Ari Kuncoro di OJK Mengajar, “Perkembangan Inovasi Keuangan Digital dan Waspada Investasi Ilegal di Indonesia”
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – (7/10/2021) Rektor Universitas Indonesia, Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., menjadi pembicara utama dalam webinar OJK Mengajar, dengan topik “Perkembangan Inovasi Keuangan Digital dan Waspada Investasi Ilegal di Indonesia,” dengan moderator Rikha Indriaswari, Presenter dan Influencer, pada Kamis (7/10/2021). Webinar ini diselenggarakan untuk memperingati HUT ke-10 Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., evolusi inovasi keuangan digital dilihat dari sejarahnya bisa dilacak sejak periode 1860-an atau fintech 1.0, ketika globalisasi keuangan pertama muncul. Hal ini didorong perkembangan teknologi komunikasi, yaitu pembangunan Kabel TransAtlantik (1866) dan Fedwire (1918); serta masa-masa awal paska Perang Dunia II, dengan hadirnya Diner’s Club (1950) dan Telex (1966). Fintech 2.0 mulai hadir di periode setelahnya pada 1967-2008 yang didorong oleh digitalisasi dan hadirnya internet. Beberapa inovasi utama di periode ini ialah kehadiran ATM pertama, kalkulator finansial, Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT), telepon selular, Value at Risk, dan lainnya. Kemudian, Fintech 3.0 terjadi pada periode setelah 2008 hingga setidaknya menuju pandemi 2020, dan ditandai dengan kemunculan pemain baru (start-ups) yang tidak terafiliasi dengan lembaga-lembaga keuangan konvensional seperti bank. Tren ini pun masih terus berlanjut hingga saat ini.
Di Indonesia, sejalan dengan perkembangan di dunia, inovasi keuangan digital mulai berkembang pesat setelah krisis keuangan global 2008. Perkembangan tersebut telah bisa dikelompokkan ke dalam 16 klaster yang telah diidentifikasi oleh OJK, dimulai dari yang bersifat agregator pasar, perencanaan keuangan, hingga asistensi pajak dan akuntansi, serta investasi properti sejenis REIT (Real Estate Invesment Trust). Keragaman jenis fintech yang hadir di Indonesia menunjukkan betapa menarik dan dinamisnya pasar dan inovasi jasa keuangan di Indonesia. Tentu ini indikasi yang baik dan perlu terus didorong.
Adapun manfaat yang dirasakan dari pesatnya perkembangan inovasi keuangan digital yaitu tersedianya ragam layanan keuangan yang bisa menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Berbagai kalangan yang sebelumnya tidak bankable, kini bisa ikut mengakses layanan keuangan dengan hadirnya berbagai alternatif yang disediakan oleh fintech.
Di tahun 2020, saat terjadinya puncak pandemi COVID-19, kehadiran inovasi keuangan digital terbukti menjadi solusi berbagai tantangan menyangkut kebutuhan masyarakat akan layanan jasa keuangan. Hal ini semakin terdorong pesat dengan diterapkannya pembatasan-pembatasan kegiatan sosial di masyarakat yang membuat transaksi fisik menjadi sangat minim.
“Dari aspek regulasi, pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa fintech membawa tantangan baru. Bagi fintech yang menyatu dengan sistem perbankan, terdapat dua tantangan besar, (1) risiko siber (cyber-risk) dan kerentanan data nasabah, yang membuat masyarakat resah dan berpotensi dirugikan; (2) risiko stabilitas terhadap sistem keuangan, mengingat beberapa contoh penerapan fintech di perbankan seperti percepatan persetujuan pinjaman (fast loan approval) berpotensi ‘meremehkan’ (underestimate) tingkat risiko calon peminjam,” tutur Ari.
Lanjut Ari, bagi perusahaan fintech yang tidak berafiliasi dengan bank, tantangan yang dihadapi pun berbeda. Contoh paling marak di Indonesia baru-baru ini adalah penyalahgunaan data nasabah oleh oknum pinjaman online. Potensi risiko lainnya ialah transaksi kecepatan tinggi yang membuat proses persetujuan menjadi otomatis dan rawan kesalahan, misalnya dalam proses persetujuan pinjaman.
Di samping itu, penerapan algoritma untuk otomasi perdagangan berpotensi menimbulkan perilaku kolektif pasar yang berbahaya (investor herding), seperti penjualan secara masif suatu produk keuangan tertentu (misalnya saham) secara bersamaan yang berpotensi menimbulkan crash di pasar. Hal ini mengingatkan kita pada masa awal penerapan fitur automatic stop-loss di Amerika yang menyebabkan ‘Black Monday’ pada 19 Oktober 1987, dimana indeks pasar saham turun hingga 20%. Di satu sisi, kemunculan mata uang digital berbasis block-chain juga menyebabkan kegamangan baru mengingat alat transaksi yang sah seyogyanya dijamin oleh otoritas yang sah.
Tingkat literasi keuangan masyarakat di Indonesia masih terbilang rendah dan belum merata, menyebabkan berbagai elemen masih rentan menjadi korban penipuan atau investasi ilegal. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK pada tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan berada pada 38,03%. Angka ini naik dari 29,7% pada 2016. Hal ini menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan, meskipun masih terbilang belum ideal. Dari sisi pemerataan, literasi keuangan perkotaan tercatat sebesar 41,41% sementara di pedesaan sebesar 34,53%. Dengan kata lain, masih perlu untuk terus didorong ke tingkat yang lebih baik.
“Peran OJK menjadi sangat krusial dalam aspek ini. Masyarakat tentu tidak seyogyanya menghabiskan banyak waktu guna memastikan legalitas suatu produk investasi. Prosesnya perlu dibuat mudah, agar masyarakat merasa berada di pasar yang adil (fair). OJK perlu terus memberikan solusi, sebagaimana sejauh ini sudah dilakukan misalnya dengan penyertaan logo dan klaim OJK pada produk dan institusi keuangan yang telah memiliki izin dan berada dalam pengawasan OJK. Dari sisi regulasi, OJK ke depannya memiliki tantangan besar untuk tetap mendorong inovasi keuangan digital dengan mempertimbangkan aspek-aspek keamanan, keadilan, dan keterbukaan akses bagi seluruh lapisan masyarakat. OJK harus terus menghadirkan inovasi-inovasi kebijakan untuk mengikuti perkembangan teknologi terkini, baik di tingkat global maupun lokal,” demikian Ari menutup sesinya. (hjtp)