Bincang Sore #7 Dies Natalis FEB UI: LPEM FEB UI, Presidensi G20: Peluang dan Tantangan Pemulihan Pascapandemi
Rifdah Khalisha – Humas FEB UI
DEPOK – (10/11/2021) Dalam Rangkaian Acara Dies Natalis Ke-71, FEB UI menggelar Bincang Sore Seri 7 bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat LPEM FEB UI dengan tema “Presidensi G20: Peluang dan Tantangan Pemulihan Pascapandemi” pada Rabu (10/11).
Menghadirkan Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, Ph.D. (Guru Besar FEB UI dan Lead Co-Choir T20 Indonesia), Fauziah Zen, Ph.D. (Ekonom Senior ERIA), dan Jahen F. Rezki, Ph.D. (Kepala Kajian Kebijakan Makroekonomi dan Ekonomi Politik LPEM FEB UI) sebagai pemateri. Hadir pula Teuku Riefky, M.Sc. (Peneliti Makroekonomi LPEM FEB UI) sebagai pemandu acara.
Semula, Bambang membahas sejarah singkat G20, “Sebenarnya, G20 merupakan sebuah forum yang bersifat informal. Terinisiasi setelah krisis finansial Asia pada 1998. Saat berbicara krisis keuangan lintas negara dalam suatu wilayah relatif besar, saya boleh mengatakan bahwa krisis finansial Asia merupakan wake up call. Lalu setelah krisis finansial global pada 2008, G20 pun berubah lebih terstruktur dan bersifat formal.”
Sejak 2011, Bambang telah aktif berpartisipasi pada G20. Baginya, partisipasi Indonesia dalam G20 merupakan sebuah upaya bersama untuk menjaga stabilitas keuangan global. Namun, G20 tidak sepenuhnya menjamin setiap negara anggota G20 selalu terhindar dari krisis keuangan.
“Dengan adanya komunikasi lebih intensif antar anggota G20, apabila ada gangguan di suatu negara, komunikasinya tentu akan lebih cepat,” tandasnya.
Kemudian, Fauziah mengungkapkan, “Setiap negara memiliki irama tersendiri dalam menanggapi pandemi dan menentukan strategi pemulihan. Meski memiliki kepentingan dan kecepatan yang berbeda, mereka harus berkompromi dengan kesempatan global yang tersedia.”
“Negara besar akan membentuk kelompok kerja sama sesuai minatnya, beberapa akan beririsan dan berkompetisi. Mau tak mau, negara kecil akan mengacu pada kepentingan negara besar tersebut. Global efforts akan lebih efektif jika terjalin kesepahaman dan kesetaraan standar dalam kerja sama, baik regional maupun global,” imbuhnya.
Menurut Fauziah, Indonesia sebagai kekuatan politik dunia belum setara dengan negara lain di G20 yang sudah maju, terutama Amerika Serikat, Uni Eropa, Jerman, Perancis, Britania Raya, Rusia, dan China.
Adapun, Indonesia sebagai kekuatan ekonomi cukup menarik dan menawarkan kesempatan ekonomi bagi negara besar lainnya. Oleh karenanya, Indonesia memainkan peran promosi dan persuasi untuk membuka kesempatan kerja sama dan menunjukkan posisi kepemimpinan di kawasan ASEAN atau Asia Timur.
Lebih lanjut, Jahen menuturkan, “Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 pada 2022 mengusung tema utama ‘Recover Together, Recover Stronger’ yang akan berperan penting untuk menyelaraskan kembali agenda pemulihan COVID-19.”
Indonesia berkesempatan untuk memimpin seluruh negara G20 untuk menyongsong beberapa isu global dan regional di bawah 5 (lima) agenda prioritas, yakni mendorong produktivitas, meningkatkan resiliensi dan stabilitas, memastikan pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif, memperkuat lingkungan dan kemitraan, serta meraih kepemimpinan kolektif global yang lebih kuat.
“Saat bersiap menjadi tuan rumah forum diskusi para pemimpin global tahun depan, Indonesia masih harus menghadapi berbagai tantangan krusial di dalam negeri,” ujarnya.
Tantangan tersebut, di antaranya mendukung rumah tangga dan bisnis, terutama pada kelompok rentan; menerbitkan relaksasi kebijakan fiskal dan moneter; memastikan kemampuan pelaku usaha untuk memenuhi permintaan; menghindari tantangan lame-duck karena presiden telah mendekati batas masa jabatannya; mereformasi kebijakan perpajakan melalui penerbitan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP); mendorong digitalisasi di semua sektor ekonomi; serta mengadopsi teknologi baru dan meningkatkan inovasi untuk mendukung daya saing manufaktur Indonesia. (ts)