Hasil dan Implikasi COP-26 pada Penanggulangan Perubahan Iklim di RI
Oleh Alin Halimatussadiah Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI
CONFERENCE of the Parties (COP) merupakan konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dihadiri para pemimpin negara-negara di dunia guna membahas solusi untuk mengatasi perubahan iklim global. COP-26 diselenggarakan di Glasgow pada 31 Oktober hingga 12 November 2021 dan memiliki target iklim yang lebih ambisius daripada Paris Agreement (COP-21). Peningkatan suhu global perlu dibatasi hingga 1,5 derajat celsius melalui pengurangan separuh emisi dunia pada 2030 dan mencapai net zero emission (NZE) pada 2050.
Itu merupakan target yang lebih ambisius dari pada kesepakatan sebelumnya karena berdasarkan penelitian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (2018), dampak pemanasan global 2 derajat celsius sulit untuk ditoleransi jika dilihat dari aspek ekonomi, sosial, maupun ekologi sehingga target yang rasional ialah untuk mengusahakan peningkatan suhu global paling tinggi sebesar 1,5 derajat celsius.
Target yang lebih ambisius tersebut diharapkan dapat menyelamatkan habitat alami, ekosistem, serta nyawa manusia pada daerah yang berpotensi terkena dampak dari pemanasan global. Namun, untuk mencapai tujuan itu, dibutuhkan pembiayaan yang besar pada sektor terkait dengan iklim dan kolaborasi antarpihak, mulai seluruh negara, badan internasional, hingga sektor bisnis terkait.
Bahasan
Aspek yang dibahas pada COP-26 berfokus pada strategi dan kebijakan untuk sektor kehutanan, pertanian, energi, dan transportasi, termasuk pembiayaan untuk mendukung target peningkatan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius.
Di sektor kehutanan, para pemimpin negara sepakat untuk mengakhiri deforestasi selambat lambatnya pada 2030, untuk meningkatkan fungsi ekologis dari hutan, baik untuk penyerapan karbon maupun kelestarian sumber daya hayati, dan menjaga fungsi ekosistem (UN Climate Change Conference, 2021).
Setiap negara berkomitmen untuk meningkatkan kegiatan konservasi serta percepatan restorasi, memfasilitasi kebijakan perdagangan dan pembangunan yang tidak mendorong deforestasi, melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta peningkatan investasi untuk sektor lahan dan kehutanan. Dalam mewujudkan komitmen ini, beberapa negara sepakat untuk menyediakan pendanaan kolektif untuk sektor kehutanan antara US$12 miliar sampai lebih dari US$19 miliar, yang dapat digunakan pada 2021–2025 (UN Climate Change Conference, 2021).
Di sektor pertanian, pembahasan berfokus kepada aktivitas produksi dan perdagangan hasil pertanian, yang mendukung keberlanjutan sektor kehutanan, ketahanan pangan, serta kehidupan petani lokal. Dalam COP-26, pembahasan terkait dengan sektor itu diawali dengan kesepakatan sepuluh perusahaan pertanian multinasional terbesar, untuk mendukung pengurangan tingkat deforestasi melalui penyusunan peta jalan yang akan disampaikan pada COP-27 (UN Climate Change Conference, 2021).
Peta jalan yang disusun akan berfokus pada aspek perdagangan dan pengembangan pasar, dukungan kepada petani kecil, ketertelusuran dan transparansi, serta penelitian, pengembangan, dan investasi (UN Climate Change Conference, 2021). Untuk mendukung tercapainya target dalam peta jalan tersebut, diestimasi kebutuhan untuk memobilisasi pembiayaan hingga lebih dari US$5 miliar (UN Climate Change Conference, 2021).
Pembahasan sektor energi berfokus kepada transisi dari pemanfaatan energi fosil ke energi terbarukan. Dengan visi One Sun One World One Grid, tercapai kesepakatan untuk meningkatkan investasi pada pembangkit tenaga surya, angin, dan pembangkit energi terbarukan lainnya untuk mendorong pembangunan jaringan global yang menjamin distribusi listrik secara merata (UN Climate Change Conference, 2021).
Untuk meningkatkan aliran investasi, pengembangan mission innovation (MI) dan breakthrough energy (BE) yang diluncurkan pada COP-21 akan tetap dilanjutkan. Kedua program ini berfokus kepada percepatan adopsi teknologi untuk pembangkit energi terbarukan pada negara berkembang, yang nantinya akan mengurangi profil risiko untuk investasi sektor ini (UN Climate Change Conference, 2021).
Seluruh negara juga sepakat untuk menghentikan segala dukungan dari pemerintah dalam kegiatan pembangkit listrik tenaga batu bara dan mulai bertransisi ke energi terbarukan pada 2030 untuk negara maju, dan selambat-lambatnya pada 2040 untuk negara berkembang (UN Climate Change Conference, 2021).
Di sektor transportasi, COP-26 membahas produksi kendaraan tanpa emisi yang diinisiasi pada konferensi sebelumnya. Seluruh pihak sepakat untuk menjalankan peran masing-masing dalam meningkatkan produksi dan penggunaan kendaraan tanpa emisi pada 2030 untuk negara maju dan selambat-lambatnya 2040 negara berkembang (UN Climate Change Conference, 2021).
Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut, The Zero Emissions Vehicles Transition Council (ZEVTC) memprioritaskan penyebaran infrastruktur pengisian daya pada kendaraan listrik, membantu distribusi produksi kendaraan tanpa emisi secara global melalui standar dan peraturan yang efisien, mengembangkan teknologi untuk kendaraan berat tanpa emisi, serta membantu negara berkembang untuk pengembangan sektor ini (UN Climate Change Conference, 2021).
Dalam aspek pembiayaan, pembahasan mencakup mobilisasi pembiayaan untuk mendukung program iklim untuk memastikan target iklim yang lebih ambisius tercapai. Untuk membantu peningkatan mobilisasi pembiayaan, Multilateral Development Banks (MDB) berkomitmen untuk membantu sektor publik dan swasta dalam meningkatkan investasi hijau (UN Climate Change Conference, 2021).
Dalam membantu sektor publik, MDBs akan menyediakan pembiayaan untuk mereformasi atau menghilangkan subsidi yang merusak lingkungan, membantu meraih target iklim yang ambisius yang tertuang pada dokumen long-term strategy (LTS) dan nationally determined contribution (NDC), serta mendukung kementerian terkait untuk mengembangkan kebijakan, kerangka kerja investasi, dan kesepakatan yang tepat untuk kepentingan semua pihak. Dalam membantu sektor swasta, MDBs akan lebih memperhatikan risiko finansial dan sistemis dari kerugian yang ditimbulkan dari potensi kerusakan alam, serta menyediakan alat ukur yang tepat dalam penilaian dan pengelolaan aset investasi hijau.
Kesepakatan dan komitmen
Tercapainya kesepakatan dan komitmen dari setiap pihak untuk mencapai target iklim yang lebih ambisius tentunya akan memengaruhi kebijakan dan strategi Indonesia. Secara spesifik, Indonesia ikut andil dalam penandatanganan beberapa kesepakatan terkait dengan penurunan deforestasi, transisi energi, dan produksi barang elektronik hemat energi.
Presiden Jokowi bersama dengan lebih dari 100 pemimpin dunia lainnya untuk mencapai nol deforestasi pada 2030. Saat ini, luas hutan Indonesia bersama dengan Brasil, Rusia, dan Kanada yang juga menandatangani kesepakatan tersebut, mencakup sekitar 85% dari luas hutan dunia (Detik News, 2 November 2021). Presiden Jokowi juga merupakan salah satu pemimpin dunia yang menandatangani penghentian penggunaan batu bara untuk energi listrik pada 2040 (CNN Indonesia, 5 November 2021).
Komitmen Indonesia untuk penanggulangan iklim tertuang dalam beberapa dokumen, di antaranya NDC yang mencakup target penurunan iklim sampai dengan 2030, Low Carbon Development Initiative (LCDI) 2019 yang berisikan strategi pembangunan Indonesia dalam pembangunan rendah karbon sampai dengan 2050 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang memprioritaskan kualitas lingkungan, penanggulangan bencana dan perubahan iklim, dan pembangunan rendah karbon.
Dokumen terbaru yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada UNFCCC pada pertengahan 2021 ialah Indonesia Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) yang menjelaskan target dan rencana penanggulangan perubahan iklim sampai dengan 2050. Di dalamnya, pemerintah Indonesia menyatakan fungsi penyerapan karbon (carbon sink) dari sektor kehutanan yang dimulai pada 2030 berpotensi untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat.
Dalam menanggulangi deforestasi, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk membatasi tingkat deforestasi sebesar 6,8 Mha pada 2050, dengan pertumbuhan deforestasi yang semakin menurun hingga 2050. Dari bauran energi, pemerintah Indonesia menargetkan energi terbarukan akan menjadi dominan pada 2050. Selain itu, sektor agriculture, forestry, and other land use (AFOLU), energi, dan kendaraan listrik pada LTS-LCCR Indonesia merupakan sektor yang memiliki kontribusi dominan dalam pengurangan tingkat emisi di Indonesia.
Tantangan
Tantangan selanjutnya yang dihadapi pemerintah Indonesia ialah bagaimana menuangkan komitmen yang tertuang dalam LTS-LCCR dalam strategi yang lebih detail dan nyata serta kebijakan yang relevan dan mendukung. Hal itu penting karena potret situasi saat ini dapat dikatakan masih jauh dari yang diharapkan. Di sektor energi, misalnya, bauran energi terbarukan Indonesia baru mencapai kisaran 11%, dengan pencapaian itu masih jauh dari target 23% pada 2025 (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2021).
Di sektor lahan dan kehutanan, masih terdapat beberapa kebijakan yang berisiko terhadap pencapaian target penurunan emisi dari sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan. Moratorium sawit yang berakhir pada September 2021 dan tidak diperpanjang kembali, berpotensi pada praktik ekspansi horizontal, yang kemudian memicu deforestasi dan alih fungsi lahan gambut.
Kebijakan lainnya ialah kebijakan biodiesel yang progresif, yang akan memicu permintaan atas produk sawit. Selain itu, kebijakan food estate untuk pemenuhan kebutuhan pangan berpotensi terhadap alih fungsi lahan yang tidak berkelanjutan. Mitigasi dari praktik ekspansi lahan perlu dimitigasi dengan usaha intensifikasi dan diversifikasi bahan baku dan produk.
Tantangan lain yang dihadapi Indonesia ialah implementasi nilai ekonomi karbon. Instrumen nilai ekonomi karbon (harga karbon) telah diinisiasi melalui UU HPP (Harmonisasi Peraturan Pajak) dan Perpres Nilai Ekonomi Karbon Tahun 2021. Walaupun begitu, menurut rencana, baru mulai dilaksanakan pada pada April 2022 untuk PLTU dengan model cap and tax dan dengan harga karbon yang sangat rendah, yaitu US$2,1/ ton CO2.
Laporan terbaru State and Trends of Carbon Pricing (World Bank, 2021) menyatakan rentang harga karbon yang memadai untuk mencapai target pemanasan global 2 derajat celsius ialah US$40-US$80/ton CO2. Diperlukan peta jalan yang komprehensif dalam implementasi nilai ekonomi karbon, baik dalam cakupan sektor yang lebih luas maupun harga karbon yang lebih tinggi untuk mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Indonesia merupakan lima negara terbesar penghasil emisi di dunia. Komitmen dan aksi nyata Indonesia untuk mendukung kesepakatan COP-26 akan sangat signifikan dalam pencapaian penurunan emisi dunia, utamanya mencapai net zero emission di tingkat global pada 2050. Ditambah lagi, posisi Indonesia sebagai Presiden G-20 2022 dan ASEAN 2023 membuat langkah Indonesia akan berdampak besar dalam mendorong pembahasan pencapaian target iklim yang lebih ambisius di tingkat regional dan global.
Sumber: Media Indonesia. Senin, 15 November 2021. Kolom Pakar. Halaman 6.