Irasionalitas Investor Mengecoh Pasar Saham
Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB UI
KONTAN – (13/9/2021) Sebuah webinar bertema Rotate Back to Big Caps diadakan Samuel Sekuritas bagi para nasabahnya pekan lalu. Kita sepakat harga saham big caps banyak yang tertinggal. Saat ini perbedaan kinerja big caps semakin melebar.
Saham big caps identik dengan saham emiten bagus. Di BEI, kita dapat menggunakan indeks IDX30, LQ45, atau IDX80 untuk mengukur kinerjanya. LQ45 paling sering digunakan untuk merefleksikan big caps.
Penyederhanaan ini tidak sepenuhnya tepat karena ada beberapa saham big caps yang tidak masuk dalam LQ45. Untuk periodenya, saya menggunakan periode awal 2010 hingga akhir 2019, 2020, dan tahun 2021 berjalan hingga Jumat lalu.
Dalam kurun waktu hampir 12 tahun, dari awal 2010 hingga minggu lalu, IHSG telah naik 140,5%, tapi LQ45 hanya naik 74,7%. Secara tahunan, rata-rata kenaikan IHSG sebesar 7,8% dan indeks LQ45 4,9%. Jika melihat dari tiga periode pengamatan, kita mendapatkan konfirmasi indeks LQ45 selalu kalah dari IHSG.
Ini berarti kinerja saham-saham berkapitalisasi kecil dan menengah senantiasa mengalahkan big caps. Jika kita asumsikan bobot saham LQ45 dalam IHSG adalah 75%, berarti bobot dari bukan LQ45 hanya 25%.
Dibandingkan dengan indeks nonLQ45 yang dibentuk dengan asumsi di atas, kekalahan indeks LQ45 semakin telak. Selama 11 tahun 8 bulan, indeks nonLQ45 melesat 337,9%. Untuk periode 2010–2019, tahun 2020, dan tahun ini, indeks nonLQ45 konsisten tumbuh sebesar 283,6%, 3%, dan 28,6%.
Di saat yang sama, kinerja indeks LQ45 cuma 103,6%, minus 7,8%, dan minus 7%. Sudah hampir dua tahun saham-saham big caps melempem, saat saham bank digital berpesta pora. Jika tahun 2010–2020 selisihnya di kisaran 11%, tahun ini bedanya sampai 35,6%.
Saham-saham LQ45 kini tidak dilirik investor meski banyak yang berfundamental bagus, teratur membayar dividen, dan mencetak pertumbuhan. PER 10 saham LQ45 termurah hanya 5,3 hingga 8,8 kali. Rata-rata PER 7,1 kali dan PBV 1,19 kali pada tahun ini.
Ini sungguh berkebalikan dengan saham bank digital dan teknologi yang walaupun masih rugi tapi terus berjaya. Seluruh 20 top gainers dengan return 408% hingga 10.595% dan rata-rata 1.348% year to date adalah saham-saham nonLQ45. Rerata PER dan PBV 20 saham itu adalah 612,3 kali dan 39,7 kali, setelah mengeluarkan saham yang rugi (enam emiten) atau ekuitasnya negatif (dua emiten).
Ada lima saham bank digital dalam 20 top gainers di atas, yaitu BBYB, BINA, BBSI, BABP, dan BBHI, yang masing-masing memberikan return antara 423% hingga 1.691% dengan rata-rata 734,49%.
Tapi, belajar dari negara-negara lain, sangat sedikit bank digital yang survive dan keluar sebagai pemenang. Di mana pun juga keuntungan utama bank berasal dari spread atau net interest margin, yaitu menyalurkan kredit dalam jumlah besar dengan biaya dana yang kecil (CASA yang tinggi). Sementara fee-based income tidak pernah menjadi andalan.
Apa implikasi temuan di atas? Pertama, trader lebih dominan daripada investor di BEI. Kedua, irasionalitas investor dan trader membuat pasar saham makin tidak efisien dan lebih mirip ajang spekulasi. Sungguh irasional jika ada saham rugi dengan ekuitas negatif tetapi harganya naik 583%.
Ketiga, sebagai investor Anda harus super hati-hati dalam membeli saham yang fundamentalnya tidak jelas, seperti ekuitas negatif, masih rugi, PER dan PBV sangat tinggi, dan tidak membayar dividen.
Keempat, membeli saham perusahaan bagus pada harga murah akan membuat Anda tidur nyenyak karena downside risk kecil. Sebaliknya, membeli saham rugi pada harga mahal akan membuat hidup Anda tidak tenang.
Kelima, what goes up must come down. Dalam jangka panjang harga akan konvergen kenilainya. Selamat kepada para trader dan mohon bersabar untuk sobat investor.
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 13 September 2021. Rubrik Bursa – Wake Up Call. Halaman 3.