Seminar Mingguan Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI, Parental Food Security Status and Child Labor: Evidence from Indonesia
Rifdah Khalisha – Humas FEB UI
DEPOK – (23/12/2021) Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI mengadakan seminar mingguan bertajuk “Parental Food Security Status and Child Labor: Evidence from Indonesia” secara daring, pada Kamis (23/12). Menghadirkan Dr. Dwini Handayani, S.E., M.Si., Resa Surya Utama, M.E., Dr. Irfani Fithria, S.E., M.S.E., Indra Degree Karimah, M.E., dan Muhammad Halley Yudhistira, Ph.D., sebagai authors. Hadir pula, Jahen F. Rezki, Ph.D. sebagai discussant.
Dwini sebagai pembicara memaparkan penelitiannya bersama Resa Surya Utama, Irfani Fithria, Indra Degree, dan Muhammad Halley Yudhistira tentang ketidakmampuan kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga berimplikasi terhadap kemungkinan seorang anak turut bekerja.
Penelitian ini beranjak dari pernyataan Cook dan Frank (2008) bahwa akses ke makanan sangat penting dalam memastikan perkembangan optimal, baik pada anak-anak maupun dewasa, dan mempengaruhi kesejahteraan mereka.
Kemudian, menurut data International Labour Organisation (2017), jumlah anak yang bekerja di dunia mencapai 152 juta pada 2016, di antara mereka, sebanyak 73 juta anak bekerja dalam kondisi yang membahayakan kesehatan, keselamatan, dan kondisi perkembangan mental. Terlebih, pekerja anak telah menjadi isu di Indonesia dalam dekade terakhir.
Peningkatan kerentanan ekonomi dapat meningkatkan kerawanan pangan rumah tangga dan menyebabkan deprivasi keluarga. Keluarga berpenghasilan rendah cenderung menghadapi trade-off sehingga partisipasi anak di pasar tenaga kerja sangat penting karena mereka memainkan peran penting dalam kelangsungan kehidupan rumah tangga dan kebutuhan konsumsi.
Dwini mengungkapkan, “Kami menganggap pekerja anak lebih merupakan konsekuensi dari deprivasi orang tua, termasuk kerawanan pangan. Kami pun mencurigai pengalaman masa lalu orang tua mampu memengaruhi keputusan mereka saat ini. Dengan kata lain, mengalami guncangan yang tidak menyenangkan di masa lalu dapat memberikan konsekuensi seumur hidup dan membuat mereka merasa lebih rentan.”
“Penelitian bertujuan mengkaji pengaruh status ketahanan pangan orang tua terhadap pekerja anak. Kami membangun instrumen jenis difference-in-difference (DD) dari peristiwa kelaparan di Indonesia sekitar 1950 hingga 1960 untuk menetapkan identifikasi kausal,” ujarnya.
Penelitian empiris mengambil mikro data milik Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) sepanjang 2018 hingga 2020. Unit analisisnya ialah anak atau individu berusia 10—17 tahun dengan total 546.728 observasi.
Para peneliti menggunakan variabel Food Insecurity Experience Scale (FIES) dari FAO’s Voices of the Hungry (VoH). Perhitungan skor rawan pangan dengan metode rasch, semakin tinggi skor berarti semakin rawan pangan.
Lalu, peneliti mengajukan 8 pertanyaan mengenai akses pangan selama setahun terakhir untuk mengukur rawan pangan di antaranya pengalaman kecukupan makanan, makan sehat, melewatkan makan, makan lebih sedikit, kehabisan makanan, lapar, bahkan tidak makan seharian karena kekurangan sumber daya atau akses ke makanan.
Temuannya, ternyata kepala rumah tangga yang mengalami wabah kelaparan selama masa kecilnya memperoleh skor rasch lebih tinggi dalam meningkatkan kerawanan pangan, kemungkinan anak untuk bekerja tanpa dibayar, dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan.
Secara heterogenitas, kepala rumah tangga dengan pengalaman tersebut pun memperoleh peningkatan skor rasch dalam mengirimkan anak laki-laki di sektor formal dan anak perempuan di sektor informal dengan jam kerja lama untuk keduanya, menimbulkan efek ketahanan pangan pada pekerja anak yang lebih tua, mengurangi derajat kesehatan anak, dan menurunkan lama sekolah anak.
Dwini membagikan kesimpulan awalnya, “Ternyata, kondisi pada masa lalu memengaruhi seseorang dalam berperilaku. Kerawanan pangan rumah tangga meningkatkan pekerja anak pada margin intensif dan ekstensif, terutama sebagai pekerja yang tidak menerima bayaran di sektor informal.”
“Selain itu, kerawanan pangan berpotensi mengurangi masa sekolah anak yang bekerja dan menimbulkan masalah tentang efek buruk lainnya dalam jangka panjang. Adapun beberapa bukti menunjukkan, pasar tenaga kerja cenderung lebih memilih untuk melibatkan anak laki-laki dan anak lebih tua,” demikian ia menutup sesinya.
Jahen mengatakan bahwa ia menikmati dan mengambil banyak pembelajaran dari penelitian tersebut. “Luar biasa, para peneliti sudah menghabiskan banyak usaha untuk studi ini sejak 2018. Sudi ini menarik karena berani menggunakan peristiwa masa lalu untuk menjelaskan peristiwa masa kini dengan banyak robustness test sehingga ceritanya meyakinkan.”
Ia memberikan saran sebaiknya penyajian penelitian lebih elaboratif. Dengan sedikit revisi, baginya penelitian ini dapat terbit dalam jurnal ekonomi yang layak. (ts)