Budi Frensidy Kaji Cerdas Finansial Berbekal Personal Finance
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Staf Pengajar pada Departemen Akuntansi FEB UI dan Penulis Buku Matematika Keuangan, Budi Frensidy merilis tulisan yang dimuat di koran Kontan, kolom Bursa, halaman 4, pada Senin (4/11/2019) bahwa dalam dua-tiga dekade terakhir, ilmu finansial dan produknya di negeri ini terus berkembang. Tahun 1995 belum ada reksa dana, SUN, ORI, obligasi syariah, sukuk ritel, EBA, ETF, dan atau DIRE di pasar modal kita, apalagi yang namanya KPD (Kontrak Pengelolaan Dana). Profesi manajer investasi juga belum dikenal.
Reksa dana dan profesi manajer investasi mulai marak setelah ada UU Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. Sebelumnya, mahasiswa keuangan di sini hanya belajar manajemen keuangan, kadang sampai tiga semester. Belum ada mata kuliah manajemen investasi, sekuritas derivatif, analisis sekuritas pendapatan tetap, dan manajemen risiko seperti saat ini. Maklum saja, pada tahun 1988 hanya ada 24 perusahaan terbuka dengan kapitalisasi pasar Rp449 miliar dan transaksi harian Rp120 juta. Sementara obligasi korporasi masih hitungan jari sebelah tangan. Bandingkan dengan kapitalisasi BEI saat ini yang Rp7.200 triliun dengan transaksi harian mendekati Rp9 triliun.
“Saat kita hanya mengenal mata kuliah corporate finance, di luar negeri berkembang banyak cabang finance lain. Salah satunya adalah personal finance yaitu cabang ilmu keuangan yang berhubungan dengan manajemen keuangan pribadi, keluarga, dan perusahaan kecil. Personal finance berbeda dari corporate finance yang mempelajari manajemen keuangan korporasi. Mengetahui jumlah perusahaan yang sudah go public di Indonesia kini masih sekitar 670 sementara korporasi yang sudah mengeluarkan obligasi berkisar 100, aplikasi corporate finance di Indonesia tidaklah sebanyak di negara dengan sistem keuangan market-based seperti Amerika dan Inggris,” kata Budi Frensidy.
Ketika sebuah perusahaan membutuhkan dana investasi, corporate finance hanya memberikan dua alternatif pembiayaan yaitu mengeluarkan saham baru atau menerbitkan obligasi. Sebagian besar perusahaan di Indonesia tidak punya akses itu. Pilihannya hanya pemilik menyetor tambahan modal atau berutang kepada bank. Karenanya, pembekalan dan pengajaran personal finance lebih dibutuhkan di Indonesia daripada di negara maju dengan sistem keuangan market-based.
Hingga sekarang personal finance di negeri ini belum dipandang perlu dipelajari mahasiswa keuangan apalagi dijadikan mata kuliah wajib. Personal finance hanya ditawarkan dalam kursus-kursus perencanaan keuangan.
Meskipun personal finance lebih bermanfaat daripada corporate finance dalam membekali lulusan dengan logika keuangan yang dibutuhkan, baik untuk menjadi wiraswasta atau bekerja di perusahaan kecil dan menengah, hanya satu-dua perguruan tinggi kita yang memasukkannya dalam kurikulum. Sementara corporate finance bersifat wajib di fakultas ekonomi dan bisnis dengan tujuan menyiapkan lulusannya untuk bekerja di perusahaan multinasional dan korporasi besar.
Buku-buku itu mengajarkan bagaimana mengelola keuangan sebuah korporasi yang punya akses ke pasar modal. Tidak ada yang aneh jika alternatif pendanaan yang dibahas adalah saham dan obligasi. Masalahnya, di Indonesia jumlah perusahaan yang punya akses terhadap dua instrumen keuangan itu masih kurang dari 750 buah mengingat sebagian besar yang menerbitkan obligasi adalah juga perusahaan terbuka.
“Sedihnya lagi, buku-buku keuangan korporasi atau corporate finance yang ditulis pakar kita juga kurang memberikan nilai tambah. Buku-buku itu gagal mengingatkan kenyataan ini karena hanya mengkompilasi buku-buku lain atau mengacu kepada buku-buku referensi luar negeri dan bukan keadaan riil di Indonesia,” ujarnya.
Aplikasi Personal Finance
Contoh-contoh aplikasi personal finance adalah bagaimana merencanakan keuangan untuk hari tua atau untuk tujuan lain, plus-minus KPR syariah dibandingkan dengan KPR konvensional, plus-minus membeli tunai dibandingkan kredit, bagaimana menghitung yield dari tabungan pendidikan yang marak ditawarkan, bagaimana menghitung bunga efektif sebuah pinjaman, serta bagaimana menyusun skedul KPR dan melakukan refinancing yang diperlukan.
Berbekal personal finance, mahasiswa akan mendapatkan logika dan perhitungan yang diperlukan untuk menyelesaikan berbagai masalah keuangan dalam kehidupan ini dengan cerdas, bukan dengan menghafal. Mereka akan menyadari bunga flat itu trik bank karena bukan bunga sebenarnya, bahwa produk bank itu banyak yang racun atau kurang bermanfaat, bahwa tingkat diskon dan tingkat bunga tidak sama persis, dan bahwa hubungan bank dengan nasabahnya adalah asimetris (tidak seimbang).
Inilah beberapa soal dalam personal finance. Mana yang lebih menarik, menerima uang pensiun Rp400 juta sekali saja atau Rp3 juta setiap bulan seumur hidup? Seorang manajer berniat membeli rumah dengan KPR. Jika harga rumah Rp600 juta dan bunga KPR 9% p.a., berapa besar uang muka yang harus disiapkan jika dia ingin angsuran bulanan tepat Rp6 juta selama 120 bulan? Setelah membayar 24 angsuran bulanan, ternyata bank menaikkan suku bunganya menjadi 12% p.a. Berapa besar angsuran baru? Bagaimana menyikapi angsuran yang naik signifikan ini?
“Mempelajari corporate finance tanpa bekal personal finance adalah seperti belajar integral tanpa memahami diferensial atau belajar bahasa asing lain tetapi belum paham bahasa Inggris. Yang sudah pasti terpakai adalah bahasa Inggris tetapi bahasa asing lain yang diajarkan,” ungkapnya.
“Menjadi ironis jika seorang sarjana ekonomi, yang tentunya sudah lulus corporate finance, tidak paham beda bunga flat dan bunga efektif. Akibantnya, mereka tidak dapat memilih mana yang lebih meringankan antara melunasi utang Rp10 juta dengan membayar sekaligus Rp12 juta setahun lagi atau mengangsur Rp1 juta setiap bulan selama 12 kali. Sebelum mengelola keuangan korporasi, seseorang mestinya mampu mengatur keuangan pribadi dan keluarganya terlebih dahulu,” tutupnya. (Des)
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 4 November 2019. Kolom Bursa. Halaman 4