas. Hal ini terjadi karena masyarakat merasa memerlukan pergantian suasana dan semangat baru.
Pertama, lonjakan pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan hingga 25,1 persen. Sektor ini mengalami kontraksi terdalam akibat dampak pandemi. Pertumbuhan tertinggi kedua dicapai sektor akomodasi dan makan-minum dengan 21,57 persen. Sektor ini paling terpuruk kedua sebelumnya. Berikutnya, sektor yang tumbuh tinggi jasa-jasa.
Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektoral dikonfirmasi sisi pengeluaran. Pengeluaran untuk hotel dan restoran tumbuh 16,29 persen secara tahunan pada triwulan II. Hal ini mengindikasikan sebelum pemberlakuan PPKM level 4 sudah terbentuk inersia momentum akibat permintaan untuk leisure yang selama ini tertahan. Momentum itu dapat berlangsung terus pada triwulan III-2021, terutama akibat relaksasi PPKM level 4 pada pertengahan Agustus sebagai respons penurunan kasus positif harian yang cukup signifikan.
Indikator-indikator yang berorientasi ke depan sudah menunjukkan pergerakan kembali ke zona positif/optimis. Dari sisi produksi angka PMI naik ke 43,7 pada Agustus atau naik 8,98 persen dalam sebulan. Masih berada di zona kontraktif, diantaranya karena perlambatan ekspor dan gangguan rantai pasokan akibat terganggunya aktivitas pelabuhan. Penyebabnya, penumpukan kontainer dan penutupan salah satu pelabuhan di China.
Jarak indeks Agustus ke batas zona kontraksi ekspansi tidak terlalu jauh seperti halnya pada titik terendah April-Mei 2020. Diharapkan, dalam dua bulan sejak Juli 2021, angka PMI sudah mendekati 50 atau bahkan melebihinya. Sumber data Apple.inc menunjukkan, telah terjadi kenaikan mobilitas (driving activity) antara Juli dan Agustus sebesar 20 persen.
Seperti pengalaman di negara lain, jangan sampai terjadi euforia bahwa situasi sudah aman. Misalnya, Vietnam, yang sebelumnya dianggap salah satu yang terbaik dalam penanganan Covid-19, kini berjuang menekan penyebaran pandemi. Contoh anekdotal menunjukkan, jalur menuju kawasan wisata di sekitar aglomerasi kota-kota, seperti Puncak dan Lembang, macet pada akhir pekan. Kebijakan ganjil genap sudah diterapkan di jalur Bogor-Puncak, bahkan dipertimbangkan untuk diperluas sampai perbatasan Cianjur.
PPKM level 4 berhasil menurunkan rerata bergerak 7 harian kasus positif baru, dari 50.039 pada 18 Juli 2021 ke 8.057 kasus pada 2 September. Lonjakan pandemi setelah larangan mudik Lebaran berasal dari fenomena bendungan jebol yang menimbulkan resurgensi pada Juni-Juli. Belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah menerapkan relaksasi PPKM bertahap sebagai signaling bahwa kewaspadaan harus tetap dijaga.
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 7 September 2021. Kolom Analisis Ekonomi-Umum. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.