Budi Frensidy: Prioritaskan Penurunan Spread Perbankan

Prioritaskan Penurunan Spread Perbankan

Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar FEB UI

 

KONTAN – (14/11/2022) Berita Kontan awal bulan ini menarik perhatian saya bahwa spread atau net interest margin (NIM) perbankan kita masih terbesar di Asia Tenggara. Di Singapura NIM banknya hanya 1,5%-2%, di Malaysia 1,5%-2,4% dan di Thailand 2,2%-3,3%. Sementara lima bank berkapitalisasi terbesar di Indonesia menikmati NIM antara 4,5% sampai 8,2%.

Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai bank dengan NIM terbesar optimistis jika target NIM 7,7%-7,9% tahun ini akan tercapai. Bank Mandiri juga meyakini potensi kenaikan NIM di tahun-tahun mendatang karena tingginya rasio current account saving account (CASA) dan kondisi bunga kredit yang sebagian besar variabel (floating).

Jadi, siap-siap bunga kredit akan naik lebih besar daripada kenaikan bunga tabungan dan deposito. Para debitur KPR yang terkena bunga mengambang akhirnya tidak berdaya menghadapi kenaikan bunga kredit, setelsh selesai periode bunga tetapnya. Saya sempat dua kali mengalaminya, yaitu untuk KPR dari sebuah bank BUMN di awal tahun 2014 dan kredit pemilikan apartemen (KPA) dari sebuah bank swasta terbesar di akhir tahun ini.

Tahun 2014, bunga KPR melesat dari 7,49% p.a. menjadi 13%, tanpa pemberitahuan sama sekali, setelah dua tahun berbunga tetap. Anda tak akan pernah tahu bunga baru yang dikenakan jika tidak menghitungnya sendiri. Bunga kembali dikerek ke 13,5% empat-lima bulan kemudian. Padahal untuk KPR baru, bank hanya mengenakan 9% saat itu.

Minggu lalu, pengalaman yang sama terjadi lagi. Kali ini bank mengirimkan SMS yang menyampaikan kenaikan bunga KPA saya dari 6,75% menjadi 11% p.a. mulai bulan depan. Di saat yang sama, bank itu hanya mematok bunga 5,5% untuk KPR baru dengan bunga tetap (fixed) selama 3 tahun dan menjadi 6,5% untuk debitur yang ingin bunga tetap selama 5 tahun.

Karena tidak ada acuan untuk penetapan bunga mengambang, tidaklah mengagetkan jika bank-bank kita mampu mencetak laba tinggi dan terus melejit. Total laba perbankan kita naik rata-rata 16% per tahun dari tahun 2008 hingga tahun 2019, yaitu dari Rp30,6 triliun menjadi Rp156,5 triliun, sebelum terhempas ke Rp104,7 triliun saat pandemi 2020.

Profitabilitas perbankan kita rebound tahun lalu dan semakin kokoh di tahun ini. Persentase ini di atas kenaikan tahunan IHSG yang 15% dari akhir 2008 hingga akhir 2019 (1.355-6.300) dan jauh mengungguli kinerja indeks LQ45 yang hanya 11,9% (270-931).

Dengan laba dan spread yang gendut ini, tidak mengherankan jika begitu banyak bank asing telah dan akan mengakuisisi bank-bank kita. Sebut saja BNGA, BDMN, BTPN, NISP, BNII, BBKP, SDRA, dan beberapa lainnya. Banyak juga bank dari negara lain masuk dan membuka cabang di sini seperti dari Singapura, Malaysia, Jepang, China, Hong Kong, Korea, Thailand, Australia, Amerika, Inggris, dan India.

Sebaliknya, sedikit bank nasional kita, karena faktor terbatasnya modal dan ketatnya regulasi, yang bisa menembus mancanegara. Awalnya para pembuat kebijakan yang mempermudah kepemilikan asing untuk bank di Indonesia ini berharap kebijakan spread yang rendah di negara-negara asal bank itu dapat ditularkan di sini. Kenyataannya, mereka justru sangat menikmatinya.

Secara ekonomi mikro, spread perbankan yang kebesaran ini menaikkan producer surplus dan menggerus habis consumer surplus. Padahal surplus konsumen adalah salah satu ukuran utama kesejahteraan masyarakat yang paling sering digunakan.

Keuntungan bank diambil dari kantong para debitur, layaknya sebuah permainan zero-sum. Penabung hanya dapat bunga kecil di bawah 1% setahun, saat peminjam dikenakan bunga dobel digit.

Jika saja spread turun, debitur dan deposan bank akan sama-sama senang. Peminjam akan membayar bunga lebih rendah dan deposan akan meraih bunga lebih besar. Bunga yang lebih tinggi juga akan mencegah capital outflow dan menahan depresiasi rupiah.

Memahami sistem keuangan negara kita masih bank-based, penurunan spread lebih penting daripada kenaikan IHSG. Jumlah penabung dan deposan serta debitur dan perusahaan yang tidak punya akses ke pasar modal jauh lebih banyak daripada investor saham dan jumlah emiten. Intinya, sebagian besar orang Indonesia lebih berkepentingan dengan intermediation fee yang rendah.

Jika pemerintah serius ingin lebih mensejahterakan rakyatnya, penurunan spread dan penggunaan bunga acuan untuk bunga mengambang KPR harus menjadi prioritas. Belajarlah dari kisah sukses penurunan bunga utang kartu kredit dari 3% sebulan menjadi sekitar 2% kini. Agar fair buat para peminjam, harus ada acuan bank untuk menetapkan bunga mengambangnya.

Apakah itu bunga KPR baru bank itu, bunga depositonya, atau suku bunga BI. Aksi penurunan spread dan aturan bunga mengambang ini dapat dimulai dari empat bank terbesar kita, yang menguasai 60% perbankan nasional.

Gebrakan bank papan atas itu akan disambut positif pelaku usaha yang perlu kredit. Investasi baru dan ekspansi usaha akan menggeliat sehingga menggairahkan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi menuju 6%.

 

Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 14 November 2022. Rubrik Bursa-Wake Up Call. Halaman 3.