Mengenali Biaya-Biaya KPR
Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar FEB UI
KONTAN – (6/12/2021) Melanjutkan artikel bulan lalu tentang jerat bunga mengambang KPR, inilah cerita tentang KPR dan biayanya. Saya sudah tiga kali mengambilnya, mulai dari tahun 1995 ketika membeli rumah Rp50 juta dengan uang muka separuhnya hingga membeli apartemen seharga Rp3,7 miliar dengan utang dua pertiganya dua tahun lalu.
Tahun 2011 harus diakui sebagai tahun terbaik perekonomian kita. Ekspor mengukir sejarah di US$203,5 miliar sehingga RI masuk 30 eksportir dunia. Sebelum dan setelah itu, ekspor kita tidak pernah menembus US$200 miliar lagi, mungkin baru terjadi lagi tahun ini.
Cadangan devisa juga mencetak rekor, mencapai US$124 miliar di Agustus 2011 sehingga rupiah menguat ke posisi terbaiknya di Rp8.45 per dollar AS. Ekonomi juga melaju cepat dengan pertumbuhan 6,5%. Tak ketinggalan, inflasi pun hanya 3,8% sepanjang tahun itu.
Efek dari inflasi yang rendah adalah bunga kredit bank juga turun drastis. Saya pun mendengar sebuah bank BUMN menawarkan KPR untuk rumah baru dan rumah bekas dengan bunga efektif 7,49% di akhir November 2011. Saya pun memanfaatkan bunga yang dipatok tetap untuk 2 tahun pertama ini dengan mengajukan KPR Rp620 juta dengan tenor 5 tahun ke bank itu.
Namun, analis bank menilai kemampuan keuangan saya terbatas sehingga hanya dapat menawarkan tenor 15 tahun dan bukan 5 tahun yang saya ajukan. Padahal bank BUMN lain yang lebih besar dan menawarkan KPR dalam 4-5 tahun di awal tahun 2011 saya tolak karena belum ada kebutuhan saat itu.
Beda bank, walaupun sama-sama BUMN, beda kemampuan analis. Sangat naif jika sang analis tidak mempertimbangkan harga rumah yang dibeli adalah tiga kali KPR yang dimohon, dengan harga pasar empat kalinya. Portofolio saham saya yang dua kali lipat KPR yang diajukan dan aset-aset lain saya juga luput dari pertimbangannya. Analis juga kurang kompeten jika meragukan kemampuan saya melunasi angsuran KPR yang hanya belasan persen dari penghasilan rutin bulanan saya.
Meskipun tidak sesuai dengan keinginan, saya tetap menerima tawaran bank karena ada kesempatan investasi rumah dengan harga bagus dan menjanjikan return besar untuk beberapa tahun mendatang. Alasan lainnya, saya sudah menyiapkan diri untuk melunasi pinjaman lebih cepat meskipun ada penalti 2,5% jika bunga KPR setelah dua tahun dinaikkan tidak wajar oleh bank kreditur.
Akibat dari ketidakmampuan analis ini, saya harus menanggung biaya asuransi jiwa dan kebakaran yang cukup besar dan harus dibayarkan di muka, Rp22,9 juta dan Rp2,5 juta. Selain dua biaya itu, tentunya masih ada biaya provisi Rp6,2 juta, biaya administrasi bank Rp500.000, dan biaya survei Rp1 juta. Ditotal ada biaya sebesar Rp33,1 juta yang timbul karena KPR dan harus dibayarkan di muka ke bank, selain biaya bunga.
Saya juga masih harus menanggung bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) Rp47 juta dan biaya notaris sebesar Rp7 juta. Namun, dua biaya ini tidak ada hubungannya dengan KPR, sehingga sebaiknya dimasukkan ke dalam biaya perolehan rumah.
Sesuai perjanjian, saya aman sampai angsuran ke-24 karena bank mengenakan bunga tetap. Lalu datanglah masa penentuan bunga mengambang yaitu di Januari 2014. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, apalagi penjelasan dari mana mereka memperoleh bunga penyesuaian ini, di akhir bulan tabungan saya terdebit sebesar Rp7,8 juta dari sebelumnya hanya Rp5,7 juta atau naik 36%.
Tidak ada surat, email, sms, atau telepon dari bank mengenai penyesuaian ini. Saya pun langsung menghitung dan kaget ketika mengetahui bunga yang dikenakan adalah 13,5% p.a. atau naik 6% (80,2% dari bunga awal 7,49%). Padahal bunga bank itu untuk KPR baru hanya 10%. Bunga mengambang KPR terbukti adalah perangkap maut bank untuk nasabahnya.
Sesuai dengan rencana awal, saya pun mulai mengumpulkan dana untuk pelunasan lebih cepat. Karena saya mesti melepas saham untuk memperoleh dana, saya baru dapat mengumpulkannya di awal Mei 2014. Saya memerlukan Rp586 juta untuk angsuran terakhir, pelunasan pokok utang, dan dendanya (2,5%).
Untuk melunasi ternyata saya harus melakukannya sebelum tanggal 15 meski bunga itu tetap harus dibayar penuh. Lagi-lagi ini adalah trik bank. Setelah pelunasan, ternyata saya masih harus menyiapkan Rp1 juta untuk mencabut sertifikat hak tanggung (SHT) bank atas sertifikat saya. Bank menjanjikan refund atas asuransi jiwa dan asuransi kerugian yang telah saya bayar untuk 15 tahun.
Setelah ditunggu, saya hanya memperoleh Rp13,4 juta untuk pengembalian asuransi jiwa dan nihil untuk asuransi kebakaran. Angka Rp13,4 juta ini sejatinya tidak fair karena saya hanya menggunakan 28,5 bulan dari 180 bulan. Mestinya refund sebesar Rp19,3 juta kalau dihitung secara proporsional. Selisih sebesar Rp5,9 juta ini menguap untuk keuntungan bank, perusahaan asuransi, dan para petugas penjualannya. Inilah alasan saya tidak menyukai KPR yang bertenor lama.
Ditotal selama 28,5 bulan saya membayar bunga Rp121,5 juta. Ditambah denda pelunasan lebih cepat Rp14,2 juta, asuransi jiwa Rp9,5 juta, asuransi kebakaran Rp2,5 juta, biaya provisi dan administrasi bank Rp6,7 juta, biaya survei rumah Rp1 juta, dan biaya pencabutan SHT Rp1 juta, total biaya sehubungan dengan KPR ini adalah Rp155,4 juta untuk tujuh-delapan jenis biaya.
Berbekal matematika keuangan dan spreadsheet dengan menggunakan angka-angka di atas, bunga efektif KPR saya selama 28,5 bulan sejatinya 1,01% per bulan atau 12,1% p.a., jauh di atas 7,49% p.a. Akibat banyaknya biaya-biaya dalam KPR, pelunasan lebih cepat juga tidak murah, tetapi tetap lebih baik daripada harus menanggung bunga baru 13,5% p.a. yang mahal dan tidak fair ini.
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 6 Desember 2021. Rubrik Bursa – Wake Up Call. Halaman 3.