Berbicara di Cambridge AS, Ari Kuncoro Paparkan Hubungan Para Ekonom dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Dekan FEB UI sekaligus Rektor UI Terpilih yang akan dilantik 4 desember nanti, meghadiri NBER/BREAD Development Economics Fall Program Meeting dan menjadi pembicara untuk mempresentasikan mengenai “How Economists Connect to Policy Makers in Indonesia: A Personal Reflection” yang berlangsung di kantor J-PAL, Gedung E19 Ruang 201, Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, pada (22β23/11/2019).
Ari Kuncoro selaku Dekan FEB UI sekaligus Rektor UI Terpilih memaparkan bila melihat sejarah perjalanan profesi ekonomi yang diawali tahun 1945 hingga 1965 masih belum ada. Pada saat itu, hanya tiga profesi yang ada seperti dokter medis, pengacara, teknik, penjaga buku dari sekolah perdagangan, dan sekolah manajemen. Pada akhir 1960-an, Profesor dari Belanda digantikan oleh Profesor dari Amerika terutama dari University of California. Dengan beasiswa dari Ford Foundation University Indonesia maka mulailah mengirim siswa ke universitas di Amerika. Tokoh Nasional, Wijoyo Nitisastro, Ali Wardhana barulah membentuk kelompok Ekonom dari Universitas Indonesia.
Kemudian, era Orde Baru tahun 1965β1985, tidak ada dikotomi antara pembuat kebijakan dan penelitian kebijakan. Terjadilah konflik antara teknokrat (Wijoyo) dan insinyur (Habibie) tentang bagaimana Indonesia harus mengembangkan diri. Dari situ barulah muncul beberapa lembaga/institusi pemerintahan seperti Bappenas, LPEM sebagai think thank institute, penelitian di CPIS di Kementerian Keuangan, dan Universitas Gajahmada sebagai saingan think thank.
Setelah itu, pada tahun 1986-2004 banyak insinyur beralih profesi menjadi Ekonom. Sejak saat itu juga, muncullah Ekonom selebriti independen tidak berafiliasi dengan pemerintah di perusahaan reksa dana, bank milik negara, munculnya INDEF & kelompok Ekonom dari IPB, dan SMERU. Penelitian di Kementerian dikontrak ke universitas dan Bank Dunia, ADB, JICA sebagai sumber dana penelitian untuk penelitian kebijakan tetapi hampir selalu tidak digunakan oleh pemerintah.
Dan terakhir, 2005 hingga sekarang ini terjadi peningkatan peran pemerintah Australia dalam memengaruhi kebijakan melalui bantuan proyek ANU di Indonesia. Kesediaan pemerintah untuk menggunakan penelitian sebagai dasar kebijakan. Ekonom dari universitas ternama memiliki pengaruh besar dalam pembuatan kebijakan. Selain itu, selebriti ekonomi membuat ketenaran, kekayaan dan pengaruh tetapi memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap pemerintah.
βHal ini menunjukkan bahwa universitas diharapkan lebih meningkatkan eksposur Internasional. Pada dasarnya, publikasi dalam jurnal Internasional berindeks yang memiliki reputasi baik sedang meningkat. Populasi peneliti yang berbeda antara penelitian akademik dan kebijakan dengan kemajuan informasi dari berbagai media seperti internet, media sosial, televisi, radio, dan sebagainya,β jelas Ari.
Di sisi lain, JPAL memperkenalkan RCAT kepada para pembuat kebijakan di Indonesia. Penelitian akademis menjadi lebih mudah diakses oleh pembuat kebijakan dengan rekomendasi yang lebih ramah terhadap pengguna dan digunakan dalam intervensi mikro seperti transfer tunai untuk orang miskin.
βKe depannya, topik penelitian prioritas dari DIKTI, yakni teknologi informasi, dampak internet pada perilaku, pengentasan kemiskinan, stunting pada keluarga anak & komunitas, pemerintahan yang demokratisasi & kebijakan publik, energy, memulihkan sistem pendukung alami bumi, teknologi canggih, budaya, perencanaan kota dan transportasi, dan studi adat,β tutupnya. (Des)
Β