Budi Frensidy: Drama BREN Kembali Menyeret IHSG

Drama BREN Kembali Menyeret IHSG

Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar FEB UI

 

KONTAN – (30/9/2024) Sejak melantai di bursa pada 9 Oktober 2023, PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) tak pernah sepi dari pemberitaan. Tahun lalu harga saham ini meroket 859%, dari Rp780 menjadi Rp7.475 dalam tiga bulan.

BREN menjadi top gainer kedua setelah PT. Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN). BREN penyumbang poin terbesar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang 2023, yaitu 159 poin dari 422 poin kenaikan IHSG.

Saat tutup tahun 2023, BREN dengan nilai Rp1 kuadriliun, tak ayal jadi runner-up dalam kapitalisasi, hanya kalah dari PT. Bank Central Asia (BBCA). BREN menyalip BBCA di akhir April. Saat itu kapitalisasi pasar Rp1.234 triliun. Sementara BBCA Rp1.208 triliun.

Harga BREN perlahan naik mencapai Rp11.250 dengan kapitalisasi pasar Rp1.505 triliun pada 22 Mei 2024, sebelum dihantam prahara full call auction (FCA) yang menghempaskannya ke Rp6.050. Selepas FCA, 21 Juni 2024, BREN dibeli investor dan hedge fund asing seiring kabar akan masuk indeks FTSE Global pasca tertunda FCA.

Pada 11 September 2024 harganya sempat di Rp11.900 menyongsong masuknya BREN ke FTSE mulai 23 September 2024. Namun, 19 September FTSE Russel memutuskan, mengeluarkan BREN dari indeks ini mulai 25 September 2024. BREN dinilai tidak memenuhi aturan free float yaitu batas minimal kepemilikan oleh investor publik.

FTSE memandang, empat pemegang saham mengendalikan 97% dari total saham. Ini bukan berita baru karena info publik sejak initial public offering (IPO).

Akibatnya, badai tidak kalah dahsyatnya dengan polemik FCA kembali menghantam BREN. Harga BREN auto reject bawah dua hari berturut-turut. Turun dari Rp11.025 ke Rp8.825 dan Rp7.075 pada Senin pekan lalu. Hari Selasa, BREN tutup di Rp7.225. Total nilai transaksi BREN hari itu Rp3,1 triliun atau 18,93% dari total transaksi bursa.

Jika di Mei lalu harga BREN terperosok 46,2%, kapitalisasinya turun Rp696 triliun dan IHSG di bawah 7.000, drama pekan lalu BREN sempat nyungsep 48,5%, nilai pasar tergerus Rp686 triliun dan IHSG kembali ke area 7.700-an.

Hak FTSE sebagai lembaga independen untuk memasukkan dan mengeluarkan saham dari indeksnya. Namun angka 97% yang dituding FTSE tidak tepat. Itu persentase saat BREN IPO. Menurut BEI, free float BREN sudah 12%, di atas aturan minimum 7,5% sehingga dapat IPO.

Kepemilikan dua investor anchor Jupiter Tiger dan Prime Hill Funds, dalam kamus regulator, masuk free float karena kurang dari 5%. Kedua investor ini tidak terafiliasi, tidak ada lock-up period untuk mereka. Mereka trading BREN sejak Oktober 2023 lalu. Sehingga share mereka sejak 23 Agustus sekitar 7% dan hingga 19 September tidak ada perubahan signifikan kepemilikan.

Pernyataan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 24 September lalu juga mengonfirmasi  free float BREN 11,73%. Hanya PT Barito Pacific Tbk sebagai pemegang saham pengendali dan satu pemegang saham terafiliasi Green Era Energy yang terkena lock-up period. Kepemilikan keduanya dari awal tidak berubah karena tidak pernah menjual.

Jika diminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menandatangani komitmen tidak menjual BREN miliknya 10 tahun ke depan, Chairman Barito Pacific Group, Prajogo Pangestu bersedia, bahkan hingga 20 tahun. Demikian yang saya dengar langsung dari BREN pekan lalu. Belum pernah saya temui komitmen sebesar ini dari pemegang saham pengendali grup besar lain.

Mencuatnya kasus BREN jilid II ini menyulut BEI mengkaji ulang aturan ini. Saat dihubungi wartawan, saya katakan mendukung ketentuan free float untuk meningkatkan likuiditas dan menghindari manipulasi pasar di saham free float kecil.

Namun, kita juga harus realistis dengan tipisnya pasar dan transaksi harian bursa kita. Untuk mengundang emiten jumbo terutama asing listing di bursa kita, free float 5% atau lebih rendah dapat dipertimbangkan. Naikkan angka itu 0,5% setiap tahun hingga mencapai 7,5%.

Mewajibkan free float 10% IPO emiten berkapitalisasi ratusan triliun berarti minimal Rp10 triliun. Apakah pasar kita dapat menyerapnya? Lihatlah empat emiten yang memperoleh dana IPO terbesar di BEI. BUKA memperoleh dana publik Rp21,9 triliun, MTEL Rp18,8 triliun, GOTO Rp13,7 triliun, dan NCKL Rp10 triliun. Harga empat saham itu di bawah harga IPO.

BUKA dengan free float 61% dan GOTO 85%, harganya masing-masing terjun 85,6% dan 79,3%. Kita juga perlu belajar dari IPO Saudi Aramco di 2019, hanya menawarkan 1,5% saham di bursa lokal. Saat ini 97,48% kepemilikannya terkonsentrasi di dua pemegang saham: Pemerintah Arab Saudi (81,48%) dan Public Investment Fund (16%).

Sejatinya, masuk dalam sebuah indeks tidak selalu berefek positif. Banyak emiten kita yang masuk dan keluar FTSE. BREN mungkin sedikit berbeda karena kategori large cap yang akan mengundang masuknya hedge fund asing.

Namun, investor asing ini mudah masuk dan keluar. Kita menyayangkan emiten masuk indeks FTSE hanya untuk dikeluarkan beberapa hari kemudian. Keteledoran FTSE ini mengakibatkan gejolak tinggi harga BREN yang berimbas ke volatilitas IHSG. Sudah sewajarnya regulator dan investor mempertanyakan motif FTSE sebenarnya.

 

Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 30 September 2024. Rubrik Wake Up Call.