Transisi Energi Dunia
Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor Universitas Indonesia
KOMPAS – (9/11/2021) Vatilitas harga minyak internasional West Texas Intermediate atau WTI, dalam sebulan terakhir ini di kisaran 80-85 dollar AS per barel, telah menimbulkan pertanyaan: apakah yang sebenarnya terjadi dengan pasar energi global? Data pertumbuhan dan inflasi dunia menunjukkan perbaikan karena kelelahan akibat pandemi ataupun euforia bahwa pandemi sudah terkendali, sisi permintaan masyarakat berangsur pulih, lebih cepat dari perkiraan. Sementara itu, sisi pasokan barusaja terbangun dari hibernasi panjang akibat pandemi. Optimisme ini menjadi dasar untuk harga minyak WTI menembus level 80 dollar AS per barel sejak 11 Oktober2021. Harga ini adalah yang tertinggi sejak 2015.
Transisi yang tidak mulus
Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim (COP 26) di Glasgow, Skotlandia, awal November 2021, mempertegas komitmen dunia untuk mencapai net zero emission dengan melakukan kebijakan rendah karbon, terus mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, dan menggunakan energi terbarukan. Yang menjadi masalah adalah transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan yang tidaklah selalu berjalan dengan mulus (Slav, 2021).
Perusahaan yang bergerak dalam penilaian risiko, Det Norske Veritas (DNV), memperkirakan peranan bahan bakar fosil di dunia akan menurun dari 81 persen di tahun 2020 ke 54 persen di tahun 2050. Tren ini menjelaskan underinvestment pada bahan bakar fosil. Pada saat yang sama, permintaan energi oleh masyarakat, yang selama ini terkekang, bergerak cepat menuju pemulihan karena euforia berakhirnya pandemi. Konsekuensinya, terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran, sementara energi terbarukan belum sepenuhnya siap. Dampaknya adalah kenaikan harga energi dunia, mulai dari krisis gas di Eropa hingga defisit batubara di China dan India yang merembet ke minyak bumi.
Implikasi kebijakan
Dampak dari transisi energi dunia ini terlihat dari harga jual ritel bahan bakar minyak (BBM) swasta. Untuk BBM dengan angka oktan (RON) 92, misalnya, terdapat kenaikan harga sekitar 11,31 persen yang lebih kurang sama dengan kenaikan harga WTI dalam sembilan pekan terakhir. Meski demikian, willingness to pay dari masyarakat tetap tinggi. Kenaikan mobilitas masyarakat yang ingin mencari suasana baru di luar rumah semakin tinggi dengan turunnya level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Pemulihan mobilitas penduduk lebih cepat terjadi untuk kebutuhan relaksasi (leisure) dan kebutuhan sehari-hari.
Peningkatan mobilitas ini diantisipasi oleh sisi produsen dan konsumen. Angka Indeks Manajer Pembelian di sektor manufaktur bulan Oktober mencapai 57,2 versus 52,2 di bulan sebelumnya merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah. Indeks keyakinan konsumen (IKK) bulan September tercatat 95,5 mendekati threshold 100 untuk masuk zona optimistis. Namun, itu belum cukup untuk mengompensas ipenurunan IKK saat implementasi PPKM level 4. Alhasil, pertumbuhan konsumsi masyarakat tahunan triwulan III-2021 adalah 1,03 persen versus 5,93 persen di triwulan lalu. Dengan porsi konsumsi masyarakat dalam produk domestik bruto (PDB) sekitar 59 persen, pertumbuhan tahunan PDB triwulan III mencapai 3,51 persen. Pertumbuhan positif ini diperlukan untuk menjaga momentum di triwulan-triwulan mendatang. IKK juga menunjukkan konsumsi mulai lebih berimbang antara barang dan jasa. Indeks pembelian barang-barang tahan lama untuk September masih di bawah 100, tetapi naik tajam ke 80,1 dari 74,6 yang merupakan sinyal positif pemulihan ekonomi. Hal ini dicerminkan oleh pola inflasi Oktober dimana kelompok penyumbang inflasi terbesar adalah transportasi, pakaian dan alas kaki, peralatan/perlengkapan rumah tangga, dan makan minum di restoran. Porsi bahan baku/penolong dan barang setengah jadi adalah 74,2 persen dari impor total. Walaupun inflasi secara keseluruhan akan tetap dalam target, dampak imported inflation dari rantai pasokan dunia akibat dari transisi energi akan lebih tampak pada bulan-bulan mendatang.
Berita baiknya, sisi produksi masih berkutat pada peningkatan pemakaian kapasitas produksi yang selama ini menganggur dengan memanfaatkan pemulihan permintaan masyarakat sehingga mereka tidak akan terlalu terburu-buru menaikkan harga produk secara signifikan. Untuk bulan Oktober secara tahunan, besaran inflasi adalah 1,66 persen, naik tipis dibandingkan dengan 1,6 persen pada bulan lalu. Implikasi kebijakannya adalah memperkuat rantai pasok dalam negeri dengan menjaga sistem logistik dan distribusi tetap lancar. Selain itu, kestabilan nilai tukar rupiah Rp14.300 per dollar AS turut andil dalam mengendalikan inflasi. Dalam situasi dunia masih serba tidak pasti, kestabilan makroekonomi dalam negeri sangat diperlukan dalam pemulihan ekonomi.
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 9 November 2021. Rubrik Umum. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.