Kebijakan UMKM Indonesia: Akses terhadap Pembiayaan
Millaty – Humas FEB UI
DEPOK (12/5/2018) – Program Studi Sarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Indonesia Universitas Indonesia telah melangsungkan perkuliahan Perekonomian Indonesia untuk mahasiswa Program Studi Akuntansi bertempat di Auditorium Soeria Atmadja Gedung Dekanat, Kampus FEB UI Depok, pada Sabtu (12/5/2018).
Perkuliahan yang berlangsung rutin kali ini disampaikan oleh T.M. Zakir Sjakur Machmud, M.Ec., Ph.D. yang juga merupakan Kepala UKMC FEB UI. Perkuliahan ini mengusung tema “Kebijakan UMKM Indonesia: Akses terhadap Pembiayaan” beliau menyampaikan kebijakan UMKM di Indonesia sangatlah luas dan terdiri dari banyak aspek salah satunya terhadap pembiayaan. Dalam hal ini, pemerintah melihat UMKM sebagai salah satu kanal untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif (inclusive growth), walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil di kisaran 5%, namun masih ada beberapa isu berkaitan dengan kualitas pertumbuhan beberapa diantaranya ketimpangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran.
Manfaat dari pertumbuhan ekonomi harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat bukan hanya oleh si kaya tapi juga oleh pihak yang kurang beruntung (masyarakat miskin). Ini tentang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang lebih memperhatikan pemerataan akses dan kesempatan kepada semua lapisan masyarakat. Menitikberatkan kepada penyerapan tenaga kerja produktif dari pada redistribusi pendapatan (BLT) untuk menolong orang miskin.
Saat ini pemerintah telah mendorong pengembangan UMKM melalui berbagai langkah kebijakan dan program. Sektor UMKM terbesar di Indonesia adalah di pertanian, mayoritas lokasinya tersebar di wilayah pedesaan (rural). Pemerintah ingin mendorong pemerataan akses finansial bagi UMKM lewat program inklusi keuangan. Dari beberapa literatur, sumber pembiayaan UMKM berasal dari luar sistem keuangan, yakni terdiri dari uang/tabungan sendiri, laba ditahan(sumber internal) atau pinjaman kerabat, tengkulak/rentenir(sumber external informal).
“Jadi, inklusi keuangan dalam konteks UMKM pada dasarnya adalah menggeser (shifting) dari sumber pembiayaan informal menjadi formal, baik melalui perbankan atau non-bank. Saat ini, lembaga keuangan perbankan masih mendominasi sistem keuangan nasional. Terbukti banyak kredit program untuk UMKM yang diluncurkan sejak tahun 1970an, diantaranya KIK, KMKP, KCK, KUK, KUT, KKPE, KUPS dan KUR(Kredit Usaha Rakyat). Sejauh ini, keberhasilan kredit program-program tersebut masih belum sesuai harapan. Program KUR dinilai kurang efektif mendukung program pemerintah mengentaskan kemiskinan(BPK). KUR lebih banyak diminati oleh kelompok usaha menengah(47%) dan kecil(31%), sementara kelompok usaha mikro hanya 22% (BI). KUR 74% salah sasaran (BKF). Ini terjadi karena ada kesenjangan yang besar antara perbankan sebagai penyalur dengan usaha mikro, “ujarT.M. Zakir Sjakur Machmud, M.Ec., Ph.D.
Perbankan enggan untuk menyalurkan KUR kepada usaha mikro karena ada isu asymetric information dan granularity (nilai kecil & jumlah banyak). UMKM sering dipersepsikan sebagai bisnis yang punya resiko kegagalan tinggi (high default risk), sehingga sering dikenakan suku bunga yang tinggi. Lembaga keuangan bank sangat butuh tambahan informasi tentang kelayakan bisnis (creditworthiness) UMKM, dan dalam rangka menekan biaya transaksi, bank butuh dalam jumlah besar (skala ekonomi).
Kebijakan pembiayaan UMKM saat ini untuk inovasi produk/jasa keuangan yang cocok untuk UMKM dalam sistem keuangan nasional masih kurang. Pembiayaan UMKM terlalu fokus pada bank dan berbentuk kredit dengan berbagai variasi subsidi (subsidi bunga, subsidi penjaminan kredit), rentan terhadap “moral hazard”. Instrumen dan peran lembaga non-bank (leasing, pasar modal, factoring, LKM, asuransi dll) dalam menyokong UMKM belum maksimal dan masih bersifat sporadis.
Oleh karena itu PR pemerintah sangatlah banyak, dibutuhkan variasi yang lebih selain adanya KUR, mengingat kebutuhan dari berbagai sektor UMKM yang berbeda-beda. (Des)