MWA UI Gelar Webinar Series #3, Sesi 1: Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan Bangsa dan Kemanusiaan
Rifdah Khalisha – Humas FEB UI
DEPOK – (2/6/2021) Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI) mengadakan Webinar Series ke-3 bertajuk “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan Bangsa dan Kemanusiaan” secara daring pada Rabu (2/6). Webinar sesi pertama menghadirkan Saleh Husin (Ketua MWA UI) pada welcoming speech, Professor Ari Kuncoro (Rektor UI) pada opening speech, dan Agus Sartono (Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK), sebagai keynote speech.
“Webinar ini bertujuan menjawab isu krusial dunia pendidikan,” kata Saleh Husin, “Pendidikan dapat berperan lebih nyata dan berdampak membentuk karakter, tidak semata berfokus membentuk kecerdasan. Institusi pendidikan dapat berbagi tugas mendidik manusia Indonesia dengan para pemangku kepentingan. Semua pihak harus bekerja sama mencerdaskan kehidupan bangsa, baik dari komunitas, organisasi kemasyarakatan, industri, maupun lembaga pemerintah atau swasta.”
Bagi Ari Kuncoro, pendidikan mengantarkan bangsa mewujudkan cita-citanya. Generasi masa depan akan menghadapi tantangan penguasaan atas teknologi informasi dan komunikasi. Ari menyebutkan, “Kegagalan penguasaan teknologi menyebabkan bangsa Indonesia rentan terhadap arus serbuan berita palsu atau hoaks. Selain itu, kegagapan teknologi pun berkorelasi terhadap lahirnya kemiskinan di bidang literasi informasi. Di sinilah, pendidikan jelas memikul tanggung jawab utama.”
Dalam mengembangkan pendidikan yang adaptif terhadap teknologi ini tentunya membutuhkan komitmen dan investasi dari semua pihak, termasuk dari DPR RI sebagai sebuah institusi legislatif pemegang fungsi pengawasan alokasi anggaran negara. Melihat peningkatan anggaran dana pendidikan negara dari tahun ke tahun dalam kurun waktu 2010-2020, ia berharap pemerintah dapat menggunakan alokasi anggaran ini dengan sebaik-baiknya untuk pendidikan adil dan merata.
Mewakili Menko PMK Muhadjir Effendy, Agus Sartono membahas pembentukan karakter dalam pendidikan bagi masa depan bangsa. Berdasarkan sensus penduduk 2020, tercatat jumlah penduduk Indonesia mencapai 270,20 juta jiwa dengan dominasi penduduk generasi z sebanyak 27,94% dan generasi milenial sebanyak 25,87% yang akan memasuki usia produktif. Proyeksinya, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 319 juta jiwa pada 2045.
Menurut Agus, banyaknya penduduk usia produktif akan menjadi kekuatan dalam pembangunan nasional. Namun, apabila tidak mempersiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan baik, maka angka tersebut bisa menjadi tantangan berat.
“Setiap tahun, ada sekitar 11 juta pencari kerja, mencakup 1,8 juta lulusan baru sekolah menengah atas, 1,5 juta lulusan perguruan tinggi, dan sisanya pengangguran terbuka. Tantangan terbesar kita memastikan SDM punya kualitas yang baik. Setidaknya, terlihat dari tingkat pendidikan dan kesehatan. Saat ini, kita memang masih jauh dari kondisi itu. Selain itu, banyak potensi pekerjaan yang terancam hilang karena pemanfaatan virtualisasi, otomatisasi dan AI (artificial intelligence atau kecerdasan buatan),” ujarnya.
Mengingat hal tersebut, ia menekankan pentingnya pendidikan untuk meningkatkan kualitas SDM dan menyiapkan SDM unggul. Pendidikan pun harus terus menyesuaikan diri. Indonesia perlu mempersiapkan tantangan masa depan dari sekarang. Tak hanya pendidikan formal, tetapi juga pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai fundamental, yakni kerja keras, gotong-royong, dan integritas. “Kalau terlambat menyiapkan SDM unggul, maka akan menimbulkan bencana di populasi,” tandasnya.
Hadir pula para pembicara ahli, yakni Debora Comini (Perwakilan UNICEF untuk Indonesia), Prof. Dr. Greg Fealy (Australia Indonesia Institute – AII dan Australian National University – ANU), K.H. Abdul Hakim Mahfudz (Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang), dan Prof. Drs. Muhammad Nasir (Ketua MWA Universitas Diponegoro).
Debora menuturkan, “Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan dalam pengembangan pendidikan inklusif. Jutaan siswa di Indonesia terpengaruh oleh pandemi, 3 dari 10 anak tidak bisa menikmati pendidikan dan 3 dari 4 anak keluarga tidak mampu terancam drop out dari sekolah.”
Melihat permasalahan ini, UNICEF memberikan saran kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia serta para pendidik, di antaranya memastikan kebijakan pembukaan sekolah tatap muka berlangsung secara aman; mengurangi kesenjangan digital pada anak-anak Indonesia; memuat nilai-nilai yang menghargai aspek inklusi serta keberagaman dalam kurikulum pendidikan, sehingga setiap siswa diakui serta dihargai hak-haknya; memulihkan kesehatan mental para pelajar karena perundungan (bullying) di masa pandemi; serta memperhatikan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus agar mendapatkan akses pendidikan seperti anak-anak normal lainnya.
Di sisi lain, Mahfudz memaparkan data Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren bahwa jumlah Pondok Pesantren dan Madrasah di Indonesia pada 2021 sebanyak 28.194 dengan 18 juta santri dan 1,5 juta pengajar. Ia menjelaskan, “Pendidikan swadaya masyarakat memiliki peran penting dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan formal saat ini fokus pada pengajaran dan pengetahuan, tetapi melupakan pendidikan dan nilai dasar kehidupan. Sementara pendidikan pesantren tetap fokus mengajar (teach) dan mendidik (educate) dengan kasih sayang dan suri tauladan dari Kyai.”
“Pendidikan pesantren mampu mencetak keunggulan lulusan yang tabah, adaptif, dan resilien dalam menghadapi perubahan karena ajaran daya juang tinggi dan pantang menyerah dalam bertahan hidup. Transformasi pendidikan pesantren bersifat internal dan penuh kesadaran dalam merespon perubahan zaman sehingga lebih berkelanjutan. Maka dari itu, perlu adanya kolaborasi erat anatara pendidikan formal dengan pendidikan informal,” imbuhnya.
Greg Fealy membahas pola pikir global (global mindset) sebagai kemampuan memahami dan menafsirkan perilaku individu atau organisasi dalam aturan budaya yang berbeda; kapasitas berinteraksi secara bermakna dengan orang-orang dari budaya lain; kebutuhan berbicara bahasa asing yang relevan; keterbukaan menghargai perbedaan antar budaya.
“Indonesia memiliki masalah struktural terkait sedikitnya profesor atau peneliti asing. Padahal, sebagian besar lembaga penelitian terkemuka di dunia memiliki tim peneliti yang beragam secara internasional. Faktor pendorong rendahnya mobilitas akademisi Indonesia di sektor universitas dalam negeri, adalah tradisi lulusan menjadi akademisi di universitas yang sama. Terlebih, UU Penelitian 2019 memberlakukan pembatasan baru pada peneliti asing,” terangnya.
Saat ini, tanda-tanda harapan perguruan tinggi Indonesia naik ke tingkat internasional sudah terlihat, mulai dari peningkatan jumlah orang Indonesia yang memegang jabatan guru besar di universitas asing, peluncuran Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) yang akan memiliki penelitian dan pengajaran pasca sarjana dengan keterlibatan internasional, hingga peluncuran Monash University atas kampus asing pertama di Indonesia.
Muhammad Nasir menyampaikan, “Soekarno pernah mengatakan bahwa Revolusi Mental merupakan gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Tak hanya itu, Presiden Joko Widodo pun memandang bangsa Indonesia perlu melakukan Revolusi Mental untuk lebih memperkokoh kedaulatan, meningkatkan daya saing, dan mempererat persatuan.”
Menutup sesinya, Nasir mengajak seluruh masyarakat Indonesia terlibat dalam program pemerintah Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Program ini mengacu pada integritas, etos kerja, dan gotong royong. Baginya, Indonesia memerlukan perubahan yang baik untuk mengembalikan karakter kuat bangsa mendorong kemajuan bangsa.(hjtp)