Ari Kuncoro di Hot Economy Berita Satu TV: Tata Ulang Subsidi Minyak Goreng
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – (8/2/2022) Harga minyak goreng di sejumlah daerah Indonesia belum merata bahkan masih terdapat harga di atas kebijakan pemerintah. Kebijakan pemberian subsidi minyak goreng kemasan sederhana dan premium yang diambil oleh pemerintah dinilai tidak tepat sasaran. Setelah empat bulan, harganya melonjak tajam dan kini minyak goreng sangat sulit ditemukan terutama di ritel modern seperti minimarket, pasar swalayan, dan pasar modern lainnya. Kalaupun ada, itupun hanya tersedia minyak kelapa yang harganya jauh lebih mahal.
Sementara di warung ataupun pasar-pasar tradisional, stok minyak goreng masih bisa ditemui. Namun, oleh pedagang di pasar tradisional harganya dibandrol di kisaran Rp20.000 per liter. Ini jauh dari harga minyak goreng murah yang diklaim pemerintah dengan harga jual Rp14.000 per liter. Lantas apa yang menyebabkan hal ini terjadi. Perlukah menata ulang subsidi minyak goreng agar lebih tepat sasaran?
Hal ini dibahas bersama narasumber Rektor Universitas Indonesia dan Guru Besar FEB UI, Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Edi Priyono, dalam Hot Economy Berita Satu TV, dengan tema “Tata Ulang Subsidi Minyak Goreng” dan dipandu oleh Poppy Zeidra, News Presenter, pada Selasa (8/2).
Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., mengatakan minyak sawit memiliki turunan bukan hanya digunakan untuk minyak goreng atau bahan dasar pangan tetapi juga untuk energi bernilai tambah. Inilah yang membuat harga minyak goreng di pasaran sempat mengalami kenaikan. Sebab, adanya switching harga dari pasar internasional ke pasar domestik sehingga stok dalam negeri menjadi berkurang. Selain itu, kenaikan harga minyak goreng terjadi karena tidak adanya keseimbangan antara permintaan dengan penawaran.
Pemerintah sudah mencoba mengatasi permasalahan tersebut dengan melakukan operasi pasar untuk mensubsidi harga minyak goreng menjadi Rp14.000 per liter. Apabila pemerintah ingin menstabilisasi harga minyak goreng maka harus punya kapasitas produksi.
Lanjut Ari, untuk mengontrol pemerataan subsidi minyak goreng secara adil di pasaran, pemerintah bisa menggunakan sistem voucher yang diberikan kepada kriteria masyarakat kelas menengah-bawah dan pedagang UMKM produsen makanan. Selain itu, subsidi minyak goreng paling efektif adalah komoditi berbasis orang yang didukung database secara lengkap, seperti mekanisme lokasi dan harga.
Pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama harga minyak goreng terus merangkak naik. Pasalnya, produksi crude palm oil (CPO) ikut menurun drastis dan arus logistik juga ikut terganggu. Ini memungkinkan masyarakat harus melakukan balancing dan pergeseran tingkah laku, sehingga kita menuju ke suatu keseimbangan baru.
“Pemerintah perlu lakukan komunikasi kepada publik melalui media sosial, elektronik, dan sebagainya untuk mengedukasi masyarakat agar mulai berani melakukan pergeseran gaya hidup yang lebih sehat dengan beralih dari makanan yang mengandung minyak,” demikian Ari menutup sesinya.