Budi Frensidy: Bau Kolusi Saat IPO Emiten di Bursa Efek Indonesia

Bau Kolusi Saat IPO Emiten di Bursa Efek Indonesia

Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB UI

 

KONTAN – (2/9/2024) Kasus gratifikasi yang melibatkan karyawan Bursa Efek Indonesia (BEI) ramai diberitakan pada pekan lalu. Lima pegawai BEI pada divisi penilaian perusahaan yang bertanggung jawab terhadap penilaian calon emiten diduga meminta uang ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Melalui praktik yang terorganisir, mereka membentuk perusahaan jasa penasihat untuk membantu proses calon emiten menjadi perusahaan terbuka.

Usaha ini dikabarkan telah berjalan beberapa tahun. Saat dilakukan pemeriksaan ditemukan akumulasi dana sekitar Rp20 miliar.

Beredar kabar mereka juga melibatkan oknum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memiliki wewenang menyatakan kelayakan inital public offering (IPO) sebuah perusahaan.

Terjadinya kasus ini sangat memprihatinkan, mengingat BEI telah mendapatkan sertifikasi ISO 37001 terkait sistem manajemen anti penyuapan (SMAP).

BEI langsung mengambil tindakan tegas dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada lima pegawai ini. OJK mendukung PHK oleh BEI dan pada siaran pers 28 Agustus 2024 silam melarang semua pegawainya terlibat dalam praktik penyuapan. Termasuk menerima gratifikasi saat menjalankan tugas dan fungsinya.

OJK menegaskan, menerapkan prinsip tata kelola yang baik. Termasuk tentang anti penyuapan dan anti gratifikasi sesuai dengan SMAP berbasis ISO 37001.

OJK sedang mendalami potensi keterkaitan pegawainya. Jika ada yang memiliki informasi dan atau bukti keterlibatan pegawai dan pejabat OJK dalam praktik penyuapan dan gratifikasi, dapat melaporkannya melalui OJK Whistle Blowing System (WBS) dan disampaikan via situs atau email resmi OJK.

Ketika ditanya wartawan beberapa media di awal pekan lalu, saya menjawab mereka hanya membantu masalah kelengkapan dokumentasi perusahaan-perusahaan yang mau IPO.

Caranya dengan melonggarkan tenggat waktu upload dokumen atau memperbolehkan penggunaan laporan keuangan atau laporan auditor yang sudah expired.

Untuk listing di bursa ada banyak dokumen relevan dan terkini yang harus dikumpulkan ke regulator dan otoritas dalam rentang waktu ketat.

Jika audit report dan laporan keuangan dinyatakan bukan yang terbaru, calon emiten perlu waktu dan biaya tambahan untuk mendapatkan audit report terkini. Para pegawai ini kemudian menawarkan jasa membantu calon emiten dapat melantai di bursa tepat waktu sesuai agenda awal. Pelanggaran etika yang bersifat administrasi seperti ini jamak dilakukan dan tidak begitu merugikan investor publik.

Ternyata saya salah. Pelanggaran etika yang terjadi lebih berat. Membaca penjelasan dari BEI, OJK, dan media massa, pelanggaran dan kesalahan mereka serius dan bukan hanya masalah dokumentasi.

Dengan memberikan kelonggaran dan kemudahan kepada calon emiten yang bersedia membayar uang pelicin, sangat mungkin ada beberapa emiten yang sejatinya tidak layak IPO. Mereka dapat lolos karena dibantu oknum orang dalam. Ini tidak benar dan tidak fair.

Karenanya, sebuah perusahaan tidak berkualitas sekalipun bisa go public. Inilah yang terjadi dengan kualitas emiten-emiten baru di BEI dua tahun terakhir. Ada emiten yang hanya mempunyai tiga karyawan, sedangkan dua emiten terkecil lain memiliki 8 dan 11 orang karyawan.

Dalam kasus lain, mungkin saja ada calon emiten yang laporan keuangan triwulannya sudah didandani sedemikian bagus. Tetapi laporan keuangan itu belum diaudit oleh kantor akuntan publik (KAP) dan nilai aset tetapnya belum diverifikasi oleh kantor jasa penilai publik (KJPP).

Jika ada kolusi, laporan keuangan interim itu akan lolos dan diterima. Tujuannya agar calon emiten bisa meminta harga penawaran IPO yang tinggi dan investor tertarik untuk membeli.

Harga IPO pun menjadi tidak wajar karena aset dan nilai buku ekuitas overstated alias mengalami penggelembungan.

Sepengetahuan saya yang pernah terlibat dan memantau proses IPO sebuah emiten di tahun 2016-2017, dulu OJK dan BEI sangat ketat untuk memastikan ini tidak terjadi. Pengalaman saya sebagai komite audit berhubungan dengan auditor KAP big four di beberapa korporasi selama sepuluh tahun terakhir juga mengonfirmasi ini.

Risiko utama yang dihadapi auditor adalah oversight of control dari manajemen untuk overstatement aset dan atau penjualan.

Dua faktor di atas mungkin yang menyebabkan anjloknya harga saham-saham pendatang baru dua tahun terakhir. Pada tahun 2023 hanya 28 dari 79 emiten baru yang harga sahamnya di akhir tahun di atas harga IPO.

Sebagian besar lain yaitu 51 saham, harganya anjlok di bawah harga perdana. Sepuluh terboncos bahkan merosot rata-rata 78,8%, berkisar dari -59,3% (HBAT) hingga -88,8% (BMBL).

Ada kesamaan saham-saham paling merugikan ini yaitu harga penawaran saat IPO semuanya di bawah Rp200, tepatnya Rp78–Rp188. Pelajaran untuk kita adalah hati-hati dengan emiten baru yang menawarkan harga perdana di kisaran Rp100.

Sepanjang tahun ini, tercatat 34 emiten baru. Dari jumlah itu sampai akhir bulan lalu sudah ada 16 emiten yang harga sahamnya di bawah harga IPO.

Menariknya dari emiten-emiten debutan di 2024 ini adalah saham BAIK justru harganya paling tidak baik karena terperosok 77,3% dari harga perdana. Yakni dari Rp278 menjadi Rp63 di akhir Agustus lalu.

Terkuaknya kasus gratifikasi ini menggerus kepercayaan investor. Mereka mempertanyakan peran penjamin emisi, otoritas, dan regulator serta perlindungan investor ritel di bursa saham. Demi mengejar jumlah emiten dan nilai kapitalisasi pasar, kualitas diabaikan.

Sebagian besar investor BEI yang ikut IPO emiten kecil hanya bisa gigit jari karena harus menanggung rugi.

 

Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 2 September 2024.