Budi Frensidy: Volatilitas Fundamental Versus Transitory
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Senin, 27 April 2020 Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB UI, Budi Frensidy merilis tulisannya yang dimuat koran Kontan, di rubrik Portofolio – Wake Up Call, halaman 4, yang berjudul “Volatilitas Fundamental Versus Transitory”. Berikut artikelnya.
“Volatilitas Fundamental Versus Transitory”
Indeks Volatilitas (VIX) di bursa kita telah turun dari 83,3 di Maret lalu menjadi 43,8 bulan ini, masih jauh di atas normalnya yang 18,8. Ini karena IHSG menyentuh 3.938 pada 24 Maret lalu, atau turun 37,5% dari 6.300 di awal tahun. Indeks LQ45 bahkan merosot lebih dalam lagi, yaitu 44,1% year to date pada tanggal yang sama.
Tradisi sepuluh tahunan di bursa saham kembali terjadi. IHSG pernah jatuh 65,3% selama 14 bulan pada Juli 1997 – September 1998, dari 740,8 menjadi 256,8. Kita mengalaminya lagi di 2008. Ditutup pada angka 2.745 pada akhir 2007, IHSG digadang-gadang akan menuju 3.300 di akhir tahun 2008.
Sempat menembus all-time high di 2.830 pada 9 Januari 2008, IHSG kemudian anjlok 60,7% ke 1.111 pada 28 Oktober 2008, sebelum memberikan perlawanan menjadi 1.355 di akhir tahun, atau turun 50,6%. Yang menyedihkan, tidak seperti di 1998 dan 2008, kali ini terjadi banyak kasus auto reject bawah (ARB). Tidak pernah sebelumnya empat bank yang masuk 10 saham berkapitalisasi pasar terbesar mengalami ARB pada saat bersamaan, alias tidak ada yang berminat membeli.
Volatilitas adalah tendensi harga berubah di luar perkiraan. Perubahan harga dapat terjadi karena adanya informasi baru mengenai nilai perusahaan (volatilitas fundamental) atau karena kepanikan dan reaksi berlebihan para investor (volatilitas transitory).
Harga aset umumnya mencerminkan nilainya. Harga aset berubah jika fundamentalnya berubah. Harga saham, karenanya, juga berubah ketika para investor mengetahui telah terjadi perubahan fundamental perusahaan, industri, dan perekonomian. Inilah yang dimaksud dengan volatilitas fundamental.
Sejatinya, volatilitas fundamental tidak hanya dialami saham, tetapi juga obligasi dan mata uang. Harga pasar obligasi tergantung inflasi dan rating. Untuk mata uang, yang jadi faktor fundamental adalah stabilitas politik, inflasi, cadangan devisa, dan neraca perdagangan. Khusus untuk saham, kita sebenarnya dapat mengenali dengan mudah saham-saham bervolatilitas tinggi dalam kondisi normal.
Pertama, saham perusahaan yang berkecimpung dalam teknologi tinggi, karena nilainya sangat tergantung pada keberhasilan riset untuk produk barunya, yang pasarnya mungkin belum ada. Kedua, saham-saham komoditas yang harganya mengikuti permintaan dan penawaran global. Ketiga, saham dengan PER yang tinggi umumnya juga volatil. Saham-saham ini berharga tinggi karena optimisme investor akan tingkat pertumbuhan perusahaan di masa depan. Pertumbuhan yang diharapkan ini mungkin saja tidak terjadi. Keempat, saham-saham dengan rasio utang yang besar biasanya juga volatil. Sebab, emiten memiliki kewajiban membayar bunga yang besar di masa depan, sementara tingkat penjualan masih belum pasti.
Mengapa investor harus panik atau bereaksi berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya volatilitas sementara (transitory)?, ini karena investor saham di mana pun sangat dikuasai dua “ta” yaitu takut dan tamak. Saat harga sebuah saham jatuh karena banyak investor jualan, investor lain ikut menjual karena takut rugi. Sebaliknya, saat harga saham naik karena begitu besarnya minat beli di pasar, tidak sedikit juga investor yang ikut beli karena tamak. Padahal sangat mungkin tidak ada perubahan fundamental emiten, industri, dan ekonomi. Volatilitas akibat perilaku investor yang tidak bersumber dari perubahan fundamental perusahaan ini disebut sementara atau transitory, karena harga pada akhirnya akan kembali ke tingkat wajarnya.
Tidak seperti volatilitas transitory, volatilitas fundamental adalah alami dan diperlukan untuk alokasi sumber daya secara efisien, walaupun kadang mengagetkan. Yang terjadi saat ini, apakah volatilitas ini fundamental seperti 1998 atau transitory seperti 2008? Volatilitas di 1998 adalah fundamental karena pertumbuhan ekonomi kita minus 13%. Jadi, sudah sewajarnya IHSG pun mengalami kontraksi dan perlu waktu lima tahun lebih untuk mengembalikannya ke kisaran 700-an di awal 2004. Sementara, volatilitas di 2008 adalah sementara karena pertumbuhan ekonomi kita positif 6,1% di tahun itu. IHSG pun rebound ke angka awal 2008 di 2.745 dalam hitungan belasan bulan. Ingat, secara fundamental dan dalam jangka panjang, IHSG akan konvergen dengan pertumbuhan nominal perekonomian.
Sejujurnya, melihat menyusutnya perekonomian global dan nasional pada tahun ini, serta beratnya tekanan pada APBN dan korporasi-korporasi kita, volatilitas yang terjadi adalah fundamental. Pertumbuhan ekonomi triwulan I memang masih positif 4%, tetapi triwulan II dipastikan akan negatif. Sementara pertumbuhan triwulan III dan IV masih tanda tanya besar, tergantung apakah virus Covid-19 bisa diatasi atau tidak.
Krisis moneter 1998 hanya dialami sektor properti, perbankan dan sektor terkait lain. Hampir tidak ada penghentian kegiatan produksi di sektor riil. Namun, di April hingga Juni ini, sebagian besar pasar barang dan jasa harus menghentikan usahanya. Penawaran mengalami gangguan, demikian juga permintaan, seiring PHK dua juta lebih pekerja. Lebih mudah mengidentifikasi industri yang tidak terkena imbas pandemi daripada sebaliknya, yaitu telekomunikasi, farmasi, dan consumer goods. Utilitas dan transportasi yang biasanya defensif dan perbankan yang kerap mengungguli indeks, kali ini juga terdampak negatif.
Jika pertumbuhan ekonomi kita nantinya benar negatif, realistisnya, IHSG memerlukan waktu dua tahun atau lebih untuk kembali ke area 6.300-an. Namun yang jauh lebih penting, daripada menanti pasar kembali bullish, kita tetap sehat dan dapat melalui kondisi sangat sulit saat ini. (hjtp)
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 27 April 2020. Rubrik Portofolio – Wake Up Call. Halaman 4.