Ari Kuncoro: Pendidikan, Industri, Perambahan pada Daerah Penyangga Tata Air, dan Kesejahteraan Petani Jadi Pekerjaan Rumah Bagi Pemerintah
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
Dalam meningkatkatkan produktivitas Indonesia, pemerintah pada periode 2015 – 2017 telah memusatkan diri pada pembangunan infrastruktur sebagai kuda-kuda untuk pemangunan ke depan. Sebagai langkah awal, pembangunan infrastruktur telah memperbaiki citra daya saing Indonesia. Pada 2017, indeks peringkat Indonesia untuk kemudahan berusaha naik 15 tangga dari posisi ke-106 menjadi ke-91, sehingga Indonesia termasuk 10 negara yang memperbaiki diri dengan cepat (biggest climber). Indeks daya saing naik dari peringkat ke-41 menjadi ke-36.
Sementara itu, untuk pencapaian kuantitas, sebenarnya Indonesia tak terlalu tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara. Survei PISA terakhir menunjukkan bahwa lulusan SD di Indonesia memiliki kelemahan pada matematika dan membaca yang mengisyaratkan kelemahan dalam berpikir logis dan beragumentasi dalam bahasa tulis ataupun lisan.
“Kualitas yang seperti ini mungkin cukup baik untuk fase awal dari industri yang mengandalkan pekerja tak terampil, tetapi tak cukup untuk upgrading ke industri yang padat iptek. Perubahan proses industri dari produksi yang berlokasi di satu tempat ke banyak lokasi (chain value) di beberapa negara yang berbeda juga sukar dilakukan, karena butuh kemampuan koordinasi yang berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi dan berbahasa,” ucap Ari Kuncoro dalam rilis tulisannya di koran Kompas (31/8/2018).
Operasi perusahaan bergantung pada pesanan industri-industri hilirnya yang bersifat musiman sehingga diperlukan modal kerja yang cukup. Segmen industri menengah dan sedang ini menyebabkan tingginya persentase impor bahan baku dan penolong, barang-barang setengah jadi, suku cadang dalam total impor Indonesia 75%.
Untuk menghasilkan barang-barang berkualitas tinggi, diperlukan bahan baku yang berkualitas baik. Jika tidak, kenaikan permintaan hanya akan menimbulkan defisit neraca berjalan yang melebar. Pengekangan impor bahan baku yang tak berhati-hati tak akan efektif karena barang input substitusi yang berkualitas sama dari dalam negeri belum tentu dapat ditemukan. “Apabila, ekspor manufaktur juga mengandalkan barang input berkualitas tinggi impor,” ungkap Ari Kuncoro.
Dari sisi sektor jasa pariwisata yang berkembang sesuai dengan permintaan kaum milenial dapat digunakan sebagai bisnis untuk ekspor jasa pariwisata sekaligus menyerap surplus tenaga kerja dari sektor tradisional ke modern (manufaktur-jasa). Selain itu, sistem inovasi di Indonesia terdiri dari tiga pemain, yaitu sektor publik, swasta, dan perguruan tinggi (PT). Sumbangan swasta sangat kecil dalam melakukan R&D yang berpotensi menghasilkan inovasi 0,44% dari biaya produksi untuk manufaktur.
Sistem inovasi yang ada di PT yang sudah menghasilkan produk-produk inovatif. Yang menjadi masalah, banyak dari inovasi itu tetap pada skala lab dan tak diimplementasikan dalam produksi massal. Sistem inovasi lainnya berasal dari pemerintah tampaknya lebih bersifat seperti silo atau struktur yang digunakan untuk menyimpan bahan curah yang punya sedikit hubungan dengan dunia usaha. Penekanan yang berlebihan pada publikasi artikel ilmiah di jurnal ilmiah terindeks seperti Scopus juga tak banyak membantu menguatkan kaitan antara industri dan dunia akademi.
Konsep pertumbuhan endogen yang terkini juga telah memasukkan tata kelola pemerintahan, kelestarian lingkungan dan kesehatan (termasuk gizi) masyarakat sebagai faktor yang turut memengaruhi produktivitas nasional. Dari segi pelestarian lingkungan kota-kota harus berubah menjadi perkotaan yang smart, efisien, ramah lingkungan, dan nyaman bagi penduduknya yang akan menghasilkan masyarakat yang bahagia, sehat, dan produktif.
Perambahan daerah permukiman dan komersil yang menggerogoti lahan pertanian berjalan cepat setiap tahun. Dampaknya ada pada tata air dan ketahanan pangan. Durasi dan luas daerah banjir dan kekeringan setiap tahun kian ekstrem dengan perubahan iklim global.
Oleh karena itu, pekerjaan rumah bagi pemerintah 2019 – 2024, yaitu pertama memperbaiki pendidikan nasional di segala tingkat yang kompetitif sesuai tuntutan Revolusi Industri 4.0. Dalam jangka panjang pemerintah perlu melakukan perbaikan pada sistem pendidikan di segala tingkat, termasuk vokasi, untuk menghasilkan talenta yang memadai untuk sektor industri yang telah ditingkatkan konten ipteknya.
Kedua, pemerintah memfasilitasi pembangunan industri-industri pendukung dengan menurunkan biaya logistik, seperti sudah dilakukan saat ini dengan pembangunan infrastruktur. Dan terakhir, untuk mengurangi perambahan pada daerah penyangga tata air seperti hutan lindung, dan kesejahteraan petani harus ditingkatkan. (Des)
Sumber: Koran Kompas. Edisi Jumat, 31 Agustus 2018.