Harga dan Pelemahan Permintaan
Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor Universitas Indonesia
KOMPAS – (17/5/2022) Dampak kenaikan harga dapat diuraikan menjadi dua bagian, yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Dampak yang paling ekstrem adalah hilangnya permintaan atau demand destruction akibat efek substitusi dan efek pendapatan, yang membuat konsumsi suatu barang menjadi tidak terjangkau lagi.
Kenaikan harga suatu barang punya batas. Jika terlalu tinggi di atas keinginan membayar, pelanggan akan berhenti membeli dan beralih sepenuhnya pada alternatif lain. Hal ini merupakan mekanisme yang membuat kenaikan harga tidak berkembang menjadi hiperinflasi.
Prinsip ini digunakan oleh otoritas moneter di dunia untuk mendinginkan perekonomian yang overheating, melalui kebijakan disinflasi dalam berbagai instrumen. Sebagai otoritas, mereka juga mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan antisipatif (to move ahead of the curve).
Perubahan perilaku
Akibat serangan Rusia ke Ukraina, harga minyak WTI (West Texas Intermediate) sempat mencapai 123 dollar AS per barel. Harga minyak WTI kemudian turun ke 99 dollar AS per barel meski situasi geopolitik yang belum menentu membawanya kembali ke sekitar 107 dollar AS per barel. Faktor-faktor lain yang menahan harga minyak WTI dikisaran 100-110 dollar AS per barel adalah kekhawatiran dampak penguncian (lockdown) di China dan potensi resesi di Amerika Serikat (AS).
Tampaknya, para pedagang di bursa berjangka mulai mengerti bahwa permintaan akan rontok sendiri jika harga tak terjangkau. Namun, para spekulan tetap butuh fluktuasi harga guna memperoleh keuntungan. Efek dari perubahan perilaku ini adalah pasar minyak berfluktuasi di kisaran harga yang lebih sempit, dibandingkan dengan awal konflik Ukraina-Rusia.
Walakin, kisaran itu tampaknya belum dapat menenangkan harga bahan bakar minyak (BBM) di AS. Di tingkat SPBU rata-rata harga BBM melonjak ke 4,37 dollar AS per galon atau1,19 dollar AS atau setara dengan Rp17.255 per liter. Hasil Maru Public Opinion Survey akhir April 2022 menunjukkan, 66 persen responden mengubah perilakunya dalam penggunaan kendaraan pribadi, 34 persen sisanya baru akan mengubah perilaku jika harga BBM melebihi 5 dollar AS per gallon.
Kenaikan harga BBM itu, ditambah kenaikan harga kebutuhan sehari-hari sebesar 10,8 persen pada April, menyebabkan inflasi di AS tetap tinggi, yakni 8,3 persen pada April 2022, setelah mencapai puncaknya 8,5 persen pada Maret 2022.
Secara paradoks, demand destruction ini diperlukan untuk menurunkan tekanan inflasi walau akibatnya adalah pertumbuhan yang negatif di triwulan I-2022, yakni minus 1,4 persen. Namun, bank sentral AS menganggap inflasi masih terlalu tinggi sehingga perlu menaikkan suku bunga 50 basis poin pada 4 Mei 2022. Langkah itu dibarengi dengan pengurangan kepemilikan surat berharga 95 miliar dollar AS per bulan.
Kasus anekdotal perubahan perilaku lain terjadi di Inggris akibat konflik Ukraina-Rusia serta sanksi ekonomi terhadap Rusia yang membuat harga energi dan pangan melambung. Survei YouGov akhir April 2022 menemukan, 14 persen dari 10.674 responden terpaksa mengurangi frekuensi makan sehari-hari dari tiga kali menjadi kurang dari itu. Jika tetap makan tiga kali sehari, mereka mengurangi porsinya. Untuk menghemat tagihan listrik dan gas, sebagian masyarakat juga beralih ke makanan siap saji beku karena memasak sendiri dari bahan mentah menjadi mahal.
Mudik dan pertumbuhan ekonomi
Tingginya minat mudik Lebaran pada awal Mei 2022 menggambarkan permintaan yang tertahan dua tahun akibat pandemi. Faktor pendukungnya, harga BBM yang belum memasuki zona destruksi permintaan. Menurut Jasa Marga, pada 22 April-1 Mei 2022, tercatat rekor baru, yakni 1,7 juta kendaraan melintas atau 9,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan angka sebelum pandemi.
Dari segi keuangan, masyarakat tampaknya sudah mempersiapkan mudik beberapa bulan sebelumnya. Menurut Bank Indonesia (BI), proporsi pendapatan yang ditabung meningkat dari 15,9 persen pada Maret menjadi 16,4 persen pada April. Sementara indeks pembelian tahan lama pada Maret sudah melambat yang merupakan indikasi daya beli diarahkan pada perjalanan mudik.
Pada saat cuti Lebaran berakhir pada 8 Mei 2022, sebanyak 46 persen dari pemudik diperkirakan belum kembali sehingga berpotensi memperbesar daya ungkit mudik pada pertumbuhan ekonomi. Data BPS terbaru menunjukkan, pertumbuhan ekonomi triwulan I-2022 mencapai 5,01 persen secara tahunan, tidak jauh berbeda dari 5,02 persen pada triwulan IV-2021. Hal ini merupakan indikasi jalur ekuilibrium pertumbuhan jangka panjang sudah sangat dekat atau bahkan sudah tercapai kembali.
Dengan landasan pertumbuhan seperti itu, pola belanja seperti di atas tampaknya belum menimbulkan tekanan inflasi yang berlebihan dari sisi permintaan. Inflasi April tercatat 3,47 persen, naik dari 2,67 persen bulan sebelumnya. Tekanan inflasi lebih berasal dari sektor produksi dan inflasi yang diimpor, di mana makanan, minuman, dan tembakau menyumbang 46 persen, diikuti sektor transportasi 29 persen.
Angka inflasi masih dalam kisaran 3 plus minus 1 persen sehingga pengendalian inflasi masih dapat dilakukan dengan pengendalian likuiditas tanpa harus secara langsung menyentuh suku bunga acuan. Hal yang harus diwaspadai adalah inflasi yang diimpor yang berasal baik dari harga komoditas maupun penguatan dollar AS yang berimbas pada pelemahan rupiah. Saat ini, indeks dollar AS sudah berada pada angka 104 sebagai akibat dari konflik Ukraina-Rusia, kenaikan suku bunga The Fed, dan penguncian di China.
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 17 Mei 2022. Rubrik Analisis Ekonomi-Umum. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.