Rasio Pajak dan Perlunya Riset Kolaboratif
Penulis: Christine Tjen, SE., Ak., M.Int.Tax, CA, CACP, Koordinator Tax Education and Research Center (TERC) FEB UI dan Dosen Perpajakan FEB UI
Riset yang kolaboratif diperlukan demi terbitnya kebijakan perpajakan yang tepat
Majalah Pajak – (15/9/2021) Baru-baru ini, pemerintah mengajukan Rancangan APBN (RAPBN) 2022 dengan komposisi belanja negara Rp 2.708,7 triliun dan pendapatan negara Rp 1.840,7 triliun. Khusus untuk penerimaan pajak, pemerintah menargetkan akan mencapai Rp 1.262,92 triliun atau tumbuh 10,5 persen dari outlook pada 2021.
Di sisi lain, tax ratio Indonesia juga masih rendah. Per 2020, rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) Indonesia adalah sekitar 8,1 persen dan penerimaan negara terhadap PDB adalah sebesar 10,4 persen. Rasio ini relatif rendah ketimbang rerata negara Afrika (17,2 persen), negara Amerika Latin dan Karibia (23,1 persen), negara-negara OECD (34,3 persen). Dengan demikian, pemerintah, terutama dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, memiliki pekerjaan yang cukup berat dalam meningkatkan tax ratio tersebut dalam jangka waktu menengah ini.
Tax ratio dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kepatuhan pajak WP dan menumbuhkan kesadaran pajak dari para calon WP. Sementara, untuk peningkatan kepatuhan, pemerintah harus menggali dan menetapkan kebijakan yang tepat. Untuk itu diperlukan, salah satunya, evidence-based policy (EBP), yaitu sebuah konsep dalam kebijakan publik di mana kebijakan yang diambil harus berdasarkan bukti atau evidence yang objektif dan terbukti secara scientific melalui hasil penelitian. Maka, peran riset atau penelitian dalam bidang perpajakan sangatlah penting.
Lebih jauh lagi, perpajakan adalah sebuah ilmu yang multidisiplin, meliputi aspek hukum, akuntansi, ekonomi, administrasi bahkan psikologi. Tak heran jika ia penting dan menarik untuk digali dan diteliti dari berbagai lingkup dan sudut pandang.
Faktor penting
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam riset perpajakan. Pertama adalah kejelasan tema atau topik dan perumusan masalah. Berdasarkan Shevlin (1999), topik penelitian dalam riset perpajakan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu terkait kebijakan pajak, perencanaan pajak, dan kepatuhan pajak. Selanjutnya menurut Hanlon dan Heitzman (2010), terdapat beberapa topik riset perpajakan yang dapat dikelompokkan menjadi penghindaran pajak korporasi, taxes and asset pricing, corporate decision making dan informational role of income tax expense reported for financial accounting.
Di luar itu, terdapat beberapa topik yang relevan dengan kebutuhan riset DJP, di antaranya kepatuhan perpajakan, peraturan perpajakan, teknologi informasi perpajakan, SDM dan Organisasi, edukasi perpajakan, layanan perpajakan, penegakan hukum perpajakan, dan proses bisnis perpajakan.
Faktor kedua adalah metode penelitian. Terdapat beberapa metode penelitian yang dapat dilakukan, yaitu metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan campuran (mixed method) yang menggabungkan keduanya. Metode kuantitatif dapat dilakukan salah satunya dengan menggunakan metode survei/kuesioner. Dalam perkembangannya, saat ini survei juga bisa dilakukan secara daring baik menggunakan platform yang berbayar maupun yang gratis. Metode kualitatif dilakukan dengan melakukan in-depth interview dan/atau Focus Group Discussion (FGD).
Salah satu contoh penelitian yang menggunakan kedua metode tersebut adalah yang telah dilakukan oleh Abbas, Tjen dan Wicaksono (2021) dalam penelitian terkait Pajak Bertutur, peneliti tersebut menggunakan kuesioner kepada para murid SD dan SMP yang mengikuti program Pajak Bertutur untuk mengetahui tingkat kesadaran mereka terhadap perpajakan dan dilanjutkan dengan metode in-depth interview dan FGD dengan para guru dari sekolah yang berpartisipasi dalam Program Pajak Bertutur untuk menggali persepsi dan masukan mereka tentang program tersebut.
Faktor ketiga adalah ketersediaan data. Ketersediaan data perpajakan yang dapat diakses secara umum sering menjadi faktor penghambat. Terlebih lagi jika terkait dengan data individu WP tertentu. Padahal, data tersebut penting jika kita ingin melakukan penelitian terkait dengan perilaku WP (taxpayer’s behavior). Maka dari itu, dalam melakukan riset perpajakan, para peneliti harus dapat memastikan dulu apakah data yang dibutuhkan, baik data sekunder ataupun data primer, dapat diperoleh.
Dukungan data
Berdasarkan hasil Riset dari Herawati dan Bandi (2017) dalam artikelnya yang berjudul “Dua Puluh Tahun Riset Perpajakan dalam Akuntansi: Suatu Studi Bibliografi”, pemetaan area menunjukkan market share penelitian perpajakan hanya sebesar 16,8 persen dari penelitian akuntansi. Topik penelitian perpajakan berkisar pada akuntansi keuangan, keperilakuan, dan evaluasi kebijakan. Metode penelitian kuantitatif merupakan yang dominan dalam penelitian perpajakan.
Dengan mengacu kepada pembahasan di atas, maka peranan riset dalam ekosistem perpajakan di Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting. Mengapa? Karena hasil dari riset tersebut dapat dijadikan sebagai masukan bagi regulator dalam hal ini adalah DJP dan juga Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, dan juga masukan yang dibutuhkan oleh standard setter seperti Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) ataupun untuk para praktisi perpajakan di Indonesia maupun di luar Indonesia. Hal ini juga untuk mendukung kebijakan evidencebased policy yang diterapkan oleh para regulator dalam bidang perpajakan di Indonesia.
Terkait dengan hal ini, dukungan pemerintah, terutama DJP, menjadi penting, terutama terkait ketersediaan data perpajakan bagi para peneliti.
Selain itu, kolaborasi penelitian antara akademisi/peneliti dan pemerintah juga harus ditingkatkan guna mendukung peningkatan riset perpajakan baik dalam kuantitas maupun kualitas. Bila sudah demikian, kita dapat berharap hasil penelitian akan berkontribusi dalam membantu proses penetapan kebijakan perpajakan yang tepat sasaran, yang akan diikuti dengan peningkatan kepatuhan pajak, dan yang pada akhirnya membantu meningkatkan tax ratio Indonesia di masa mendatang.
Sumber: Majalah Pajak. Edisi: Rabu, 15 September 2021. Volume XC-Tax Research. Halaman 49.