Budi Frensidy: Menanti Bursa Saham Indonesia Mengekor Bursa Global

Menanti Bursa Saham Indonesia Mengekor Bursa Global

Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar FEB UI

 

KONTAN (10/06/2024) – Setelah menembus all time high 7.433 pada 14 Maret 2024, IHSG mulai tertekan saat the Fed di pertengahan April memberikan sinyal tidak akan menurunkan bunganya dalam waktu dekat. IHSG jatuh di bawah 7.000 ketika emiten jawara BEI mengalami ARB tiga hari berturut-turut sejak masuk FCA pada 29 Mei.

​BREN jatuh 46,2% dari Rp11.250 menjadi Rp6.050 hanya dalam 8 hari karena masuk FCA. Kapitalisasi pasarnya menguap Rp696 triliun, dari Rp1.505 triliun menjadi Rp809 triliun. Dengan bobot 5,52% di 29 Mei 2024, BREN mengikis IHSG 182 poin. Wajar saja jika IHSG bersandar di 6.898 minggu lalu.

​Tentang bunga the Fed yang 5,25%-5,50% sejak Juli 2023, awalnya diprediksi akan diturunkan tiga kali di tahun ini. Namun, inflasi 2,7% di tiga bulan pertama 2024 yang lebih tinggi dari target 2% membuat suku bunga tidak jadi segera dipangkas. Untuk mengerem inflasi, penurunan bunga the Fed jadinya mungkin hanya sekali di akhir tahun.

​Investor pun mengatur ulang portofolionya dengan menambah porsi aset dalam dolar AS (USD). Indeks USD atau DXY langsung menguat ke 106,2 pada akhir April sebelum turun ke 104,1 akhir minggu lalu. Angka ini jauh di bawah DXY September 2022 di 112 dan Desember 2011 di 116. Akibatnya nilai tukar rupiah melemah 5,1% sampai Rp16.230 per dolar AS akhir pekan lalu.

​Rupiah tidak sendiri. Yen sempat merosot lebih dalam yaitu -8,9% dan menyentuh 158 yen/USD, terendah sejak 1990. Pemerintah Jepang menghabiskan dana puluhan miliar USD untuk menjaga kursnya tidak jatuh sampai 160 yen per USD. Terhadap yen, rupiah lebih baik, sempat hanya Rp101 per yen. Masih ada dolar Selandia Baru yang anjlok 6,1%, won Korea -6,6%, dan baht Thailand yang turun 7,9%.

​CDS surat utang Indonesia untuk tenor 5 tahun ikut naik dari 67,3 basis poin (bp) menjadi 94 sebelum stabil di 70,5. Angka ini relatif kecil dibandingkan awal 2009 yang menembus 700 bp dan 290,8 di 23 Maret 2020 dengan angka terendah 58,4 di 20 Februari 2020.

​Dengan ditahannya bunga the Fed, yield obligasi pemerintah AS 10 tahun sempat melesat hingga 4,7%. Demikian juga yield SBN Indonesia yang terkerek ke 7,27% untuk tenor yang sama dan kini di 6,92%, lebih tinggi dari yield awal tahun yang 6,5%.

Capital Outflow April

Rebalancing portofolio investor asing mengakibatkan capital outflow Rp41,6 triliun dari pasar saham dan Rp19,7 triliun dari pasar obligasi di bulan April 2024. Rupiah lunglai dan menyentuh nilai terendahnya sejak 2020. Pil pahit harus diambil BI ketika cadangan devisa tergerus dari $146,4 miliar di awal tahun menjadi $140,4 miliar di April 2024 dan $136,2 miliar USD di Mei 2024 sebelum kembali ke $139 miliar di bulan ini.

Bank Indonesia terpaksa harus menaikkan suku bunganya dari 6% yang sudah berlangsung sejak Oktober 2023 menjadi 6,25% di 24 April 2024, jauh di atas bunga 3,5% di Agustus 2022. Inflasi yang persisten tinggi telah mendorong banyak negara mempertahankan suku bunga tinggi.

​Akibat masifnya investor asing melepas SBN, sejak 7 Mei 2024 BI menjadi raja baru di SBN dengan kepemilikan 23% atau Rp1.322 triliun. Sementara asing hanya memegang 13,9% atau Rp792 triliun, jauh dari 38%-39% sebelum pandemi. Saat itu porsi BI di bawah 5% dan setahun lalu juga masih 7,6% dengan Rp134 triliun.

Capital outflow Rp10,9 triliun di bulan Mei dan Rp1,5 triliun minggu lalu di bursa saham sehingga total modal keluar -Rp7,7 triliun year to date, melemahnya rupiah, high rate for longer, dan FCA membuat IHSG terburuk kedelapan dunia setelah Lebanon, Qatar, Latvia, Brasil, Abu Dhabi, Malta, dan Thailand di tengah positifnya 73 bursa dunia lainnya.

​Hanya dua dari 10 saham terbesar BEI yang harganya tidak turun sepanjang tahun ini yaitu TPIA dan AMMN. Delapan saham lainnya negatif, termasuk BREN. Lima di antaranya turun 10% hingga 24% sepanjang tahun ini sehingga menggerus 27 poin hingga 135 poin IHSG masing-masingnya.

Bursa Global Berpesta

Di bursa-bursa besar dunia, hampir tidak ada turbulensi. Indeks volatilitas (VIX) hanya naik sedikit dan sudah kembali normal. IMF juga tidak mengubah proyeksi globalnya untuk tahun 2024 dan 2025 yaitu tetap 3,2% seperti tahun 2023. Di 14 dari 20 bursa saham terbesar dunia, indeks bahkan menembus rekor tertingginya di 17 Mei lalu. DJIA mencapai 40.000, S&P 500 mencatatkan all time high, dan Nikkei 225 juga naik 15% menuju 39.000. Optimisme global kembali merebak.

Sayangnya, bursa kita kurang beruntung karena data perekonomian juga sedang tidak mendukung. Di triwulan 1, 2024 kita mengalami tripel defisit yaitu di transaksi berjalan (-$2,2 miliar), transaksi modal dan finansial (-$2,3 miliar), dan neraca pembayaran (-$6 miliar). Padahal di triwulan 4, 2023 kita surplus besar di transaksi modal & finansial dan neraca pembayaran, hanya defisit -$1,1 miliar di transaksi berjalan.

Kebijakan moneter ternyata belum cukup. Kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) dan neraca dagang yang surplus 48 bulan berturut-turut dengan kumulatif 157,2 miliar USD juga belum mampu mendongkrak cadangan devisa dan rupiah.

Dengan nilai tukar rupiah yang wajar dan aturan perdagangan yang lebih bersahabat, IHSG mestinya dapat menuju 7.800 hingga 8.000 di akhir tahun.

Namun, diberlakukannya FCA menjadi momok buat investor. FCA yang diharapkan regulator dapat menurunkan volatilitas dan meningkatkan transaksi harian, justru menyebabkan sebaliknya yang terjadi. Walaupun RNTH di tahun ini masih Rp12 triliun, nilai transaksi Jumat lalu hanya Rp8,46 triliun.

Selama bursa dan otoritas belum merasakan kerugian dari penerapan FCA ini, investor hanya bisa gigit jari tak berdaya dan meratapi nasib. Tanggapan regulator akan berbeda jika saja transaksi harian turun drastis, tidak hanya sekedar mengkaji.

Semoga bulan Juli investor asing kembali masuk ke pasar saham mengikuti pasar obligasi yang sudah capital inflow Rp13,1 triliun bulan Mei lalu sehingga IHSG dapat mengekor indeks bursa global.

 

Sumber: Koran KONTAN. Edisi: Senin, 10 Juni 2024. Rubrik Wake-Up Call.