Fithra Faisal Hastiadi : Perekonomian Indonesia di Waktu Sibuk
Saya teringat kondisi kurang lebih 10 tahun yang lalu harus selalu melalui waktu sibuk (rush hour) di Jepang setiap kali akan berangkat ke tempat kerja saya di Tokyo.Dalam rangka menyambung hidup sebagai mahasiswa doktoral pas-pasan, pekerjaan paruh waktu sebagai ekonom junior di ADB Institute di wilayah Kasumigaseki, terpaksa harus saya lalui. Di pagi buta, para salary man di Tokyo menyabung peruntungan dengan berdesakan di kereta. Tak kurang dari petugas Tokyo Metro Tozai Line yang selalu siap mendorong para penumpang masuk berdesakan hingga muat pintu ditutup, persis seperti ikan sarden.
Dalam keadaan penuh sesak itulah saya teringat sebuah puisi kontemporer karya Christopher Black. “Somebody help me I can’t breathe, I find myself cowering On my knee, I reach out earnestly begging, please I’ve never asked for help. It’s foreign to me, You’re all marching by too blind to see I am human too.” Tampaknya kini, perekonomian Indonesia pun harus ber-tarung juga di waktu sibuk. Konsekuensinya? Berdesakan hingga sesak nafas (Crowding Out Effect).
Crowding out effect dalam definisi sederhana adalah aktivitas fiskal pemerintah (terutama dengan menerbitkan obligasi) yang menjadi musabab terkendalanya aktivitas sektor swasta. Dengan kebijakan yang ekspansif, sejatinya pemerintah ingin memberikan stimulus untuk perekonomian. Namun celakanya sektor swasta menjadi sarden yang tertumpuk. Betapa tidak? Jika kita melihat proporsi obligasi pemerintah terhadap total keseluruhan obligasi per Desember 2018 sudah mencapai 85%, belum ditambah lagi dengan BUMN. Angka ini terbilang tinggi jika dibandingkan dengan sejawat di Asean seperti Thailand (72%), Singapura (60%), Malaysia (52%), dan bahkan untuk rata-rata Asean (68%). Jika dibandingkan dengan awal 2014, penerbitan obligasi pemerintah telah tumbuh 60% atau rata-rata tumbuh 15% per tahun. Hal ini tentu dapat dimengerti mengingat pemerintah tampak berupaya keras untuk menggenjot pembangunan infrastruktur. Dan sebagaimana bisa dipahami, untuk bisa menggenjot ekspor diperlukan basis industri yang kuat. Sementara itu dalam rangka menggenjot kinerja industri yang kini sudah mengalami gejala deindustrialisasi yang prematur maka dibutuhkan dorongan dari sisi infrastruktur. Celakanya, niat baik ini memiliki ekses yang negatif. Alih-alih bisa mendorong produksi, justru kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) malah semakin lekat tanah.
Hal ini disebabkan oleh mandeknya aktivitas para produsen akibat kesulitan mendapatkan dana, terutama dari pasar obligasi. Kalaupun bisa mendapatkan dana, ongkosnya (bunga) sangat mahal karena memang dana sudah tersedot oleh pemerintah. Lantas kenapa peminat obligasi pemerintah bisa sangat banyak? Tentu ini tak lepas dari faktor risiko yang sangat kecil dibandingkan dengan memiliki obligasi korporat. Memang ada adagium bahwa semakin tinggi risiko maka sema- kin tinggi pula potensi keuntungan (high risk, high return).
Namun mengingat kecenderungan dalam beberapa tahun terakhir, investor tampaknya lebih ingin menghindar dari risiko (risk averse), sehingga terjadilah crowding out effect tersebut. Fakta ini semakin kuat jika kita melihat korelasi antara obligasi pemerintah dengan ekspor produk manufaktur yang cenderung negatif. Artinya setiap terjadinya kenaikan obligasi pemerintah memiliki kecenderungan untuk membuat ekspor produk manufaktur menja- di semakin terdesak mandek. Tengok saja defisit neraca dagang selama 2018, yang tercatat sebagai tekor paling besar semenjak dicatat BPS pada 1975. Meskipun rilis data terbaru dari BPS (Februari 2019) bahwa nera- ca dagang telah mencatat surplus tetapi surplus ini terjadi, karena penurunan impor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor.
Yang lebih parahnya lagi, penurunan impor terbesar dari sektor nonmigas (20% month to month) justru terjadi pada barang-barang yang dibutuhkan untuk produksi dan industrialisasi seperti mesin dan peralatan listrik, bahan kimia organik, benda-benda besi dan baja, serta kendaraan dan bagiannya.
Dengan demikian, kedepan dikhawatirkan tren deindustrialisa- si semakin persisten. Indonesia bahkan sudah kehilangan momentum dalam rantai jaring produksi global, tertinggal dari Thailand dan Malaysia, bahkan Filipina, dan Vietnam.
Kinerja ekspor yang turun tentu menjadi kekhawatiran tersendiri. Melihat proyeksi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, setidaknya dibutuhkan pertumbuhan ekspor rata-rata sebesar 8,8% hingga 2019 untuk bisa menopang pertumbuhan ekonomi dan meminimalisasi risiko nilai tukar. Padahal realitanya, ekspor hanya tumbuh rata-rata 6%, sehingga masih jauh panggang dari api. Pemerintah tampaknya menghadapi simalakama. Ketika ingin membangkitkan industri dengan infrastruktur tentu butuh dana yang memadai. Ketika dana tersebut didapat dari pasar, justru kor- bannya adalah sektor swasta yang megap-megap. Sebagai agen di sektor riil, sek- tor swasta mengalami masalah yang teramat pelik mengingat komponen pembiayaan mereka di jangka panjang mengalami tren menanjak langit. Lantas bagaimana solusinya?
Solusi yang paling ideal adalah adanya mekanisme fine tuning untuk bisa mendapatkan rasio bond issuance yang optimal. Berikutnya adalah semakin melibatkan swasta dalam skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk bisa mengurangi beban negara dan membe- rikan ruang yang memadai bagi sektor swasta sebagai operator di sektor riil.
Dengan ruang yang memadai maka denyut nadi industri yang semula lemah bisa kembali normal. Dengan degup industri yang kuat, ekspor Indonesia diharapkan semakin menanjak, sehingga tekanan pada neraca akun semasa (current account) bisa mereda. Yang jelas proses ini butuh waktu dan butuh kesabaran.
Sugiwa Kasumigaseki Desu, tak terasa operator kereta Tokyo metro telah menginfokan bahwa stasiun Kasumigaseki telah dekat.
Saya merapikan coat saya untuk menghadapi dinginnya Tokyo ketika itu. Untungnya saya memiliki bos yang hangat, orang Italia, Giovani Capanelli Kinerja ekspor yang turun tentu menjadi kekhawatiran tersendiri. Melihat proyeksi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, setidaknya dibutuhkan pertumbuhan ekspor rata-rata sebesar 8,8% hingga 2019 untuk bisa menopang pertumbuhan ekonomi dan meminimalisasi risiko nilai tukar.
Padahal realitanya, ekspor hanya tumbuh rata-rata 6%, sehingga masih jauh panggang dari api. Pemerintah tampaknya menghadapi simalakama. Ketika ingin membangkitkan industri dengan infrastruktur tentu butuh dana yang memadai. Ketika dana tersebut didapat dari pasar, justru korbannya adalah sektor swasta yang megap-megap.
Sebagai agen di sektor riil, sektor swasta mengalami masalah yang teramat pelik mengingat komponen pembiayaan mereka di jangka panjang mengalami tren menanjak langit. Lantas bagaimana solusinya?
Solusi yang paling ideal adalah adanya mekanisme fine tuning untuk bisa mendapatkan rasio bond issuance yang optimal. Berikutnya adalah semakin melibatkan swasta dalam skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk bisa mengurangi beban negara dan membe- rikan ruang yang memadai bagi sektor swasta sebagai operator di sektor riil.
Dengan ruang yang memadai maka denyut nadi industri yang semula lemah bisa kembali normal. Dengan degup industri yang kuat, ekspor Indonesia diharapkan semakin menanjak, sehingga tekanan pada neraca akun semasa (current account) bisa mereda.
Yang jelas proses ini butuh waktu dan butuh kesabaran.
Sugiwa Kasumigaseki Desu, tak terasa operator kereta Tokyo metro telah menginfokan bahwa stasiun Kasumigaseki telah dekat. Saya merapikan coat saya untuk menghadapi dinginnya Tokyo ketika itu. Untungnya saya memiliki bos yang hangat, orang Italia, Giovani Capanelli.
Sumber : Bisnis Indonesia 20/03/2019