Mendukung Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi
Oleh: Uka Wikarya, Kepala Tim Kajian Ekonomi Regional dan Kebijakan Sumber Daya Energi di LPEM FEB UI
KONTAN – (1/12/2021) Dalam perhelatan COP26 yang baru saja berlalu, pemerintah di seluruh belahan dunia termasuk di Indonesia berkomitmen untuk mengurangi laju emisi gas rumah kaca (GRK). Walau komitmen tersebut baru saja disepakati, terdapat serangkaian kesepakatan serupa yang telah dicapai dan ini berimplikasi pada berjalannya berbagai jenis upaya pengurangan emisi GRK yang sedang berlangsung pada sektor transportasi, industri, pembangkitan listrik dan rumah tangga.
Pemerintah telah melakukan upaya pengurangan emisi GRK mencakup konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG) dan konversi kendaraan berbahan bakan minyak (Internal Combustion Engine atau ICE) ke kendaraan Listrik Bebasis Baterai (KLBB).
Berdasarkan Studi Analisis Dampak Ekonomi Penyesuaian Harga Gas untuk Hilirisasi Industri Berbasis Gas yang dilakukan oleh LPEM (2021), konversi BBM ke BBG bersubsidi untuk sektor transportasi memberikan manfaat positif bagi operator sektor transportasi. Pada harga BBG bersubsidi dan harga converter kit saat ini, penurunan biaya operasional angkutan umum, seperti bus, angkutan perkotaan, angkutan barang, dan bajaj dapat mencapai 40%. Bukan hanya angkutan umum, manfaat ini dapat dinikmati oleh kendaraan pribadi pengguna BBG.
Namun, pengaruh ini masih belum dirasakan secara optimal. Terbatasnya jumlah dan persebaran Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), dugaan rendahnya kualitas BBG, kurangnya pengetahuan dan tingkat disiplin pengendara dalam memeriksa tabung gas dan converter kit, dan lamanya pengisian gas di SPBG menjadi penyebab lambatnya perkembangan konversi BBM ke BBG. Untuk menguatkan minat konversi BBM ke BBG, pemerintah perlu mengatur ulang atau memperkuat kebijakan yang ada, termasuk menyusun pedoman teknis penyelenggaraan konversi BBM ke BBG di sektor transportasi laut.
Dalam skala besar, pengendalian emisi GRK di sektor transportasi dapat dicapai dengan konversi kendaraan bermesin ICE ke KLBB, baik Roda-4 maupun sepeda motor. Praktek ini sudah sukses dijalankan di beberapa negara seperti Tiongkok, India, Jepang, dan Amerika Serikat.
Terdapat beberapa tantangan pengembangan KLBB, utamanya adalah harga baterai yang masih sangat mahal, setidaknya hingga saat ini komponen baterai berkontribusi sekitar 40% pada harga kendaraan. Agar harga baterai domestik lebih murah dari global, pemerintah mendorong konsorsium perusahaan asing untuk bermitra dengan perusahaan lokal untuk membangun rantai-industri baterai domestik, dari pertambangan nikel, smelter, precursor/katoda, battery cell, battery packing, dan battery recycle.
Di sisi hilir, untuk membantu mengangkat permintaan pasar KLBB, pemerintah menerbitkan kebijakan keringanan fiskal seperti Bea Masuk, PPnBM, dan PPN atas impor barang/jasa atau suku cadangnya, hingga insentif pengisian baterai kendaraan di area umum. Dan untuk memastikan Biaya Kepemilikan Kendaraan lebih murah, pemerintah berkomitmen menurunkan kewajiban pajak dan retribusi daerah, seperti BBNKB, PKB, tarif parkir, dan lain-lain.
Tatawaktu Konversi BBM ke BBG dan Pengembangan KLBB
Konversi BBM ke BBG transportasi darat, sebenarnya tidak menghilangkan emisi GRK, namun dapat mengurangi emisi yang signifikan (~89%). Tantangannya adalah industri konverter belum tersedia di dalam negeri, membutuhkan subsidi BBG yang tidak kecil, persebaran SPBG yang memadai, dan menuntut pengetahuan dan kedisiplinan pengguna kendaraan dalam memelihara perangkat konverter untuk menjamin keselamatan.
Sementara, konversi ICE ke KLBB akan menurunkan emisi GRK hingga mencapai titik yang sangat rendah, sehingga lebih ramah lingkungan. Namun, program ini diprediksi akan menyedot anggaran pemerintah dalam bentuk insentif dan subsidi pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, harus disadari bahwa penurunan GRK program KLBB hanya mungkin terjadi di kota besar atau di jalan-jalan yang dilalui KLBB. Sedangkan penurunan emisi GRK secara total sulit direalisasikan sepanjang pembangkit listrik masih menggunakan bahan bakar fosil.
Program konversi BBM ke BBG lebih mungkin dalam jangka pendek, mengingat tantangan dan kendala penyediaan infrastuktur SPGB dan converter lebih ringan. Sedangkan, proyek KLBB sangat cocok untuk jangka panjang, mengingat tantangannya yang demikian besar. Seiring dengan pengembangan KLBB kita seyogyanya tidak melupakan konversi BBM ke BBG.
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Rabu, 1 Desember 2021.