Pajak Karbon, dari Indonesia untuk Dunia
Oleh: Febrio Kacaribu, Ph.D., Kepala Badan Kebijakan Fiskal dan Dosen FEB UI
Disahkannya ketentuan pajak karbon bermakna penting bagi masa depan pemulihan ekonomi Indonesia agar tidak hanya kuat, tetapi juga berkelanjutan.
KOMPAS – (16/12/2021) Alih-alih sekadar mengejar potensi penerimaan negara, pajak karbon yang diatur melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ini bicara tentang keadilan antar-generasi. Skema ini juga harus dilihat dalam konteks tujuan mengendalikan perubahan iklim yang dampaknya secara nyata menjadi ancaman bagi dunia dan terutama Indonesia.
Dibandingkan negara lain, Indonesia salah satu negara paling terdampak perubahan iklim berdasar laporan Bank Dunia tahun 2019. Populasi yang paling rentan adalah yang tinggal di daerah rawan dan masyarakat miskin, dengan estimasi 2,5-7,0 persen dari PDB.
Dengan melakukan segala aktivitas mitigasi dan adaptasi, kita sedang meminimalkan risiko perubahan iklim bagi perekonomian Indonesia. Melalui Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim, Indonesia memperkuat strategi pembiayaan perubahan iklim, misalnya melalui penggunaan skema pendanaan publik (APBN/APBD) atau skema inovatif lainnya.
Dari banyak praktik pendanaan inovatif, pasar karbon dan pajak karbon yang menganut filosofi polluters-pay principle jamak dilakukan di banyak negara. Prinsip ini mencerminkan fungsi pajak karbon sebagai instrumen perilaku (changing behavior) agar masyarakat mengalihkan aktivitasnya ke arah yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.
Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dari business as usual (BaU) dengan usaha sendiri (sekitar 834 juta ton CO2) pada 2030, dan 41 persen (setara 1.185 juta ton CO2) dengan dukungan internasional. Target ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mengenai pembangunan rendah karbon.
Indonesia juga memperbarui dokumen NDC pada 2021 bersamaan dengan penyampaian Long Term Strategies for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCRC) 2050. Bersama negara-negara lain, Indonesia juga mengagendakan capaian emisi nol bersih (net zero emission) di 2060 atau lebih awal.
Dalam upaya mencapai target ini, pemerintah telah mengesahkan regulasi nilai ekonomi karbon (NEK). Pada payung besar NEK inilah, pajak karbon sebagai bagian dari pungutan atas karbon disandingkan dengan skema pasar karbon. Keduanya diharapkan mampu bersinergi dalam mendorong optimalisasi pencapaian seluruh target yang sudah ditetapkan. Kerangka operasional NEK diatur dalam Perpres No 98/2021 mengenai NEK.
Tarif awal
Perpres NEK mengatur skema pasar karbon dan pajak karbon. Pasar karbon diharapkan mampu menjaga emisi di level tertentu melalui sistem perdagangan emisi antar pelaku. Sementara pajak karbon sifatnya menguatkan pasar karbon.
Penggunaan kebijakan ekonomi dalam pengendalian iklim merupakan wujud internalisasi emisi itu ke dalam sistem perekonomian, agar kita dapat mengendalikan secara terukur dan efektif. Pemerintah perlu menginternalisasi emisi CO2 karena memiliki dampak eksternalitas negatif bagi iklim, perekonomian, dan kesehatan.
Mekanisme pasar karbon merupakan metode terbaik pemberian nilai terhadap proses internalisasi ini. Pembentukan harga melalui pasar karbon inilah yang kini tengah dibangun dan akan diterapkan. Harga yang terbentuk akan jadi rujukan bagi penetapan tarif pajak karbon nantinya. Untuk tarif pajak karbon ditahap awal, pemerintah menetapkan Rp30/kilogram CO2 atau setara 2,1dollar AS/ton CO2. Angka ini adalah nilai minimal yang nantinya akan terus dievaluasi dan disesuaikan secara berkala.
Sektor penyumbang utama
Implementasi pajak karbon akan sangat terkait dengan sektor-sektor utama penyumbang target penurunan emisi. Dari target NDC, target mayoritas berasal dari sektor kehutanan dan sektor energi dan transportasi yang menyumbang 97 persen dari total target. Sisanya adalah kontribusi dari sektor limbah, pertanian dan industri (3 persen). Komposisi ini menunjukkan skala prioritas upaya pengendalian iklim, termasuk melalui pajak karbon.
Dilihat dari kinerja saat ini, pengendalian emisi di sektor kehutanan sudah menunjukkan perbaikan yang signifikan. Tahun 2030, sektor kehutanan menargetkan pencapaian emisi bersih nol (net sink). Artinya, sektor kehutanan menyerap karbon dengan jumlah yang sama dengan emisinya, dan setelah 2030, sektor ini akan mengalami ”surplus” karbon.
Sementara itu, sektor energi dan transportasi masih belum menunjukkan perkembangan penurunan emisi secara signifikan. Oleh sebab itu, kebijakan pengendalian iklim ke depan diprioritaskan di sektor ini.
Hal ini yang menyebabkan pajak karbon pada April 2022 akan diterapkan pada sektor PLTU batubara dengan tarif awal Rp30/kilogram CO2 ekuivalen. Selanjutnya pajak karbon disesuaikan dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, target NDC, kesiapan sektor dan kondisi perekonomian masyarakat. Penerimaan pajak karbon bisa dipakai untuk upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim lainnya.
Untuk mengendalikan emisi di sektor energi dan transportasi, pajak karbon tak berdiri sendiri, tetapi bersama dengan rencana jangka panjang pemerintah untuk melakukan percepatan pencapaian target NZE dengan memanfaatkan skema pembiayaan mekanisme transisi energi (ETM).
NZE ditargetkan dapat dicapai pada 2056, dimana PT PLN menargetkan PLTU batubara tak akan lagi beroperasi. Dengan memanfaatkan skema ETM, pemerintah dapat mengurangi PLTU batubara secara bertahap (phasing down). Misalnya, dengan memendekkan masa penggunaan selama 10 tahun dan menggantikannya dengan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan.
Namun, PT PLN saat ini yang mengalami kelebihan pasokan mengharuskan pembangunan EBT memperhatikan pasokan dan kebutuhan/permintaan listrik. Kelebihan pasokan ini dipengaruhi oleh turunnya permintaan, di saat banyak PLTU sudah memasuki masa operasi komersial.
Untuk mengatasi kelebihan pasokan ini, pemerintah telah menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN baru yang telah memperhitungkan kondisi pasokan dan permintaan listrik. Namun, potensi kelebihan pasokan masih akan terjadi jika realisasi permintaan masih berada di bawah asumsi yang ditetapkan. Oleh karena itu, penambahan produksi listrik dari EBT perlu tetap mempertimbangkan realisasi pertumbuhan pasokan dan permintaan.
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Kamis, 16 Desember 2021. Rubrik Opini. Halaman 7.