2022, Tahun Terakhir Defisit Anggaran di Atas 3 Persen
Perekonomian ditengarai mulai bangkit pada tahun kedua pandemi. Hal ini membuka peluang defisit anggaran tahun depan kembali di bawah 3 persen dari PDB. Sanggupkah?
KOMPAS – (25/1/2022) Pada tahun awal pandemi, pemerintah mengambil kebijakan pelonggaran fiskal untuk memulihkan ekonomi dengan melebarkan defisit anggaran. Hal itu ditempuh karena belanja negara membengkak, sedangkan pendapatan menurun.
Pada tahun kedua pandemi, perekonomian mulai bangkit. Pemulihan ekonomi membuka peluang defisit anggaran tahun depan bisa dikembalikan ke angka di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
APBN 2020 yang dirancang pada 2019 tentunya tidak memperhitungkan keadaan darurat kesehatan akibat virus korona. Semula, dalam APBN 2020, target pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp2.233,2 triliun, sedangkan target belanja negara sebesar Rp2.540,4 triliun. Defisit anggaran hanya sebesar Rp307,2 triliun atau 1,76 persen dari PDB.
Karena pandemi belum menunjukkan tanda-tanda terkendali, pemerintah kemudian melakukan perubahan. Pada April 2020, melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020, target pendapatan negara turun menjadi Rp1.760,8 triliun.
Adapun anggaran belanja bertambah menjadi Rp2.613,8triliun. Dengan demikian, defisit anggaran melebar menjadi 5,07 persen dari PDB.
Perppu tersebut memperlebar batasan defisit anggaran yang bisa melampaui 3 persen dari PDB selama penanganan Covid-19. Hal itu dilakukan untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional serta stabilitas sistem keuangan.
Kewenangan ini berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Pemerintah memperkirakan pandemi yang membebani keuangan negara akan bisa diatasi dalam waktu tiga tahun anggaran, yakni 2020-2022.
Pada Juli 2020, perubahan kedua atas APBN 2020 kembali terjadi. Melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 54 Tahun 2020, target pendapatan negara kembali diturunkan menjadi Rp1.699,9 triliun, sedangkan anggaran belanja meningkat menjadi Rp2.739,1 triliun. Akibatnya, defisit melebar lagi menjadi Rp1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari PDB.
Dengan demikian, dibandingkan dengan APBN 2020 sebelum perubahan, target pendapatan dalam APBN 2020 perubahan kedua ini turun signifikan sebanyak 23,9 persen, sementara anggaran belanja meningkat sebesar 7,8 persen.
Realisasi pendapatan negara hingga akhir tahun 2020 hanya sebesar Rp1.647,8 triliun atau 96,9 persen, sedangkan realisasi belanja negara sebesar Rp2.595,5 triliun atau 94,8 persen.
Dari jumlah tersebut, anggaran untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp579,78 triliun atau 83,4 persen dari pagu. Defisit anggaran tercatat Rp947,7 triliun atau 5,78 persen dari PDB. Angka realisasi ini di bawah target 6,34 persen.
Batasan defisit anggaran yang melebihi 3 persen dari PDB hingga akhir tahun anggaran 2022 sangat jelas disebutkan di dalam perppu. Selanjutnya, perppu juga mengarahkan bahwa pada tahun anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3 persen dari PDB. Penyesuaian besaran defisit hingga kembali menjadi 3 persen dilakukan secara bertahap.
Dalam APBN 2021, defisit anggaran ditetapkan sebesar 5,7 persen dari PDB, turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pendapatan negara sebesar Rp1.743,65 triliun dan anggaran belanja sebesar Rp2.750,03 triliun.
Dalam anggaran belanja tersebut terdapat alokasi untuk penanganan Covid-19 dan PEN sebesar Rp744,77 triliun. Pagu PEN ini bertambah dibandingkan dengan kondisi awal tahun yang ditetapkan sebesar Rp688,23 triliun.
Hingga akhir tahun 2021, realisasi pendapatan negara cukup menggembirakan. Angkanya mencapai Rp2.000,3 triliun atau 114,9 persen dari target. Adapun realisasi anggaran belanja mencapai Rp2.786,8 atau 101,3 persen.
Defisit anggaran bisa ditekan menjadi 4,65 persen dari PDB, lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya (5,78 persen). Adapun untuk program PEN 2021 angka realisasi sementara sebesar Rp658,6 tri-liun atau 88,43 persen dari pagu.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, realisasi pendapatan negara yang melebihi 100 persen ini merupakan suatu recovery dan rebound yang sangat kuat di tengah situasi yang masih pandemi dengan ancaman dari varian Delta dan Omicron.
Pulihnya perekonomian nasional mulai tampak pada triwulan II-2021 di mana pertumbuhan ekonomi melesat ke angka 7,07 persen secara tahunan. Pada triwulan berikutnya pertumbuhan ekonomi masih tumbuh positif dengan angka 3,51 meski tidak setinggi triwulan kedua.
Pada triwulan terakhir 2021 diperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa di atas 5 persen. Dengan demikian, pertumbuhan tahun 2021 diperkirakan bisa mencapai 3,5 persen hingga 4 persen.
Pada tahun terakhir pelonggaran defisit anggaran atau tahun 2022, anggaran pendapatan dalam APBN dipatok sebesar Rp1.846,14 triliun atau lebih tinggi dibandingkan target tahun 2021. Anggaran belanja sebesar Rp2.714,16 triliun sehingga defisit anggaran sebesar Rp868,02 triliun atau 4,85 persen dari PDB.
Angka defisit anggaran tahun 2022 sudah diturunkan dibandingkan tahun sebelumnya. Terlihat upaya pemerintah untuk secara bertahap menyesuaikan besaran defisit anggaran sesuai amanat dari perppu untuk kembali ke batas 3 persen pada 2023.
Beberapa kondisi mendukung upaya tersebut. Dari sisi pendapatan, pemulihan ekonomi diperkirakan akan terus berlanjut sehingga diharapkan realisasi pendapatan negara bisa lebih dari 100 persen lagi.
Dampak dari pemberlakuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan akan berpotensi memberikan tambahan penerimaan. Selain itu, juga ada peluang penerimaan dari pengembalian aset eks BLBI.
Sementara dari sisi belanja, alokasi dana PEN tidak lagi sebesar dua tahun sebelumnya. Anggaran PEN 2022 yang terbaru diumumkan awal tahun ini ditetapkan sekitar Rp455,62triliun atau turun 38,8 persen dibandingkan anggaran tahun sebelumnya. Anggaran PEN ini sedikit naik dibandingkan yang diumumkan pemerintah pada akhir tahun lalu sebesar Rp414triliun.
Meski demikian, sejumlah tantangan pengelolaan anggaran belanja akan menghadang pada 2022. Sebabnya, terdapat kebutuhan pembiayaan yang cukup besar yang akan menggunakan dana APBN.
Hal itu, antara lain, terkait dengan pembiayaan untuk percepatan pembangunan ibu kota negara yang baru dan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. (LITBANG KOMPAS)
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 25 Januari 2022. Rubrik Jendela-Riset. Halaman E.