Stagflasi dan Disrupsi Rantai Pasok
Oleh: Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Sejarah mungkin seperti catatan tentang alur yang patah. Dari yang patah kadang lahir tapak baru. Seperti momen yang menyergap, ia kerap tak terduga.
KOMPAS – (18/11/2021) Vladimir Illich Ulyanov—yang lebih dikenal dengan nama samarannya, Lenin—pernah berkata, “Ada dekade di mana peristiwa tak terjadi; dan ada minggu di mana dekade terjadi (There are decades when nothing happens; and there are weeks when decades happen).” Lenin benar, Rusia patah, alur dunia berubah.
Minggu awal Januari 2020 mungkin akan dicatat jadi minggu yang membengkokkan dekade. Minggu itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan kluster kasus pneumonia di Wuhan, yang diduga disebabkan oleh virus korona. Tiba-tiba kita mengenal apa yang namanya normal baru. Tiba-tiba keterasingan jadi mulia. Alur pola hidup patah dan—mungkin—sedang membentuk jejak baru. Bagaimana dunia pascapandemi?
Saya tak tahu persis. Lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Satu hal yang pasti: begitu banyak yang tak kita pahami. Banyak hal yang berubah. Saya tak akan mempercakapkan semua perubahan itu. Risalah ini akan membatasi diri pada pertanyaan: bagaimana proses produksi dan rantai pasok (supply chain) dunia berubah pascapandemi? Apa dampaknya bagi Indonesia?
Untuk menjawab itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, disrupsi rantai pasok mungkin punya dampak stagflasi (stagnasi dan inflasi). Tengok dampak krisis listrik di China.
Ekonomi dunia yang mulai pulih, mendorong naiknya permintaan energi. Di sisi lain, kekeringan di beberapa daerah di China mengurangi produksi listrik tenaga air (hidropower). Akibatnya, permintaan terhadap batubara meningkat. Saat yang sama, China mengurangi produksi batubara demi pertimbangan lingkungan dan menghentikan impor batubara dari Australia. Bisa dibayangkan, kenaikan permintaan batubara yang tak bisa diimbangi produksinya membawa harga batubara terbang.
Akibatnya, pasokan listrik jadi terbatas, China terkena krisis listrik. Ada pelajaran penting di sini: transisi menuju energi bersih perlu dilakukan, dan direncanakan dengan baik. Kalau tidak, risiko krisis energi muncul. Cerita tak berhenti di sini, kenaikan harga energi di China meningkatkan biaya produksinya. Karena China basis produksi yang amat penting dari rantai pasok global, kenaikan biaya ini merembet ke biaya produksi dunia. China mengekspor inflasinya.
Kita juga tahu, di satu sisi pandemi memukul produksi karena terganggunya pasokan. Di sisi lain, tingkat vaksinasi yang semakin meningkat telah membuat orang lebih mampu beradaptasi dengan situasi. Mobilitas naik, aktivitas ekonomi kembali. Permintaan meningkat. Masalahnya, permintaan meningkat lebih cepat dari kemampuan peningkatan produksi. Inflasi naik. Dunia menghadapi risiko yang disebut stagflasi (stagnasi dan inflasi). Ekonomi dunia berpotensi melemah, yang terjadi bersamaan dengan meningkatnya inflasi.
Ruwetnya, inflasi ini didorong oleh keterbatasan penawaran, bukan permintaan. Kebijakan menaikkan tingkat bunga untuk mengatasi inflasi berisiko memukul sisi penawaran lebih dalam.
Padahal, ekonomi dunia baru mulai merangkak pulih. Covid-19 seperti membuka mata kita tentang rentannya rantai pasok global apabila terjadi disrupsi atau pandemi. Dunia yang terintegrasi punya sisi suramnya. Gejolak di satu tempat akan berdampak di tempat lain. Muncul keraguan terhadap globalisasi.
Kita masih ingat isu nasionalisme vaksin. Produksi vaksin yang terbatas membuat beberapa negara produsen membatasi ekspornya dan mengutamakan kepentingan domestiknya. Negara nonprodusen cemas. Ketergantungan pada negara lain menimbulkan masalah. Vaksin dan pasokan medis terganggu. Tak mengejutkan sebenarnya. Game Theory mengajarkan kita tentang prisoners dilemma, di mana secara rasional orang memilih untuk tak bekerja sama walaupun kerja sama sebenarnya akan memberikan hasil yang lebih baik.
Ini membuat orang mempertanyakan globalisasi. Tak hanya itu, Basri dan Rahardja (2010) menunjukkan, negara-negara Asia yang memiliki pasar domestik yang relatif besar berada dalam posisi yang lebih baik ketika krisis keuangan global memukul perdagangan dunia. Dengan kata lain, negara dengan integrasi global yang lebih rendah memiliki posisi yang lebih baik. Keberhasilan Indonesia mengatasi krisis finansial global (global financial crisis) 2008 adalah kombinasi dari respons kebijakan yang tepat dan keberuntungan memiliki pasar domestik yang besar. Kombinasi kebijakan yang baik (good policy) dan keberuntungan (good luck). Itu sebabnya, pasar domestik penting.
Kedua, jika pasar domestik penting dan rantai pasok global rentan terhadap disrupsi, mengapa kita tidak berpaling ke dalam negeri saja? Perlukah kita membatasi integrasi kita dengan rantai pasok global? Pilihan ini tidak menyelesaikan masalah. Indonesia—dan juga negara lain—tidak mungkin menjadi autarki (menutup perekonomiannya dari ekonomi global). Tak semua hal bisa diproduksi sendiri dengan kualitas yang baik dan relatif murah. Kalau toh memiliki kapasitas, mungkin biaya produksinya bisa lebih mahal, konsumen jadi menanggung beban.
Selain itu, menghilangkan ketergantungan terhadap input dari luar negeri dengan memfokuskan diri pada sumber domestik juga tak menolong dalam situasi pandemi. Alasannya, pandemi juga memukul mobilitas di dalam negeri. Data pun menunjukkan, sampai saat ini, impor adalah komponen penting dalam mendorong investasi di Indonesia. Lebih dari 90 persen impor Indonesia adalah bahan baku dan barang modal. Jika impor naik, itu pertanda produksi mulai terjadi.
Selain itu, Basri dan Rahardja (2010) menunjukkan dampak efek tumpah (spill over effect) dari eksporlah yang mendorong konsumsi rumah tangga. Mudahnya, kenaikan harga komoditas, energi, atau ekspor manufaktur membawa berkah kepada perbaikan daya beli masyarakat. Akibatnya, konsumsi rumah tangga meningkat. Di sini kita bisa melihat, integrasi dengan ekonomi global tetap penting bagi ekonomi Indonesia.
Tahun 2021 ini kita bisa melihat bagaimana ekspor berperan menyelamatkan ekonomi kita, menyelamatkan penerimaan pemerintah akibat melonjaknya harga batubara dan sawit. Jika Indonesia yang memiliki pasar domestik besar saja masih butuh integrasi dengan ekonomi global, apalagi negara ASEAN lain yang pasar domestiknya relatif kecil.
Ketiga, saya melihat ekonomi politik kebijakan ekonomi menjadi jauh lebih rumit dan kompleks. Tekanan politik untuk mengurangi ketergantungan global akan meningkat. Ini tak hanya unik Indonesia. Alasannya bisa beragam: kepentingan nasional untuk keamanan ekonomi (karena ketergantungan terhadap negara lain dapat menjadi sumber risiko), mengerasnya politik identitas akibat dari melebarnya ketimpangan pendapatan pascapandemi. Selain itu, juga tekanan dari kelompok kepentingan untuk mempertahankan rente ekonominya dari kompetisi global.
Namun, di sisi lain, integrasi dengan rantai pasok global amat dibutuhkan. Alasannya, konsumen tetap membutuhkan akses barang dan jasa yang berkualitas baik dengan harga murah. Rantai pasok global memungkinkan meningkatnya kapasitas dan efisiensi dalam produksi. Jika produksi domestik lebih mahal karena inefisiensi atau terbatasnya kapasitas, perusahaan tak bisa membebankan biaya produksi yang tinggi kepada konsumen. Daya beli yang masih lemah mencegah mereka melakukan itu. Dengan gambaran ini, ekonomi politik kebijakan menjadi lebih rumit. Tarik-menarik ini akan semakin mengeras dalam kebijakan ekonomi.
Keempat, dengan faktor-faktor di atas, bagaimana pola rantai pasok ke depan? Saya berpandangan Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara harus tetap menjadi bagian dari rantai pasok global, tetapi dengan berbagai modifikasi. Pandemi dan konflik global mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara integrasi global dan pasar domestik yang kuat.
Caranya, perkuat permintaan domestik dan perbaiki daya saing ekspor melalui investasi di infrastruktur fisik dan SDM (soft infrastructure). Namun, sumber rantai pasok harus dibuat beragam (diversifikasi). Lakukan juga penganekaragaman produk dan negara tujuan ekspor. Kita tak boleh bergantung hanya pada sedikit sumber pasokan, atau beberapa produk dan negara tujuan ekspor.
Risiko disrupsi bisa dihindari jika sumber pasokan dan tujuan ekspor kita beragam. Selain itu, pandemi mengajarkan: sektor yang bisa bertahan adalah mereka yang mampu mentransformasikan dirinya kepada digital atau teknologi, di mana interaksi orang secara fisik jadi lebih sedikit atau minimal.
Kecenderungan ini akan membuat teknologi akan menjadi semakin penting dalam meminimalkan disrupsi. Data dan kecerdasan buatan (artificial intelligence), misalnya, bisa membantu kita memberikan informasi berapa stok dan di mana input tersedia. Selain itu, automasi atau teknologi 3D printing, misalnya, akan membantu meminimalkan dampak disrupsi jika pembatas mobilitas diterapkan (Shih, 2020). Satu hal yang perlu diperhatikan: metode penyimpanan stok mungkin akan berubah.
Biaya stok mungkin akan meningkat karena terlalu berisiko jika inventori didasarkan hanya pada metode just in-time (menyimpan stok tepat waktu). Perusahaan-perusahaan perlu meningkatkan stoknya lebih banyak untuk mengantisipasi disrupsi atau konflik global. Akibatnya, biaya memang akan meningkat. Namun, ini lebih baik ketimbang menghadapi risiko tak tersedianya stok saat disrupsi terjadi.
Strategi penciptaan lapangan kerja juga harus berubah. Meningkatnya kelas menengah di Asia dan kian pentingnya peran ekonomi digital butuh keterampilan yang lebih baik. Akibatnya, akan ada pergeseran dari pekerjaan tak terampil—dengan upah murah—ke good jobs atau decent jobs. Pemerintah tak bisa lagi sekadar berorientasi menciptakan lapangan kerja, tapi bagaimana menciptakan lapangan kerja yang layak (Rodrik dan Sabel, 2021; Bank Dunia (2021).
Ke depan, Indonesia tak bisa lagi bergantung hanya kepada sumber daya alam atau upah buruh murah. Pemerintah perlu mempersiapkan proses penyesuaiannya karena akan ada kelompok yang terdampak secara signifikan. Ada ruang untuk kebijakan industri (industrial policy), bukan dalam bentuk proteksionisme. Kebijakan industri dibutuhkan untuk mendorong research and development, perbaikan kualitas SDM dengan pendidikan dan pelatihan. Kerja sama pemerintah dan dunia usaha untuk peningkatan keterampilan jadi kunci.
Argumen di atas menunjukkan bahwa yang dibutuhkan Indonesia dan juga banyak negara lain bukan mengganti strategi pembangunannya menjadi inward looking (melihat ke dalam). Yang dibutuhkan adalah meredefinisi strategi pembangunan dengan modifikasi sesuai perubahan yang ada.
Alur baru memaksa kita beradaptasi. Minggu di awal Januari 2020 memang membengkokkan dekade. Alur itu mungkin patah, tapi ia akan membentuk jejak baru, melalui patahan sejarah. Kita tahu peradaban tumbuh karena koreksi dan daya suai. ”When the facts change, I change my mind. What do you do, Sir?” Begitu tulis ekonom John Maynard Keynes. Dan ia benar.
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Kamis, 18 November 2021. Rubrik Opini. Halaman 6.