Seminar Mingguan Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI Bahas Kenaikan Pajak Cukai Tembakau Rokok Dapat Mengurangi Konsumsi Rokok
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI mengadakan Seminar Mingguan dengan pembahasan mengenai on Tobacconomics yang bertempat di ruang 407, Gedung Pascasarjana, Rabu (17/7/2019)
Pemateri pada Seminar Mingguan kali ini berasal dari internal FEB UI, yaitu Vid Adrison, Ph.D., selaku Ketua Program Studi (Kaprodi) MPKP dengan pembahasan ‘Harga Rokok dalam Sistem Cukai yang Kompleks: Bukti Empiris dari Indonesia’ dan Dr. Abdillah Ahsan selaku Wakil Kepala PEBS membahas tentang ‘Keterjangkauan dan Rokok Illegal di Indonesia: Sebuah Riset untuk Tindakan Kebijakan’.
Kaprodi MPKP FEB UI, Vid Adrison mengatakan sistem pajak rokok yang kompleks di Indonesia telah menciptakan peluang bagi produsen rokok untuk menghindari pajak sehingga menghasilkan harga rokok yang terjangkau.
Selain meningkatkan pajak rokok setiap tahun, pemerintah telah mengadopsi beberapa kebijakan untuk menaikkan harga rokok, seperti mengurangi jumlah tingkatan dan menerapkan pajak rokok berdasarkan produksi gabungan dari perusahaan afiliasi (yakni perusahaan dengan kepemilikan minimum 10% dari perusahaan rokok lain dengan berbagi dewan komisaris yang sama atau menggunakan input dari perusahaan tembakau lain, di mana perusahaan memiliki setidaknya 10 kepemilikan).
Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk menyelidiki pengaruh pajak rokok, peraturan perusahaan terafiliasi, dan perubahan jumlah tingkatan terhadap harga rokok yang diproduksi di Indonesia. Dengan menggunakan data tingkat merek dari 2005 hingga 2017, kami memodelkan jenis rokok dan sistem pajak rokok menggunakan estimasi efek acak dan efek tetap.
“Kami menemukan bahwa persentase kenaikan pajak rokok meningkatkan harga rokok kurang dari 1% untuk semua jenis rokok. Penerapan aturan perusahaan terafiliasi efektif dalam meningkatkan harga rokok baik untuk perusahaan afiliasi maupun non-afiliasi. Kami juga menemukan bahwa jumlah tingkatan yang lebih sedikit dikaitkan dengan harga rokok yang lebih tinggi. Hasilnya menunjukkan bahwa pengurangan jumlah tingkatan akan meningkatkan efektivitas sistem pajak tertentu dalam membuat rokok menjadi lebih terjangkau,” ucap Vid Adrison.
Wakil Kepala PEBS FEB UI, Abdillah Ahsan memaparkan bahwa analisis keterjangkauan rokok merupakan input penting untuk memandu kebijakan pengendalian tembakau, khususnya pajak tembakau. Bukti global menunjukkan bahwa ketika rokok dibuat secara substansial kurang terjangkau bagi konsumen, banyak orang akan berhenti atau mengurangi merokok, terlepas dari kecanduan nikotin, sementara banyak yang akan merokok tidak akan pernah memulai.
Studi ini menyelidiki tren keterjangkauan rokok di Indonesia dari tahun 2002 hingga 2017. “Analisis keterjangkauan sangat penting bagi Indonesia saat ini, karena pemerintah telah mempercepat langkah-langkah pengendalian tembakau, terutama dengan menaikkan pajak cukai rokok negara sebanyak enam kali antara tahun 2011 dan 2017,” ujarnya.
Sementara itu, dengan prevalensi merokok seorang pria di atas 60%, Indonesia telah bergerak untuk memperketat penegakan terhadap perdagangan gelap termasuk dengan meningkatkan bobot perdagangan anti-ilegal pada kegiatan produk tembakau dalam kontrak kerja dan evaluasi kinerja untuk pegawai Bea dan Cukai.
“Jumlah operasi penegakan hukum di Indonesia yang ditujukan untuk rokok ilegal naik dari 996 pada tahun 2014 menjadi 3.950 pada tahun 2017. Perkiraan bagian perdagangan gelap domestik produk-produk tembakau menyusut dari 12,1 persen pada 2016 menjadi 7,0 persen pada 2018,” tutupnya. (Des)