Pensiun Sejahtera 101: Dari Penurunan Fertilitas ke Depopulasi
Jakarta, 31 Juli 2025 – Indonesia menghadapi potensi depopulasi lebih cepat dari perkiraan global. Beberapa daerah seperti DKI Jakarta diproyeksikan mengalami penurunan jumlah penduduk mulai 2026, jauh sebelum prediksi nasional tahun 2064. Hal ini mengemuka dalam seminar “Dari Penurunan Fertilitas ke Depopulasi” yang digelar Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) dalam rangkaian acara peringatan 61 tahun berdirinya LD FEB UI. Seminar ini bertujuan untuk mengeksplorasi transisi demografi dari menurunnya angka kelahiran hingga risiko depopulasi, sebagai fondasi untuk memahami tantangan pensiun dan penuaan populasi di masa depan.
Seminar dibuka oleh I Dewa Gede Karma Wisana, Ph.D. selaku Kepala Lembaga Demografi FEB UI dan dilanjutkan oleh Dr. Bonivasius Prasetya Ichtiarto, S.Si., M.Eng. selaku Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Kemendukbangga/BKKBN sebagai keynote speaker.
   
Dalam paparannya yang berjudul “From Lowering Fertility to Anticipating Depopulation: A Long-Term View of Indonesia”, Dr. Bonivasius menyampaikan bahwa angka fertilitas Indonesia terus menurun dan diperkirakan mencapai 2,0 pada 2035. “Jika tren ini berlanjut tanpa intervensi, kita akan menghadapi tantangan serius pada struktur penduduk, produktivitas ekonomi, dan keberlanjutan pembangunan,” ujarnya.
BKKBN mengusung strategi kebijakan “No More One Size Fits All” untuk mengelola fertilitas sesuai karakteristik wilayah. Di daerah dengan angka kelahiran tinggi, fokus kebijakan adalah pengendalian kelahiran melalui penguatan program KB. Di wilayah dengan TFR moderat, kebijakan diarahkan untuk mempertahankan tingkat kelahiran yang seimbang. Sementara di wilayah dengan TFR rendah, langkah pencegahan penurunan berkelanjutan dilakukan melalui insentif keluarga, kebijakan migrasi, dan pemberdayaan lansia. Selain itu, BKKBN menjalankan program Taman Asuh Sayang Anak (Tamasya) dan SIDAYA (Lansia Berdaya) untuk mendukung keluarga muda dan mempersiapkan layanan bagi penduduk lansia.
“Depopulasi bukan ancaman yang harus ditakuti, tetapi tantangan yang harus diantisipasi. Dengan kebijakan yang tepat, kita dapat menjaga keseimbangan jumlah dan kualitas penduduk demi masa depan Indonesia yang berkelanjutan,” tegas Bonivasius.
Upaya Mengatasi Childless dari Sisi Kesehatan
Isu childless akibat infertilitas juga menjadi sorotan utama. Data menunjukkan, 10–15% pasangan di Indonesia mengalami infertilitas, yang dapat memengaruhi kualitas hidup, hubungan rumah tangga, dan kesehatan mental.
Dalam forum Policy Dialog, dr. Riyan Hari Kurniawan, Sp.OG (Subspesialis Fertilitas Endokrinologi Reproduksi) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – RSCM, menekankan bahwa gangguan kesuburan dapat diatasi melalui pendekatan medis (obat pemicu ovulasi, inseminasi, dan IVF) maupun kebijakan pendukung seperti cuti melahirkan bagi suami istri dan baby bonus. “Gangguan kesuburan bukan akhir dari segalanya. Dengan penanganan yang tepat, banyak pasangan dapat mewujudkan keinginan memiliki anak,” tegas dr. Riyan.
Namun, tantangan masih besar. Fasilitas layanan fertilitas di Indonesia belum merata, biaya obat dan teknologi relatif mahal, dan dukungan pembiayaan belum mencakup BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, dr. Riyan mendorong agar infertilitas diakui sebagai penyakit sehingga pengobatannya dapat ditanggung BPJS dan asuransi kesehatan.
Selain penanganan, pencegahan juga penting. Edukasi prakonsepsi dan persiapan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) perlu diperkuat untuk melahirkan generasi berkualitas. “Setiap perempuan berhak atas kesehatan reproduksi. Mengatasi childless adalah bagian penting dari strategi nasional untuk menjaga keberlanjutan demografi Indonesia,” tegas dr. Riyan.
Indonesia Hadapi Ancaman Depopulasi, Pemerintah Diminta Siapkan Langkah Antisipasi
Depopulasi disebabkan oleh tren penurunan angka kelahiran dan meningkatnya fenomena childless (tidak memiliki anak karena alasan medis) serta childfree (tidak memiliki anak karena pilihan). Saat ini, sekitar 11% pasangan usia subur di Indonesia mengalami infertilitas, sementara sebagian keluarga memilih untuk tidak memiliki anak karena faktor ekonomi dan gaya hidup.
Dr. Paksi C.K. Walandouw, Wakil Kepala Bidang Penelitian dan Pelatihan Lembaga Demografi FEB UI, menekankan pentingnya langkah antisipatif. “Pemerintah perlu memastikan kebijakan yang mempermudah dan mempermurah biaya membesarkan anak, memperluas layanan pengobatan infertilitas, dan mengakui infertilitas sebagai penyakit yang dapat ditanggung asuransi,” ujarnya. Depopulasi pada tahap selanjutnya dapat berdampak serius pada tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, dan budaya.
Menurut Paksi, pengalaman negara seperti Jepang dan Korea Selatan menunjukkan pentingnya antisipasi kebijakan sejak dini untuk menghindari jebakan penuaan populasi Dengan langkah strategis yang tepat, Indonesia diharapkan mampu menjaga pertumbuhan penduduk yang seimbang demi keberlanjutan ekonomi dan kelestarian budaya di masa depan.
Upaya Pemerintah dalam Menyediakan Layanan Kesehatan Reproduksi melalui Pemanfaatan Teknologi dan Tindakan Medis
Tim Kerja Pengembangan Teknologi Informasi dan Teknologi Kesehatan Lainnya, Kementerian Kesehatan Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes, mengungkapkan bahwa hingga Juli 2025 terdapat 60 rumah sakit berizin Teknologi Reproduksi dengan Bantuan (TRB) dan dokter fertilitas aktif. Tahun 2024, rumah sakit vertikal Kemenkes telah melaksanakan 916 TRB. Kemenkes menegaskan komitmennya dalam menyediakan layanan kesehatan reproduksi yang aman, berkualitas, dan terjangkau melalui pemanfaatan Teknologi Reproduksi dengan Bantuan (TRB).
Pemerintah akan terus berupaya memperluas layanan, meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan, dan membuka peluang pembiayaan melalui asuransi agar layanan TRB dapat menjangkau lebih banyak masyarakat. Kendati demikian, Kemenkes saat ini masih menghadapi tantangan, seperti keterbatasan SDM, tingginya biaya, serta akses yang belum merata.
Sesi Diskusi
dr. Astrid, Ketua Umum Perdoki menyoroti bahwa infertilitas yang disebabkan oleh kecelakaan kerja atau faktor risiko pekerjaan berpotensi untuk dicover BPJS Kesehatan. “Misalnya pada petani perempuan yang terpapar risiko kerja hingga mengalami infertilitas atau keguguran. Hal ini memperkuat urgensi untuk mendefinisikan infertilitas sebagai penyakit agar mendapatkan perlindungan pembiayaan,” ujarnya.
Prof. Dra. Omas Bulan Samosir, Ph.D., Guru Besar FEB UI menambahkan perspektif budaya. Menurutnya, pelibatan tokoh agama yang sebelumnya berperan dalam penurunan angka kelahiran kini dapat difokuskan untuk mempertahankan tingkat kelahiran. “BKKBN atau Kemendukbangga bisa bekerja sama dengan tokoh agama untuk sosialisasi kepada generasi muda agar menikah dan memiliki anak. Bahasa dan nilai budaya dapat menjadi sarana efektif untuk mempertahankan angka kelahiran,” jelasnya.
Dari sisi kesehatan kerja, Perdoki juga menyoroti bahwa banyak pekerjaan yang berisiko terhadap kesuburan, seperti petani yang terpapar pestisida atau pekerja dengan jam kerja berlebihan. dr. Riyan juga menjelaskan jika efek penggunaan kontrasepsi tertentu juga bisa memicu infertilitas sekunder yang perlu mendapat perhatian dan konsultasi medis.
Dari sisi pelayanan, Kemenkes menekankan bahwa seiring bertambahnya jumlah penduduk lansia di masa depan, layanan geriatri di puskesmas menjadi sangat penting. Saat ini, beberapa puskesmas sudah memiliki jalur khusus antrian lansia sebagai bagian dari upaya mengantisipasi depopulasi.
Terkait pembiayaan, BKKBN mengakui keterbatasan anggaran pemerintah akibat efisiensi yang dilakukan tahun ini dan tahun depan. Oleh karena itu, kolaborasi dengan pihak swasta menjadi peluang untuk mendanai edukasi dan kampanye sosial bagi pasangan yang mengalami infertilitas.
Moderator diskusi, Turro Selrits Wongkaren, menutup sesi dengan menekankan pentingnya data dan koordinasi lintas lembaga. Ia mencontohkan adanya Sistem Lansia Indonesia (SILANI) dari Bappenas yang belum banyak dikenal publik.
Acara diakhiri oleh Endang Antarwati selaku Wakil Kepala Bidang Administrasi, Keuangan, dan Sumber Daya Manusia Lembaga Demografi FEB UI dengan harapan agar diskusi ini dapat dikembangkan lebih lanjut, baik melalui kerja sama antar lembaga maupun dalam rangkaian kegiatan HUT Lembaga Demografi ke-61 yang akan digelar pada 26 Agustus 2025. Acara ini menjadi awal perayaan HUT ke-61 LD FEB UI, yang puncaknya akan berlangsung pada tanggal 26 Agustus 2025.




