Mode adalah Keberlanjutan
Harga busana yang sangat terjangkau dan promosi gencar tanpa disertai konsep berkelanjutan dapat menjadi masalah lingkungan dan menambah jejak karbon. Industri mode menghadapi tuntutan ikut memenuhi tanggung jawab mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim. Perlu mengubah cara melihat dan memahami mode.
KOMPAS – (19/12/2021) Mode dianggap sebagai salah satu industri yang tidak bersahabat dengan lingkungan, di negara maju ataupun berkembang. Industri ini mendorong orang terus berkonsumsi dan rantai pasoknya, terutama di negara berkembang, tidak selalu bersahabat dengan lingkungan.
Mode dapat memenuhi tanggung jawab ikut mencegah kenaikan suhu muka Bumi 1,5-2,7 derajat celsius yang membawa bencana bagi manusia dan Bumi. Untuk menjawab tantangan itu, pertama-tama perlu mengubah pandangan dan mitos seputar mode.
Sebagai industri, mode mendorong orang terus berkonsumsi. Pakaian sebagai benda fungsional yang menggambarkan nilai guna dan nilai tukar bergeser menjadi penanda nilai. Pergeseran ini menjadikan pakaian sebagai pembawa makna sosial.
Pergeseran makna pakaian berhubungan dengan perkembangan teknologi dan modal di Barat. Lahirnya teknologi dan membesarnya kelompok kelas menengah dalam catatan Efrat Tseelon (lovetoknow.com), melahirkan berbagai gaya berbusana. Untuk membedakan dari kelas menengah, kelompok bangsawan lalu mengutamakan kecepatan mengadopsi pergantian gaya berbusana yang ditentukan, antara lain, oleh jenis material, warna, dan bentuk busana.
Revolusi Industri yang kemudian juga melahirkan mesin jahit, mesin pintal benang, dan mesin tenun, serta teknik pewarnaan cepat menghasilkan lebih banyak kain, beragam warna dan corak, serta membuat harga menjadi lebih murah.
Secara sosial, status seseorang kemudian ditentukan oleh jenis pekerjaan serta kekayaan yang didapat dari pekerjaan atau bisnis yang dia kerjakan. Pakaian juga ikut berubah fungsi menjadi pembawa makna simbolik yang mencerminkan karakter dan posisi sosial.
Sosiolog Jean Baudrillard, misalnya, membangun struktur tanda atas tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah imitasi, yaitu ketika tampilan menutupi yang nyata. Berikutnya adalah produksi di mana tampilan membentuk ilusi tentang yang nyata. Terakhir adalah simulasi, yaitu tampilan menciptakan realitas, kenyataan.
Massal
Mode dibangun atas mitos. Mulai dari desainer, peragaan busana eksklusif, hingga tren yang berganti tiap tahun, bahkan ketika pakaian yang ada masih sangat layak pakai. Pada awal hingga pertengahan paruh kedua abad lalu, hitam-putih hingga panjang-pendek gaun atau jaket ditentukan rumah mode dan para perancangnya di Paris, London, Roma, dan New York.
Namun, berbagai gerakan sosial, salah satunya feminisme tahun 1960-an hingga 1980-an, mengubah cara pandang tentang pakaian. Meskipun masih mendorong konsumsi, industri mode menjadi semakin egaliter. Setiap orang dapat menciptakan gayanya sendiri dengan padu-padan secara bebas.
Perubahan ini bukannya tanpa konsekuensi. Ketika mode menjadi semakin terjangkau lebih banyak orang, konsumsi ikut meningkat. Di Barat, pergelaran arah mode dilakukan setidaknya dua kali setahun mengikuti corak musim dan di negara tropis dengan iklim yang nyaris sama sepanjang tahun dilakukan sekali setahun. Namun, sepanjang tahun industri menawarkan sejumlah sub koleksi baru.
Saat ini, mengikuti alur pemikiran Baudrillard, orang tidak lagi mengikuti estetika tertentu. Apa yang sebelumnya dianggap jelek atau tabu menjadi mode dan digemari di seluruh dunia.
Sebagai contoh adalah ketika pakaian dalam perempuan berbahan renda menjadi pakaian luar dan dipandang lumrah, sementara bagi remaja dan dewasa muda celana baggy berpipa besar terkesan kedodoran menjadi populer.
Ketika industri mode mengambil ide gaya busana masa lalu dan memproyeksikannya sebagai mode masa kini, mesin komunikasi industri mempromosikan ide percampuran berbagai gaya sebagai indah, mengikuti zaman. Simulasi penampilan menghasilkan realitas; pakaian bukan lagi penanda bersifat materialistik, melainkan menjadi yang ditandakan yang maknanya lebih dalam dari tampilan material.
Mengubah makna
Berhadapan dengan ancaman perubahan iklim, mode dianggap memboroskan sumber daya di setiap rantai produksinya, mencemari lingkungan dengan pewarnaannya, dan menghasilkan limbah pakaian.
Rima Prama Artha, pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), dalam webinar bertema mode berkelanjutan oleh FEB UI pada 1 Desember 2021 menyebut, pertumbuhan ekonomi akan membawa semakin banyak anggota masyarakat mengonsumsi mode, terutama 60 persen penduduk berpendapatan di atas garis kemiskinan. Dampaknya adalah bertambahnya limbah. Penelitian yang juga dilakukan UI memprediksi, limbah tekstil menjadi 70 persen pada 2030.
Pendiri dan aktivis B Lab UK and The Skoll Centre for Social Entrepreneurship Said Business School, Oxford University, Charmian Love, meyakini industri mode perlu didorong berpartisipasi melakukan ekonomi regeneratif, lebih dari sekadar ekonomi sirkular. Ekonomi regeneratif merupakan sistem yang meregenerasi aset modal yang memproduksi barang dan jasa. Di dalamnya ada inovasi, ekonomi sirkular, dan keseimbangan.
Untuk itu, makna mode perlu diubah. Bagi Sara Arnold dari Extinction Rebellion and Fashion Act Now, Inggris, sistem regeneratif harus dijaga dengan merebut kembali budaya berpakaian yang menghargai keberagaman. Wujud keberagaman itu, antara lain, adalah keterampilan tangan, pengetahuan komunitas, termasuk membuat pakaian pada tukang jahit.
Sara yang pernah lama tinggal di Indonesia menyebut, mode berbasis pada mitos melalui bahan material dan modernitas menyeragamkan selera. Sara mengingatkan, menjadi fashionable sebagai bentuk ekspresi diri tidak berarti harus mengonsumsi berlebihan atau tidak memiliki pakaian yang disukai.
Sejumlah perancang Indonesia sudah melakukan konsep berkelanjutan dalam sebagian produknya. Edward Hutabarat, Ali Charisma, dan Rama Dauhan, misalnya. Mereka menggunakan materi sisa untuk produk busana, aksesori, dan perlengkapan rumah tangga.
Mendaur ulang pakaian lama juga dilakukan atas permintaan pelanggan. Meskipun belum tentu menjadi lebih murah, kesadaran tidak membuang barang yang masih bagus juga ada pada sejumlah konsumen mode.
Penggunaan materi karya artisan lokal juga menjadi cara menjawab tuntutan keberlanjutan. Ali Charisma menggunakan kain dari alat tenun bukan mesin. Bantalan sebagai aksen pun diisi kapuk alih-alih dakron. Rama memakai pewarna alam dan menggunakan materi sisa sebagai aksesori.
Langkah pemerintah membangun ekosistem ekonomi kreatif mode, termasuk busana muslim, sepatutnya dalam kerangka keberlanjutan. Harga busana yang sangat terjangkau dan promosi gencar tanpa disertai konsep berkelanjutan dapat menjadi masalah lingkungan dan menambah jejak karbon.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/gaya-hidup/2021/12/19/mode-adalah-keberlanjutan