Promosi Doktor PPIE FEB UI, Christina Ruth Elisabeth Kaji Non-Tariff Measures on Indonesian Manufacturing Sector

0

Promosi Doktor PPIE FEB UI, Christina Ruth Elisabeth Kaji Non-Tariff Measures on Indonesian Manufacturing Sector

 

Nino Eka Putra – Humas FEB UI

DEPOK – (11/8/2020) Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi (PPIE), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyelenggarakan sidang terbuka Promosi Doktor Christina Ruth Elisabeth 1506776906 secara daring, pada Selasa (11/8/2020).

Sidang Promosi Doktor ini diketuai oleh Prof. Nachrowi Djalal Nachrowi, Ph.D., dengan pembimbing, Dr. Maddaremmeng A. Panennungi (Promotor), Kiki Verico, Ph.D. (Ko-Promotor 1), Dr. Mahjus Ekananda (Ko-Promotor 2). Selaku tim penguji, Sugiharso Safuan, Ph.D. (Ketua Penguji), Dr. Telisa A. Falianty, T.M. Zakir Machmud, Ph.D., Fithra Faisal, Ph.D., dan Inka B. Yusgiantoro, Ph.D.

Penulisan disertasi yang diangkat oleh Promovendus, bertajuk “Non-Tariff Measures on Indonesian Manufacturing Sector”. Dalam beberapa dekade terakhir, tariff menunjukkan penurunan yang signifikan. Tahun 1989, tariff MFN sebesar 32,72% turun menjadi sebesar 7, 23% di tahun 2015. Sebaliknya, kebijakan non-tariff (NTMs) meningkat signifikan dari yang semula hanya ada 20 NTMs pada tahun 1998 menjadi sebanyak 767 NTMs pada tahun 2015.

NTMs pada sektor manufaktur juga menunjukkan peningkatan. NTMs berdampak pada lebih dari 55% produk impor dan mencakup lebih dari 58% nilai impor. NTMs pada produk ekspor manufaktur juga meningkat, khususnya pada jenis standar Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT).

Literatur terkini menunjukkan adanya bukti bahwa NTMs dapat berdampak positif/negatif pada performa perusahaan. Dalam hubungannya dengan integrasi regional, kemiripan struktur NTMs berdampak pada perdagangan intra-industry (IIT). Untuk memberikan pemahaman yang lebih baik bagaimana efek dari NTMs pada sektor manufaktur. Disertasi ini meneliti NTMs pada tiga aktivitas perdagangan, yakni impor, ekspor dan perdagangan intra-industry pada periode 2010-2015.

Literatur yang ada terkait liberalisasi perdagangan di Indonesia, sedikit sekali yang memberikan perhatian terhadap dampak NTMs pada performa perusahaan. Alasannya, keterbatasan data NTMs pada level perusahaan. Penelitian ini melakukan konstruksi data NTMs pada level perusahaan dengan menggunakan sejumlah publikasi yang relevan dan metode seleksi.

NTMs pada penelitian ini diukur dengan metode kuantifikasi yang berbeda. Pada penelitian pertama, NTMs pada bahan baku impor diukur dengan menggunakan indeks intensitas, yakni coverage ratio dan frequency index. Sementara itu, penelitian kedua, NTMs pada produk eskpor dikuantifikasi dengan menggunakan dummy variable. Sedangkan, penelitian ketiga NTMs pada perdagangan intra-industry dikuantifikasi dengan menggunakan regulatory distance index.

Pada dasarnya, penelitian pertama menggunakan data perusahaan NTMs, data industri dan makro ekonomi yang mencakup 4016 perusahaan sepanjang periode 6 tahun untuk menginvestigasi dampak dari NTMs pada input intermediate impor terhadap produktivitas dan profitabilitas. Hasil penelitian menunjukkan, NTMs secara parsial berkontribusi menurunkan produktivitas dan profit dari perusahaan manufaktur di Indonesia. Hasil penelitian robust ketika tariff dimasukkan ke dalam model dengan leseluruhan hasil penelitian mendukung prediksi teori terkait dampak NTMs terhadap productiviity dan profit pada Melitz (2013) dan DRC (2011).

Hasil penelitian ini berbeda dengan Baghdadi et al. (2016) yang menemukan adanya dampak positif NTMs terhadap produktivitas dan profit dari perusahaan kecil menengah di Tunisia. Namun, hasil penelitian serupa dengan Navaretti et al. (2018) yang menemukan adanya dampak negatif dari NTMs (TBT) pada rata-rata produktivitas perusahaan kecil di Uni Eropa.

Penelitian kedua, meneliti dampak dari NTMs dalam bentuk standar produk terhadap extensive dan intensive margin perdagangan internasional dari 1266 perushaan sepanjang periode 2011 sampai 2015. Extensive margin mengacu pada partisipasi ekspor dari perusahaan pada negara tujuan ekspor. Sedangkan, intensive margin mengacu pada nilai ekspor dari perusahaan.

Pada penelitian ini standar produk diwakili oleh SPS dan TBT. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SPS memiliki dampak positif baik terhadap extensive maupun intensive margin. Namun, TBT hanya berdampak positif pada intensive margins. Selain itu, hasil penelitian ini mendukung prediksi teori dari Ganslandt and Markusen (2001), yang menjelaskan tentang standar produk dapat memiliki efek demand-enhancing. Hasil estimasi tersebut juga mendukung prediksi teori Melitz (2003). Peningkatan fixed entry cost dikarenakan adanya compliance cost yang dapat mengurangi kompetisi dan meningkatkan market share dari perusahaan yang paling produktif.

Dampak standar produk terhadap extensive margins berbeda pada ukuran perusahaan dan sektor yang berbeda. Terdapat hubungan yang signifikan pada cross over interaction. Semakin besar ukuran perusahaan, semakin kecil dampak TBT pada probabilitas melakukan ekspor. Semakin besar ukuran sektor, semakin rendah dampak SPS terhadap probabilitas melakukan ekspor. Kondisi ini menunjukkan adanya efek pro-competitive dari standar produk. Terkait intensive margins, semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar dampak SPS pada intensive margins. Semakin besar ukuran sektor, semakin tinggi dampak TBT. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaan dan sektor yang besar memiliki kapasitas untuk menanggung compliance cost. Alasan lainnya, perusahaan atau sektor yang besar sudah lebih dahulu memenuhi standar produk sebelum diadopsi menjadi standar Nasional.

Hasil penelitian ini berbeda dengan Fontagne et al. (2015) yang menemukan adanya dampak negatif dari SPS terhadap extensive dan intensive margins. Namun memiliki hasi serupa dengan penelitian Shepotylo (2016), yang menemukan adanya dampak positif SPS pada extensive margins. Terkait dampak pada ukuran perusahaan, hasil penelitian ini berbeda dengan Fontagne et al. (2015) yang menemukan bahwa standar produk lebih menguntungkan bagi perusahaan besar, baik dari sisi extensive maupun intensive margins.

Penelitian terakhir merupakan studi kasus yang mengeksplorasi jarak regulasi (RD) dari NTMs dan IIT antara Indonesia dan negara produsen otomotif lainnya di ASEAN, yakni Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam pada periode 2014-2018. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara rata-rata struktur regulasi TBT Indonesia adalah paling mirip dengan struktur TBT produsen otomotif lainnya. Sedangkan, struktur regulasi TBT Vietnam adalah yang paling berbeda dengan produsen lainnya. Terkait hubungan bilateral, struktur regulasi paling mirip ditemui pada hubungan Indonesia dan Malaysia. Sementara, struktur regulasi paling berbeda ditemui pada hubungan bilateral Malaysia dan Vietnam.

Dari hasil mapping jarak regulasi dan IIT, penelitian ini menemukan bahwa tidak semua negara yang memiliki IIT tinggi juga memiliki jarak regulasi yang rendah. Hubungan ideal tersebut hanya ditemukan pada hubungan antara Indonesia dan Thailand.

Terdapat sejumlah implikasi kebijakan dari penelitian ini. Pertama, perlunya dilakukan perampingan dan harmonisasi dari NTMs, khususnya pada NTMs yang dikenakan pada bahan baku impor, karena sektor manufaktur masih bergantung pasar bahan baku impor. Kedua, pentingnya untuk meningkatkan fasilitasi perdagangan (trade facilitation) untuk membantu perusahaan/sektor yang kecil untuk dapat memenuhi produk standar dari negara tujuan ekspor. Ketiga, pentingnya Indonesia dan negara produsen otomotif lainnya di ASEAN untuk melakukan harmonisasi NTMs, agar dapat meningkatkan pertumbuhan dan daya saing sektor otomotif ASEAN.

Dewan Pimpinan sidang terbuka promosi doktor memutuskan, Christina Ruth Elisabeth (1506776906) dinyatakan lulus dengan predikat Cumlaude dan berhasil mendapat gelar Doktor yang ke-118 Bidang Ilmu Ekonomi. Selamat kepada Dr. Christina Ruth Elisabeth! (hjtp)