Fithra Faisal Hastiadi: Masa Depan Paralel Rupiah
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
Melihat nasib rupiah sekarang, tentu tak lepas dari kelalaian membangun infrastruktur penopang industri serta peningkatan kualitas tenaga kerja. Permasalahan deindustrialisasi yang persisten hampir selalu membayangi volatilitas rupiah. Produktivitas tenaga kerja yang lekat tanah juga menambah beban rupiah.
Pemerintah bukannya kurang akal, pembangunan infrastruktur adalah salah satu intervensi buruknya kinerja industri. Namun, di sisi lain, Kementerian Perindustrian terjebak hype revolusi industri keempat tanpa memberikan solusi taktis atas permasalahan yang disebut Dani Rodrik sebagai fenomena deindustrialisasi prematur.
“Perhitungan saya berdasarkan data runtun waktu, setidaknya ada koreksi 0,5 – 0,8 % dari pertumbuhan ekonomi dunia akibat perang tarif. Melihat data Impuls Response Function (IRF), tekanan dari sesama emerging markets (EM) dan juga kebijakan AS jelas terefleksi pada volatilitas rupiah. Namun, efeknya tidak lama. Justru tekanan dari neraca akun semasalah yang memberikan efek kelembaman lebih besar,” tutur Fithra Faisal Hastiadi dalam rilis tulisannya di koran Republika, (17/9/2018).
Temuan ini diperkuat tes Forbes Riggobon oleh Handika (2018) yang menyatakan tidak ada hubungan contagion EM dan AS kepada rupiah. Sebagai tambahan, hasil dekomposisi variabel menunjukkan, sebenarnya yang membawa rupiah tertekan cukup dalam pada jangka pendek lebih ke faktor ekspektasi liar bukan semata-mata faktor fundamental.
Meski perlu diakui, efek guncangan dari neraca akun semasa memberikan kelembaman cukup besar pada depresiasi rupiah. Namun, ini bersifat pemantik, yang lebih banyak berperan ialah kepanikan dan spekulasi. Jika tidak segera dibenahi, depresiasi rupiah alih-alih memberikan dampak positif, justru berpeluang membuat pertumbuhan ekonomi tahun ini menurun. “Model kami memprediksi ekonomi tumbuh 5,08% dan 4,9% pada kuartal III dan IV tahun ini,” kata Fithra.
Dalam jangka pendek, pemerintah mengurangi tekanan pada neraca akun semasa dengan dengan pengenaan PPh 22 atas impor barang konsumsi, perluasan TKDN, perluasan penggunaan B-20, dan insentif ekspor. Ini justru akan membawa rupiah pada masa depan paralel yang kelam. Pengenaan PPh 22 rata-rata 8,5% atas impor barang konsumsi berpotensi membuat output mengkerut hingga Rp47 triliun dan hilangnya pendapatan rumah tangga hingga Rp5 triliun. Belum lagi potensi retaliasi negera mitra dagang.
Sementara itu, penggunaan TKDN akan memicu inflasi mengingat kapasitas industri kita belum memadai untuk memenuhi kebutuhan industri. Pada gilirannya justru makin menekan industri secara umum. Dampak segeranya, hilangnya potensi ekspor CPO yang justru semakin menekan kinerja ekspor dus neraca akun semasa. Pemberian insentif ekspor juga berpeluang pada countervailing measures negara mitra yang tentunya melibatkan kenaikan biaya ekspor.
Dengan efektivitas yang menghujam nadi masalah serta dampak negatif yang juga tak sebesar PPh 22 itu, bisa jadi pemotongan subsidi adalah inflection point yang akan membuat rupiah makin kuat di masa mendatang. Tetapi, tentu ada prasyaratnya, proses pembenahan struktur ekonomi tetap berjalan efektif yang melibatkan mekanisme pendampingan, kontrol, serta evaluasi kebijakan.
“Jika demikian, nasib rupiah pada masa depan hanya akan ditentukan strategi dan taktik di jangka pendek dan menengah oleh pemangku kebijakan,” tutupnya. (Des)
Sumber: Koran Republika. Edisi 17 September 2018