Menghitung Kerugian Investasi Saham Bank Digital Saat Euforia Berakhir
Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar FEB UI
KONTAN.CO.ID – (6/3/2023) Prinsip dasar investasi dalam semua aset sejatinya sama yaitu membandingkan nilai dan harga. Prinsip ini berlaku untuk siapa pun dan tidak lekang oleh waktu.
Investor di mana pun selalu mencari aset yang undervalued atau underpriced yaitu yang nilainya di atas harganya. Nilai adalah what we get atau worth, sementara harga adalah what we pay atau cost.
Susahnya, tidak seperti harga yang ada di depan kita atau observable, nilai bersifat unobservable atau tidak nyata. Kita harus mengestimasi untuk mendapatkan nilai, yang sering juga disebut nilai intrinsik atau nilai fundamental atau harga wajar dalam buku-buku teks.
Ada tiga pasar dalam perekonomian, yaitu pasar barang dan jasa atau sektor riil, pasar finansial, dan pasar tenaga kerja. Investasi pun dapat dilakukan di tiga pasar itu.
Di pasar tenaga kerja, investasinya dalam diri sendiri yaitu studi lanjut, pelatihan, kursus, lokakarya, dan sertifikasi. Selain produknya tidak sama, ketiga pasar juga berbeda dalam variabel terpentingnya.
Untuk pasar tenaga kerja, variabel paling signifikan adalah upah dan gaji. Dalam pasar barang dan jasa, variabel paling menentukan adalah harga. Ilmunya adalah teori harga atau ekonomi mikro. Aplikasinya yaitu ekonomi manajerial.
Sementara di pasar keuangan, variabel terpenting adalah tingkat bunga dan padanannya, yaitu tingkat diskonto, yield, dan return. Ilmu tentang ini adalah teori tingkat bunga atau matematika keuangan. Kebetulan saya mengajar ekonomi manajerial dan matematika keuangan di Departemen Akuntansi UI.
Prinsip dasar nilai vs harga juga berlaku untuk investasi di pasar tenaga kerja. Kita menyaksikan banyak orang bersedia membayar mahal untuk memperoleh pendidikan berkualitas.
Biaya SMP dan SMA sekolah internasional di Jakarta menyentuh US$30.000 atau Rp450 juta setahun dan umumnya harus dibayar di muka. Biaya pendidikan MBA di sepuluh sekolah bisnis terkemuka Amerika rata-rata US$155.505 atau Rp2,33 miliar untuk dua tahun. Toh, sekolah internasional maupun MBA itu tetap laris manis, karena nilainya dipandang lebih besar dari harganya.
Tidak hanya dalam investasi, perbandingan nilai dan harga sejatinya juga kita lakukan saat membeli barang dan jasa. Ketika ingin makan di restoran, menginap di hotel berbintang, memesan tiket pesawat terbang, dan memilih kendaraan pribadi, kita selalu membandingkan nilai yang kita peroleh dengan harga yang kita bayarkan, atau menghitung value for money.
Untuk pasar tenaga kerja, tidak ada perusahaan yang bersedia membayarkan gaji (harga) seseorang di atas nilai orang itu untuk perusahaan. Di sisi lain, seorang karyawan yang merasa nilai dirinya tinggi juga tidak akan mau menerima pekerjaan dengan gaji yang jauh lebih rendah dari nilainya.
Dia akan mencari perusahaan atau pekerjaan yang menggajinya sesuai dengan nilai dirinya. Karenanya, konvergensi harga menuju nilai juga berlaku di sini, yaitu gaji seseorang dalam jangka panjang akan sesuai nilai orang itu di pasar.
Perihal nilai vs harga ini, saya menulis lima artikel di kolom ini pada Maret hingga Oktober 2021. Saya mengamati harga beberapa saham bank, yang mengklaim sebagai bank digital, sangat mencolok menjauhi nilainya. Silakan dicari dan dibaca artikel Kritis terhadap Valuasi Saham dan Provokasi Pom-pom, Anomali PBV Saham Perbankan, Aksi Herding Investor Ritel di Bursa Saham, Irasionalitas Investor Mengecoh Pasar Saham dan Menanti Berakhirnya Euforia Bank Digital.
Akibat provokasi, herding, dan irasionalitas investor, harga saham yang tidak masuk akal mahalnya itu nyatanya dapat bertahan belasan bulan. Namun tidak ada pesta yang tidak berakhir. Tahun lalu euforia pun usai.
Di 28 April 2021 saya membandingkan PBV lima bank digital bermodal kecil dengan tiga bank yang baru masuk buku IV. Jangan kaget jika rata-rata PBV keduanya jomplang, yaitu 24,3 berbanding 0,6. Ini berarti bank kecil dihargai 40,5 kali bank berekuitas besar. Sungguh anomali.
Pada 11 Oktober 2021 saya kembali membandingkan PBV delapan bank digital dengan seluruh bank buku IV. Angkanya tetap mencengangkan, yaitu 19,6 berbanding 1,6. Bank-bank bermodal terbesar hanya dihargai 8,2% bank-bank berekuitas kecil. Saya pun tidak ragu memprediksi euforia akan segera berakhir, walaupun tidak mampu memprediksi waktunya.
Marilah kita lihat perubahan PBV tahun 2021 dan saat ini (2023), harga terendah sebelum euforia, tertingginya, dan di 2023 dari delapan saham bank digital. Silakan simak tabel di bawah ini.
Mereka yang ikut-ikutan membeli saham-saham di atas pada harga tertingginya laksana orang yang baru datang ke sebuah pesta saat pesta akan bubar. Bukannya menikmati makanan, kue, dan minuman yang enak, mereka hanya kebagian cuci piring.
Bursa saham memang kejam dan investornya banyak yang irasional. Belajarlah dari pengalaman orang lain dan jangan dari pengalaman diri sendiri, kecuali jika Anda bersedia membayar mahal untuk pengalaman sendiri.