Subroto: Reposisi Migas dalam Menyiapkan Indonesia 4.0
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas pada 23 Januari 2019 membahas tentang Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi yang merupakan inisiatif DPR. Inisiatif penting ini melibatkan seluruh spektrum politik di Tanah Air yang harus mengutamakan kepentingan nasional jangka panjang dan bukan kepentingan politik jangka pendek.
Migas merupakan bagian sangat penting dari bauran energi Indonesia saat ini dan mendatang. Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang sudah mengasumsikan pertumbuhan energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 15 kali lipat dari 20,3 MTOE (setara juta ton minyak) di tahun 2015 menjadi 315,7 MTOE di tahun 2050 tetap mengindikasikan kebutuhan pasokan minyak bumi yang meningkat sampai 1,9 juta barel per hari di tahun 2025 dan menjadi 3,9 juta brrel per hari di tahun 2050.
“Padahal, lifting minyak bumi di tahun 2018 tercatat hanya sebesar 0,778 juta barel per hari. Maka, RUEN memberikan sinyal bahwa Indonesia perlu impor minyak 77 persen (2025) sampai 87 persen (2050) serta defisit gas bumi sebesar 37 persen (2025) sampai 78 % (2050). Itu pun sudah dengan asumsi terdapat tambahan produksi dalam negeri hasil eksplorasi, kata Subroto Guru Besar Emeritus FEB UI dalam rilis tulisannya di koran Kompas, (2/2/2019).
Impor migas bagi banyak negara adalah keniscayaan dan tidak otomatis menjadi masalah besar asalkan ekonomi negara tersebut cukup kuat untuk menyerap harga migas di pasar internasional yang merupakan sumber pasokannya. Sementara di Indonesia, saat ini kita sudah mengalami defisit neraca perdagangan yang lumayan besar, antara lain akibat impor migas yang menurut proyeksi RUEN akan terus meningkat setidaknya sampai tahun 2030.
Padahal, potensi sumber daya migas di Indonesia masih menjanjikan meskipun untuk menemukan dan mengembangkannya tidak akan semudah seperti masa-masa lalu karena tantangan geologis yang berbeda. Investasi besar dan teknologi canggih sangat dibutuhkan sehingga perlu kolaborasi dengan perusahaan dan SDM dari luar Indonesia.
”Di sektor hilir, volume konsumsi migas sebesar itu juga membutuhkan banyak infrastruktur baru, yaitu kilang minyak, fasilitas regasifikasi, jaringan pipa, stasiun pengisian bahan bakar, dan sebagainya. Sektor hilir juga membutuhkan investasi besar yang sulit dipenuhi hanya dari sumber pendanaan dalam negeri,” ujarnya.
Profil migas yang sangat menantang inilah yang perlu dikelola dan diatasi oleh Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) yang sedang digodok pemerintah dan DPR demi kelangsungan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional jangka panjang.
Tepat kiranya arahan Presiden dalam rapat terbatas, yaitu supaya RUU Migas mendorong peningkatan produksi migas, penguatan kapasitas nasional, penguatan industri dalam negeri, investasi sumber daya manusia, dan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Untuk mencapai itu semua dibutuhkan tata kelola migas yang kompetitif, efisien, transparan, dan tidak berbelit-belit.
Peningkatan produksi hanya dapat terjadi apabila terjadi peningkatan investasi. Indonesia berkompetisi ketat dalam menarik investasi migas dengan negara-negara lain sebab tidak ada satu negara pun yang sanggup membangun sektor migas hanya dengan anggaran pemerintah. Investor pun akan membandingkan tingkat risiko dan pengembalian modal secara global.
“Pemerintah yang mengutamakan penerimaan negara dari sektor migas (misalnya dengan memaksa bagi hasil yang mayoritas mengalir kepada pemerintah) akan memberikan tingkat pengembalian modal lebih rendah bagi investor,” tambahnya.
Jika hal ini dikombinasikan dengan tingkat risiko yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara lain, bisa dipastikan investasi tidak akan mengalir. Karena itu, RUU Migas harus menyediakan tiga ruang bagi sistem kontrak kerja sama yang memberi kepastian dan bisa segera menarik investasi secara masif.
Tata kelola migas baru nanti harus mengejewantahkan reposisi paradigma migas dari ‘migas sebagai sumber penerimaan negara’ menjadi ‘migas sebagai modal dasar pembangunan dan pemantik efek berganda bagi ekonomi nasional serta daerah’. Reposisi ini dimungkinkan karena pembangunan Indonesia telah berhasil meningkatkan kontribusi sektor-sektor ekonomi lain bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kontribusi migas yang sempat mencapai lebih dari 60 persen di periode 1973-1983 kini tinggal sekitar 6 persen. Justru reposisi paradigma ini diharuskan karena Indonesia tak lagi terlalu perlu pemasukan negara dari migas, tetapi sangat butuh ketersediaan migas untuk menggerakkan ekonomi. Paradigma ini selaras dengan mandat UU tentang Energi dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Ekonomi Indonesia masa depan yang perlu mengikuti irama Revolusi Industri 4.0 akan tetap membutuhkan migas sebagai sumber energi ataupun bahan baku industri. Apabila pasokan migas terganggu, ekonomi Indonesia akan terlalu rentan terhadap impor dan disrupsi global. Hilirisasi tanpa peningkatan produksi hulu berarti membangun industri yang akan bergantung pada impor.
“Oleh karena itu, RUU Migas perlu melindungi sektor migas dari pemburu rente dan memberikan rasa nyaman bagi investor bonafide untuk menanamkan ratusan triliun rupiah serta turut membangun SDM Indonesia dan industri nasional. Tanpa investasi, mustahil menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945 untuk mempergunakan kekayaan alam kita untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan mencapai Indonesia Raya sejahtera berdasarkan Pancasila pada tahun 2045,” tutupnya.
Sumber: Koran Kompas. Edisi: Sabtu, 2 Februari 2019. Kolom Opini. Halaman 6.