Mencermati Peringatan IMF
Prof. J Soedradjad Djiwandono, Ph.D., Guru Besar Emeritus FEB UI dan Guru Besar S Rajaratnam School of International Studies, NTU Singapura
KOMPAS – (28/1/2022) Baru-baru ini, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan perlunya semua negara memperhatikan berbagai perkembangan global akhir-akhir ini agar dampak negatifnya dapat dieliminasi atau diminimalkan.
Beberapa perkembangan global tersebut ialah ketegangan politik yang dipicu ulah Presiden Rusia Vladimir Putin yang mengancam akan mengirim militer dan persenjataannya ke Ukraina. Manuver ini telah ditanggapi oleh pihak Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, NATO. Selain itu, terjadi peningkatan angka kasus Covid-19 yang disebabkan oleh varian Omicron, yang penyebarannya terus meningkat.
Kemudian, dorongan inflasi di AS yang semakin nyata, menurunnya laju pertumbuhan ekonomi di China, belum berakhirnya gangguan rantai pasok global, meningkatnya harga energi dan bahan makanan. Semua itu berpotensi menimbulkan pengaruh negatif pada semua negara, terlebih negara-negara yang lemah.
Apalagi bagi negara-negara dengan tingkat pinjaman nasional yang tinggi, beban angsuran dan suku bunga utang akan semakin dirasakan. Perekonomian yang mengalami masalah dalam valuta dianjurkan cepat menyelesaikannya, supaya tak kian memberatkan.
Dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang berlangsung secara virtual, 21Januari lalu, Kristalina Georgieva juga mengingatkan, tahun 2022 akan lebih sulit dibandingkan dengan tahun 2020 bagi perekonomian global, dengan situasi yang dihadapi antara satu negara dan negara lain sangat bervariasi secara tajam.
Georgieva juga mengingatkan, dalam menghadapi tantangan yang ada, negara-negara harus menerapkan kebijakan yang fleksibel dan berbasis data (data driven), terutama di tengah kondisi di mana banyak perekonomian dunia dihadapkan pada problem inflasi tinggi, berlarut-larutnya krisis Covid-19, disrupsi rantai pasok, dan membengkaknya utang.
Kendati pemulihan ekonomi global terus berlanjut pada 2022, Georgieva melihat “hilangnya beberapa momentum” sebagai akibat memburuknya pandemi, tingginya inflasi, dan melonjaknya tingkat utang. Utang global membengkak hingga 226 triliun dollar AS pada 2020, peningkatan tertinggi secara angka tahunan, sejak Perang Dunia II, dengan pandemi Covid-19 menyeret perekonomian dunia ke dalam resesi terburuk sejak Depresi Besar tahun 1930-an.
Kondisi Indonesia
Bagaimana dengan kondisi perekonomian nasional kita? Saya kira sementara masih bisa bertahan, ruang gerak moneter masih ada secara terbatas. Namun, ke depan, posisi keuangan negara yang memprihatinkan dengan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) yang sekitar 11 persen, suatu angka rasio yang jelas tak memadai untuk terciptanya perekonomian yang stabil dan mendukung pertumbuhan.
Boleh saja mengatakan dulu kondisinya berbeda, tetapi Indonesia harus berusaha keras untuk minimal mencapai rasio pajak yang mendekati 16 persen seperti tahun 1990-an.
Tentu saja Indonesia tidak dapat berbuat banyak dalam hal ketegangan politik militer antara Rusia dan AS bersama NATO di Ukraina. Namun, segala upaya tentu harus dilancarkan oleh ASEAN dan negara-negara lain dalam kelompok G-20 waktu Indonesia memegang posisi presidensi nanti. Terkait upaya mengatasi pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan usul tentang re-organisasi Organisasi Kesehat-an Dunia (WHO), mungkin juga di area lain yang menyangkut hubungan antar negara.
Dalam hal laju pertumbuhan ekonomi, segala upaya harus dikerahkan untuk mempertahankan angka pertumbuhan yang ada, bahkan meningkatkannya, meskipun risiko dan tantangan yang mengadang demikian besar, sebagaimana tergambarkan dalam beberapa perkembangan terakhir.
Saya tidak memiliki angka persis besarnya potensi angkatan kerja milenial kita dalam industri baru berbasiskan teknologi modern yang mengandalkan kemampuan membaca big data dan menganalisisnya.
Namun, kalau kita membaca perkembangan dan kemajuan teknologi blockchain dan pengembangannya, saya rasa kita masih boleh berharap bahwa area ini masih akan banyak menyumbang pada pertumbuhan PDB Indonesia dalam waktu dekat. Saya rasa ini bukan harapan kosong jika kita mampu memanfaatkan peluang yang ada dengan baik.
Negara-negara maju seperti AS melaporkan rendahnya pengangguran akhir-akhir ini, hingga di bawah 4 persen, tanpa memicu kenaikan harga yang tinggi, suatu perkembangan yang menggembirakan.
Di Indonesia, harga-harga kebutuhan pokok tidak tampak melejit, kecuali untuk beberapa komoditas pangan beberapa bulan terakhir. Kenaikan harga sebagian sebatas karena naiknya harga sumber energi yang memang tak terhindarkan.
Selama beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak bergantung kepada pertumbuhan permintaan dalam negeri, yang saya yakin tetap meningkat terkendali, baik karena pertumbuhan penduduk maupun peningkatan pengeluaran masyarakat karena kemajuan zaman.
Dari pengamatan sepintas, kenaikan pengeluaran masyarakat antara lain tampak dari besarnya arus kendaraan yang seperti sudah dalam kondisi normal tanpa Covid-19.
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Jumat, 28 Januari 2022. Rubrik Opini. Halaman 6.