Budi Frensidy: 2011-2020; Dekade Return Rendah di Saham
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Senin (4/1/2021), Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB UI sekaligus Penulis Buku Matematika Keuangan, Budi Frensidy merilis tulisannya yang dimuat koran Kontan, rubrik Bursa – Wake Up Call, halaman 4, yang berjudul “2011-2020: Dekade Return Rendah di Saham”. Berikut artikelnya.
“2011-2020: Dekade Return Rendah di Saham”
Tujuan utama semua investasi adalah mendapatkan return. Investor pastinya menginginkan return positif dan setinggi mungkin.
Return investasi yang negatif mengakibatkan total kekayaan seorang investor berkurang. Return investasi yang positif tetapi lebih kecil daripada inflasi periodik akan mengakibatkan total kekayaan investor bertambah secara nominal, tetapi berkurang secara riil. Agar daya beli tidak berkurang, return nominal investasi harus melebihi tingkat inflasi.
Menghitung return untuk periode satu tahun tanpa setoran tambahan atau pengambilan uang relatif mudah. Kita cukup mengurangi investasi akhir dengan investasi awal dan hasilnya dibagi dengan investasi awal. Penghitungan return menjadi tidak sederhana lagi untuk investasi lebih dari satu periode.
Ukuran Return
Ada dua ukuran return nominal berdasarkan waktu, yaitu aritmetik dan geometrik. Untuk menjelaskan perbedaannya, saya akan mengambil contoh paling sederhana, yaitu periode investasi hanya dua tahun.
Misalkan seseorang berinvestasi saham pada awal tahun 2019 sebesar Rp100 juta. Pada akhir 2019, investasinya menjadi Rp200 juta dan tetap Rp200 juta pada akhir 2020 (kasus 1). Berapa return rata-rata tahunan yang diperolehnya?
Pertama, kita menghitung return tahun 2019, yaitu Rp100 juta menjadi Rp 200 juta, atau mencapai 100%. Lalu return di 2020 0%, karena nilai harta tetap Rp200 juta. Secara aritmetik, return rerata tahunan menjadi 50%, yaitu (100% + 0%)/2.
Tapi, jika return yang diperoleh 50% setahun, harusnya uang Rp100 juta jadi Rp150 juta dalam satu tahun dan menjadi Rp225 juta setelah dua tahun, bukan Rp200 juta. Ada ukuran lain, yakni return geometrik, yang merupakan akar n (n = jumlah periode) dari nilai akhir dibagi nilai awal dikurangi 1, atau √ (nilai investasi akhir/nilai investasi awal) – 1. Dalam kasus ini, return geometrik adalah √ (Rp200 juta/Rp 100 juta) – 1 = 41,42%.
Return geometrik akan sama dengan return aritmetik jika dan hanya jika besar return untuk setiap periode adalah sama. Misalkan, dari Rp100 juta menjadi Rp200 juta dalam satu tahun dan Rp400 juta setahun kemudian. Dalam semua keadaan lainnya, return geometrik lebih rendah daripada return aritmetik sehingga sering disebut ukuran return yang lebih konservatif.
Semakin besar perbedaan return antarperiode, semakin besar perbedaan kedua return ini. Biar lebih jelas, silakan lihat tabel ilustrasi perbandingan return aritmetik dan geometrik.
Saya akan melanjutkan contoh di atas, namun sekarang nilai investasi di akhir 2020 turun jadi Rp100 juta (kasus 3). Return tahun pertama sama seperti kasus 1 dan 2, namun return tahun kedua adalah –50%, yaitu dari Rp200 juta di awal tahun menjadi Rp100 juta di akhir tahun.
Untuk return aritmetik, kita mendapatkan angka 25%, yaitu [100% + (-50%)]/2. Sedangkan return geometriknya adalah 0% yaitu √ (Rp 100 juta/Rp 100 juta) – 1.
Mana yang lebih baik? Return tahunan 25% untuk ukuran kinerja investasi selama tahun 2019 dan 2020 dalam kasus 3 adalah salah besar. Yang benar adalah tidak ada return selama dua tahun itu, karena nilai investasi tidak berubah alias tetap, yaitu Rp100 juta di awal 2019 dan Rp100 juta di akhir 2020.
Jelas sudah kalau return aritmetik tidak tepat untuk ukuran kinerja sebuah portofolio investasi. Meskipun demikian, jika ditanyakan berapa perkiraan return setahun ke depan dari investasi yang kinerjanya seperti di atas, justru angka 25% yang digunakan.
Return aritmetik dapat digunakan untuk prediksi ke depan. Sementara untuk kinerja masa lalu, return geometrik yang lebih pas.
Return IHSG
Jika dana yang diinvestasikan berubah-ubah karena ada penambahan atau pengambilan uang, kita mengenal konsep return lain, yaitu return berdasarkan uang. Jika risiko investasi diperhitungkan, kita mengenal ukuran return yang disesuaikan risiko (risk-adjusted return). Kedua return ini akan saya bahas pada kesempatan lain.
Bagaimana jika kedua ukuran return tersebut kita terapkan untuk IHSG? Kita ketahui bersama IHSG berada di angka 416 pada akhir tahun 2000, 3.703 di 2010, 4.593 di 2015, dan 5.979 akhir tahun lalu.
Ternyata return tahunan aritmetik indeks utama saham hanya 5,9%, 5,5%, dan 18,5% selama 5, 10, dan 20 tahun terakhir. Angkanya menjadi lebih rendah lagi untuk return tahunan geometrik, yaitu 5,4%, 4,9%, dan 14,3%.
Kenaikan kencang IHSG yang terjadi pada dekade 2000-2010, yaitu 709,1% atau rata-rata 24,4% p.a. tidak terulang lagi di dekade terakhir. Semoga pada dekade baru ini, IHSG kembali mampu memberikan return tahunan dobel digit seperti dekade awal 2000-an.
Selamat memasuki tahun 2021 dengan semangat dan optimisme baru. Jika banyak investor berprinsip yang penting cuan (YPC), buat saya yang lebih penting adalah kita sehat selalu melalui pandemi yang masih mengancam ini. (hjtp)