Muhammad Chatib Basri : Perekonomian dan Virus Corona
Dunia memang dalam kegamangan. Kecemasan, kebingungan dan penantian akan bersama kita dalam beberapa bulan kedepan. Toh, di tengah kemurungan itu, antisipasi kebijakan ekonomi harus dilakukan.
Perpisahan memang bisa datang tiba-tiba, tanpa persiapan. Albert Camus menggambarkan adegan perpisahan yang dramatis itu dalam karya sastra seminalnya “La Peste”.
Dengan nada cemas ia berkisah tentang berjangkitnya penyakit sampar di kota Oran, Aljazair. Oran — sebuah kota tanpa pengucapan — dilanda kecemasan akibat wabah yang berjangkit. Di sana orang belajar apa arti kecemasan, apa arti kebingungan atau hidup menanti kematian.
Camus jelas tak menulis tentang Wuhan di China, tapi mereka yang membaca La Peste bisa membayangkan bagaimana kecemasan, kebingungan dari penduduk yang diisolasi di Wuhan. “Perpisahan hanya akan berakhir bersama epidemi,” begitu tulis Camus dengan muram.
Wabah virus Corona atau Convid-19 tak hanya mengguncang Wuhan, tetapi juga dunia. Kita bisa merasakan kepanikan melanda dunia saat ini. Kantor berita CNN sampai dengan 23 Februari 2020 melaporkan jumlah korban meninggal sudah mencapai 2.458 orang. Tak hanya itu perekonomian global juga mulai terkena dampaknya.
Kontraksi ekonomi
Perekonomian Jepang yang mengalami kontraksi 6,3 persen di triwulan terakhir 2019, terancam resesi, karena pertumbuhan ekonomi mungkin akan semakin melambat akibat wabah virus Corona. Singapura sudah merevisi ke bawah target pertumbuhan ekonominya menjadi 0,5 persen akibat wabah ini.
Bagaimana Indonesia? Apa yang kita bisa lakukan untuk memitigasinya? Untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu memerhatikan beberapa hal berikut ini.
Pertama, sampai kapan wabah ini akan terjadi? Saya tak pandai untuk menjawabnya.
Wabah virus Corona baru pertama kali terjadi, karena itu kita tak tahu persis bagaimana kesudahannya. Namun, dalam ketidaktahuan ini, kita butuh pegangan, kita butuh arah. Yang kita bisa lakukan adalah membuat beberapa skenario, misalnya dengan mencoba merekonstruksi dampak wabah SARS tahun 2003 sebagai pembanding.
Data menunjukkan bahwa wabah SARS telah menurunkan pertumbuhan ekonomi China dari 11,1 persen (triwulan I-2003) menjadi 9,1 persen (triwulan II-2003). Namun perekonomian China membaik kembali dan tumbuh menjadi 10 persen dalam triwulan III dan IV tahun itu.
Data menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor retail dan output industrial di China mengalami penurunan yang sangat tajam. Jika benar bahwa wabah SARS dapat dijadikan pembanding, maka kita bisa membuat skenario untuk perekonomian Indonesia.
Dampak ke Indonesia
Kedua, bagaimana dampaknya bagi kita? Tentu terlalu pagi untuk menyimpulkan. Namun kita bisa menduga, perlambatan output industrial di China akan menurunkan permintaan terhadap bahan baku dan bahan pembantu dalam proses produksi.
Kita tahu: sekitar 29 persen dari barang yang diekspor China, bahan mentah dan penolongnya berasal dari Indonesia (terutama batu bara, kelapa sawit). Implikasinya: kita perlu mengantisipasi penurunan permintaan untuk produk-produk tersebut. Bisa diduga: harga komoditas dan barang tambang berisiko menurun. Jika ini terjadi, sektor ekspor kita akan terganggu.
Kita tahu: sekitar 29 persen dari barang yang diekspor China, bahan mentah dan penolongnya berasal dari Indonesia (terutama batu bara, kelapa sawit).
Selain itu, penurunan harga komoditas dan barang tambang akan berdampak kepada penurunan pendapatan pekerja di sektor tersebut. Karena ekonomi kita masih tergantung pada komoditas dan barang tambang, maka daya beli akan menurun. Jika daya beli menurun, maka tak ada insentif bagi pengusaha untuk meningkatkan investasinya. Mudahnya: untuk apa menambah produksi jika permintaan tak ada.
Singkatnya, kita bisa membayangkan bahwa dampak dari wabah virus Corona dapat memukul sektor ekspor, lalu efek berantainya akan berpengaruh pada sektor konsumsi rumah tangga, dan investasi.
Tak hanya itu, isolasi atau pembatasan aktivitas yang terjadi di China juga akan mengganggu ketersediaan barang impor yang berasal dari China. Akibatnya, industri atau sektor yang bahan baku atau barang modalnya berasal dari China akan terganggu proses produksinya. Begitu juga barang konsumsi, jika pasokan lokal tak tersedia maka harga akan meningkat.
Dari sektor perbankan, kita harus hati-hati dan terus memonitor dampaknya kepada kemungkinan peningkatan kredit macet. Risiko kredit macet juga bisa meningkat jika wabah virus ini berlanjut dan tak ada mitigasi yang baik. Dampaknya bisa cukup serius.
Namun, seperti juga dalam kasus perang dagang, saya melihat bahwa dampak virus Corona terhadap Indonesia tak akan seburuk dampak terhadap Singapura. Alasannya: porsi dari sektor perdagangan Indonesia terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) jauh lebih kecil dibanding Singapura, yang di atas 200 persen.
Namun, seperti juga dalam kasus perang dagang, saya melihat bahwa dampak virus Corona terhadap Indonesia tak akan seburuk dampak terhadap Singapura.
Artinya dampaknya ada, namun relatif terbatas dibandingkan dengan Singapura atau Thailand. Hal yang harus kita antisipasi adalah dampak menurunnya impor barang modal dan bahan baku yang dapat memukul investasi dan produksi di Indonesia. Ada baiknya perusahaan mulai memikirkan substitusi atau sumber impor dari negara lain.
Keempat, berapa besar dampaknya? Perhitungan sensitivitas yang dilakukan menunjukkan bahwa jika perekonomian China melambat sebesar 1 persem, maka perekonomian Indonesia akan menurun sebesar 0,1-0,3 persen. Saya bisa membayangkan bahwa dampak sepanjang paruh pertama 2020 akan cukup signifikan.
Dengan skenario ini ada risiko pertumbuhan ekonomi kita akan berada di bawah 5 persen atau dalam kisaran 4,7-4,9 persen di tahun 2020 jika kita tak melakukan mitigasi. Ekonomi Indonesia sendiri memang sudah tumbuh di bawah 5 persen dalam triwulan IV-2019.
Fokus ke ekonomi domestik
Kelima, lalu apa yang bisa dilakukan Indonesia? Jika ekonomi global dan sektor perdagangan terganggu, maka kita perlu fokus kepada ekonomi domestik. Saya melihat bahwa pemerintah perlu melakukan kebijakan kontra siklus. Instrumen yang paling efektif untuk itu adalah mendorong permintaan domestik melalui fiskal. Kita tak perlu terlalu kuatir untuk meningkatkan defisit anggaran.
Mengapa fiskal?
Saya melihat bahwa permasalahan ekonomi Indonesia di dalam jangka pendek adalah lemahnya permintaan. Dalam kondisi permintaan yang lemah, penurunan bunga tak akan berdampak banyak untuk mendorong produksi, karena –seperti saya singgung di atas – untuk apa menambah investasi jika permintaan tak ada. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendorong permintaan.
Namun perlu diingat peran dari APBN relatif terbatas. APBN hanya bisa menjadi pemicu untuk mengembalikan kepercayaan dan harus diikuti oleh investasi swasta. Itu sebabnya, stimulus fiskal butuh prioritas, ia butuh kualitas belanja yang baik. Soalnya bukan sekadar berapa defisit anggaran harus naik, namun apakah ia memiliki dampak kepada pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendorong permintaan.
Saya teringat, Triple Three (TTT) yang disebut Larry Summers, mantan menteri keuangan Amerika Serikat dan guru besar di Harvard University: ekspansi fiskal harus memenuhi TTT (Targeted, Temporary, Timely). Dalam jangka sangat pendek, belanja pemerintah harus mampu mendorong daya beli melalui konsumsi rumah tangga sesegera mungkin.
Berikan stimulus fiskal kepada kelompok menengah bawah, bukan kelompok atas. Mengapa? Kelompok menengah bawah memiliki kecenderungan konsumsi (Marginal Propensity to Consume) yang relatif lebih tinggi. Caranya? Perpanjang dan perluas program seperti conditional cash transfer, cash for work (padat karya tunai), Bantuan Pangan Non Tunai.
Untuk kelas menengah, program kartu Pra Kerja bisa dimanfaatkan untuk membantu daya beli sekaligus meningkatkan kemampuan. Dengan kebijakan ini, orang tetap bekerja dan daya beli terjaga. Lalu kombinasikan ini dengan belanja infrastruktur prioritas.
Mungkin pemerintah bisa membantu untuk mendorong sektor pariwisata dengan, misalnya, memberikan subsidi berupa potongan harga bagi jasa angkutan pesawat, bus, atau kereta api, atau penginapan agar sektor pariwisata tetap berjalan untuk beberapa bulan.
Pemerintah juga bisa mendorong agar aktivitas pemerintahan, seperti pertemuan, bisa dilakukan di daerah wisata di akhir pekan. Tentu bantuan ini sifatnya harus sementara. Apa lagi? Jaga inflasi. Dan yang paling penting: mengelola ekspektasi. Jangan membuat sinyal yang membingungkan.
Dari sektor keuangan, jika wabah virus Corona menjadi berkepanjangan, perlu dipikirkan kemungkinan relaksasi restrukturisasi kredit seperti yang dilakukan dulu. Di sisi moneter, dengan inflasi yang terjaga dan kemungkinan The Fed untuk mempertahankan suku bunga, keputusan Bank Indonesia menurunkan bunga adalah langkah yang tepat dan perlu diapresiasi. Kedepan, jika inflasi terkendali dan The Fed belum akan menaikkan bunga, masih ada ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan bunga.
Dari sektor keuangan, jika wabah virus Corona menjadi berkepanjangan, perlu dipikirkan kemungkinan relaksasi restrukturisasi kredit seperti yang dilakukan dulu.
Dunia memang dalam kegamangan. Kecemasan, kebingungan dan penantian akan bersama kita dalam beberapa bulan kedepan. Manusia memang bisa terkesan tanpa harapan di depan bencana. Toh, di tengah kemurungan itu, antisipasi kebijakan ekonomi harus dilakukan.
Di dalam La Peste, Camus memang melukiskan ketidakberdayaan manusia di hadapan absurditas. Namun, di tengah bencana ia mencatat sebuah harapan: pada diri manusia terdapat lebih banyak sifat yang dapat dikagumi ketimbang dibenci. Camus benar.
(Muhamad Chatib Basri Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)
Sumber: Harian Kompas, 28 Februari 2020