Taiwan Alirkan Investasi ke Asia Tenggara
JAKARTA, KOMPAS — (8/9/2021) Negara-negara ASEAN tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Taiwan. Mayoritas anggota ASEAN pun mengikuti prinsip Satu China. Akan tetapi, hal ini tidak menghentikan pertumbuhan investasi langsung serta kerja sama ekonomi mutualisme kedua belah pihak. Hal ini mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Meningkatkan Investasi Taiwan di ASEAN” yang digelar The Habibie Center secara daring, Selasa (7/9/2021). Dalam forum itu ditekankan bahwa nilai yang menentukan kerja sama Taiwan dengan ASEAN ialah fleksibilitas dalam penanaman modal serta peningkatan mutu dan produktivitas.
”Taiwan tidak tergabung di dalam Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dengan Asia Tenggara. Namun, Taiwan memiliki kebijakan Southbond atau terkait dengan negara-negara di bumi bagian selatan untuk meningkatkan hubungan regional ataupun bilateral dengan setiap negara terkait,” tutur Kristy Tsun-tzu Hsu, Direktur Pusat Kajian Taiwan-ASEAN di Lembaga Kajian Ekonomi Chung-Hua, Taiwan.
Ia menerangkan, dari segi pasar, Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) masih menempati peringkat pertama dan kedua negara tujuan investasi Taiwan. Akan tetapi, Asia Tenggara dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar semakin dilirik dan diminati oleh kalangan pengusaha Taiwan. Ini terlihat dari arus modal yang semakin meningkat dari Taiwan ke Asia Tenggara.
Berdasarkan data Pemerintah Taiwan, pada periode 2002-2015 investasi Taiwan di China mencapai 60 persen. Namun, sejak 2016, jumlahnya menurun menjadi 50 persen. Bahkan, per semester I-2021, tercatat modal Taiwan di China hanya tinggal 25 persen.
Aliran dana investasi ini banyak yang dialihkan ke Asia Tenggara. Pada 2019, investasi Taiwan di ASEAN sebanyak 47 persen dari total investasi dan produksi luar negeri Taiwan. Di ASEAN, sebanyak 40 persen modal ditanam di Vietnam disusul kemudian oleh Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
“ASEAN juga menjadi segitiga ekspor Taiwan ke Uni Eropa. Misalnya, Taiwan dan UE mengembangkan produksi tekstil bermutu tinggi yang dibuat oleh pabrik-pabrik di Vietnam dan Indonesia. Setelah itu baru dikirim ke UE,” tutur Hsu.
Dari segi investasi, lanjut Hsu,Taiwan tidak hanya mencari pasar dan tempat produksi. Taiwan juga mengincar negara-negara yang bisa memberi jaminan mutu dan kesinambungan kapasitas produksi, serta membangun rantai pasok global yang stabil. Saat ini, Vietnam adalah negara nomor satu di ASEAN yang bisa melakukannya.
“Pemerintah Vietnam tengah berproses menuju negara teknologi, industri, dan ekonomi hijau. Ini sejalan dengan prinsip keberlanjutan lingkungan yang dianut oleh Taiwan, AS, dan UE. Apalagi, negara-negara maju menargetkan mengurangi emisi karbon hingga setengah pada 2030 dan bisa bebas karbon sepenuhnya pada 2050,” papar Hsu.
Aspek lain sebagai pertimbangan investasi Taiwan adalah peningkatan teknologi digital, otomasi, kualitas sumber daya manusia, dan fleksibilitas bagi investor asing. Dalam pengembangan aspek-aspek itu, Hsu menekankan bahwa Taiwan antusias membantu prosesnya.
Dosen Ekonomi Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan, Indonesia harus berani melonggarkan proteksi ekonomi. Bisa dicari berbagai cara agar industri lokal tetap bisa berkembang seiring dengan aliran modal dari luar ke dalam negeri.
Tantangan terbesar Indonesia, Fithra menambahkan, adalah produktivitas yang stagnan. Sementara ongkos produksi, termasuk upah tenaga kerja, terus meningkat.
Berkaitan dengan situasi politik di China, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang, Fithra berpendapat hal itu tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk perang dagang China-AS.
Sementara itu, Direktur Promosi Pengembangan Kementerian Investasi Ricky Kusmayadi mengungkapkan bahwa Taiwan menempati peringkat ke-15 bagi investor asing di Indonesia. China, AS, Jepang, dan UE masih menduduki peringkat atas.
Sampai dengan 2020, investasi Taiwan yang telah terealisasi di Indonesia mencapai 612 juta dollar AS. Salah satu proyek yang menurut pemerintah bisa ditawarkan kepada Taiwan adalah Kawasan Industri Terpadu Batang di Jawa Tengah yang memiliki luas hingga 4.300 hektar. (DNE)
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Rabu, 8 September 2021. Rubrik Internasional. Halaman 4.