Ari Kuncoro Tanggapi Kondisi Neraca Perdagangan
Delli Asterina ~ Humas FEB UI
BPS Badan Pusat Statistik melaporkan neraca perdagangan di bulan Maret 2019 mengalami surplus sebesar 550 juta dolar AS, Kepala BPS RI, Suhariyanto mengatakan surplus neraca perdagangan karena nilai ekspor bulan Maret 2019 yang mencapai 14,03 miliar dolar AS sedangkan nilai impor mencapai 13,49 miliar dolar AS. Namun, secara tahunan nilai ekspor bulan Maret 2019 turun menjadi 10,01% dan impor turun menjadi 6,67% .
Suhariyanto juga menjelaskan surplus neraca perdagangan didukung dengan surplus non migas sebesar 988 juta dolar AS sedangkan sektor Migas masih mengalami defisit sebesar 488 juta dolar AS.
Adapun neraca perdagangan dipengaruhi oleh ICP atau harga minyak Indonesia yang meningkat lagi di Maret 2019 kemarin menjadi 63.60 dolar AS per Barelnya.
Pada bulan Februari dan bulan Maret berurutan, mengalami surplus di trade balance dalam atau neraca perdagangan, jika di Februari kemarin mengalami surplus sekitar 330 juta dolar AS. Pada bulan Maret bertambah surplus sekitar 540 juta dolar AS.
“Jadi apabila dilihat Ekspor Indonesia mulai turun dari triwulan ke-3 dan ke- 4 pada tahun 2017 ketika perang dagang belum ada, hanya dengan rumor tapi format exspectation membuat yang membeli barang sudah mulai mengurangi stok nya dan kemudian akibatnya apa yang terlihat itu adalah volume ekspor tidak berubah. Perubahan tersebut ada pada harga, terutama komoditi dan beberapa barang manufaktur. Jadi harganya itu turun sementara pada saat itu pembangunan di kita lagi full swing sehingga impor meningkat untuk bahan baku di industri maupun infrastruktur sehingga terjadilah gap,” kata Ari.
“Yang menariknya bahwa ekonom kita mem-forecast pada bulan februari hingga bulan maret masih defisit yang menunjukkan bahwa kita tidak bisa lagi menggunakan peramalan menggunakan tren, sehingga yang digunakan sekarang sebenarnya adalah headling matching,” ujarnya.
“Neraca migas defisit di 1.34 Miliar dolar AS hingga kuartal pertama tahun 2019,”
“Tadinya harga migas internasional cenderung menurun dan ternyata ketika ada cahaya baru antara China dan Amerika itu mempengaruhi pasar barang. Karena mereka melihat bahwa volume perdagangan internasional lebih tinggi bisa men-support harga minyak yang lebih tinggi ditambah lagi pengeluaran output dari Arab Saudi dan kerjasama dengan Rusia dan juga shell oil yang dari Amerika. Tampaknya dia tidak undercupprice,”
“Pengurangan dari impor ini sebenarnya juga terjadi karena pada waktu itu ekspor terutama non migas itu belum naik. Ekspor kita yang naik ini menjelaskan mengapa importnya naik karena ekspor barang yang berkualitas itu banyak menggunakan komponen impor untuk bahan bakunya untuk material dan untuk bahan setengah jadi,”
“Jadi yang terjadi ini sebenarnya adalah suatu pembalikan ekspektasi dari situasi dunia oleh IMF dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3.43 dan terlihat pesimis,”
“Pada neraca pembayaran ini capital inflow masih masuk, masih surplus sekitar 4 miliar dollar AS. Jadi nanti yang terjadi adalah kombinasi yang terbaik, capital inflow terjadi, neraca perdagangan membaik, tinggal neraca berjalan yang masih akan defisit karena kelemahan di sektor jasa. Makanya untuk memperbaiki lagi kita gunakan neraca berjalan dan neraca secondary income yang berasar dari TKI sekarang itu jumlahnya kurang lebih 6,9 miliar dolar AS dan itu datang tidak hanya dari TKI yang biasanya kita bicarakan, tetapi dari profesional vokasi misalnya misalnya suster, juru masak dan mandor pabrik,” tuturnya.
“Saya duga akan kembali ke neraca berjalan 2.2% dari GDP karena saya menduga ekspor impor akan membesar lagi seperti tahun 2016 atau tahun 2017,” tutupnya.