Kunjungan GNAM Week ke Yogyakarta: Jelajahi Strategi Bisnis Berkelanjutan di UGM, DOWA, dan Monggo Chocolate
Rifdah Khalisha – Humas FEB UI
YOGYAKARTA – (16/10/2024) Usai menyelesaikan rangkaian kegiatan di Jakarta, peserta GNAM Week melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta, Jawa Tengah, pada Rabu (16/10). Destinasi pertama adalah Universitas Gadjah Mada, disambut oleh Dosen dan Pimpinan Magister Manajemen FEB UGM, Prof. Amin Wibowo, Ph.D. Dalam sesi tersebut, Prof. Amin memaparkan topik transformasi digital untuk keberlanjutan untuk merancang strategi digital guna menciptakan bisnis yang berkelanjutan.
Ia mengenalkan reimagining capitalism yang melibatkan pemikiran ulang sistem kapitalis tradisional untuk mengatasi tantangan sosial dan lingkungan di samping pencarian keuntungan. Dalam konteks ini, grant capital, social finance, dan commercial capital berperan penting dalam membentuk sistem ekonomi yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Grant capital merupakan dana yang diberikan tanpa harapan pengembalian finansial, biasanya oleh pemerintah, filantropi, atau organisasi nirlaba. Dana ini mendukung proyek dengan dampak sosial atau lingkungan yang pengembaliannya tidak bersifat finansial, tetapi sangat berdampak, seperti pengentasan kemiskinan atau aksi iklim. Pendekatan ini mendukung inisiatif inovatif atau berisiko tinggi yang dapat membuka jalan bagi solusi berkelanjutan. Banyak perusahaan sosial tahap awal menggunakan hibah ini untuk menguji model, sebelum menarik investasi tradisional.
Social finance menggabungkan pengembalian finansial dengan tujuan sosial atau lingkungan, seperti impact investing yang mengejar dampak sosial terukur. Berbeda dengan grant capital, social finance mengharapkan pengembalian meskipun sering lebih rendah dari investasi komersial. Pendekatan ini memainkan peran penting dalam memperbesar skala perusahaan sosial atau proyek berkelanjutan, melalui instrumen seperti obligasi sosial, obligasi hijau,dan filantropi ventura.
Commercial capital mewakili investasi tradisional dengan tujuan utama memaksimalkan pengembalian finansial. Namun, investor komersial modern mulai mengintegrasikan prinsip Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola dalam pengambilan keputusan. Meskipun secara historis berfokus hanya pada keuntungan, nyatanya perusahaan yang mengutamakan praktik berkelanjutan kini lebih menarik bagi investor karena praktik tersebut selaras dengan preferensi pasar dan tuntutan regulasi yang terus berkembang.
Prof. Amin mengutarakan, sistem kapitalis yang diperbarui mendorong kolaborasi antara ketiga jenis modal ini. Misalnya, grant capital dapat membantu mengurangi risiko usaha tahap awal, membuatnya lebih menarik bagi social finance. Setelah modelnya terbukti, social finance dapat membantu memperbesar skala inisiatif, yang pada akhirnya menarik commercial capital untuk memperluas operasi lebih jauh.
“Pendekatan multi-tier ini memungkinkan solusi yang lebih komprehensif untuk masalah sosial dan lingkungan, mendorong pergeseran dari pemaksimalan keuntungan murni menuju penciptaan nilai bersama bagi masyarakat,” jelasnya.
Hari keempat GNAM Week 2024 dimulai dengan tur ke pabrik DOWA, produsen tas lokal asal Yogyakarta, yang telah berhasil menembus pasar internasional dengan beragam produk berkualitas tinggi yang dihasilkan oleh ribuan pengrajin lokal. Peserta diajak melihat proses pembuatan tas yang penuh ketelitian, dari bahan mentah hingga produk jadi yang siap untuk dipajang dan dikemas. Sesi ini diiringi penjelasan dari Direktur DOWA Nina Widaryatun dan Anggota Tim DOWA Ning Margati Wulansari sehingga peserta memiliki kesempatan untuk menerima pemahaman yang lebih dalam tentang operasi perusahaan, tantangan, dan pencapaiannya.
Didirikan oleh Delia Murwihartini pada 1989, DOWA kini telah berkembang selama 35 tahun operasi dan diekspor ke beberapa negara, termasuk Italia, Swedia, Spanyol, Singapura, dan Amerika Serikat. Seiring waktu, DOWA mengalami pertumbuhan yang signifikan, mencapai basis konsumen sebanyak 20.000 pembeli bulanan dan mempekerjakan ribuan pengrajin dan pekerja yang memproduksi hingga 10.000 unit setiap bulan, menunjukkan tingginya minat masyarakat lokal maupun internasional terhadap produk kerajinan Indonesia.
Karya DOWA hidup melalui upaya terampil para pengrajin wanita di pedesaan Yogyakarta, termasuk daerah seperti Kulon Progo, Bantul, dan Sleman, yang diberdayakan untuk bekerja dari rumah. Mereka menerima pelatihan khusus untuk menjaga setiap tas agar memenuhi kualitas ekspor berstandar tinggi. Sistem kerja ini pun mendukung pertumbuhan ekonomi di komunitas tersebut dengan memanfaatkan sumber daya berlimpah, seperti kulit, anyaman daun lontar, dan serat pisang.
Pendiri DOWA menyatakan, keindahan kami terletak pada cara kami membuat sesuatu—kombinasi dari kesabaran, kerajinan tangan, presisi, dan keahlian fashion global. DOWA melihat ada peluang untuk membawa keindahan budaya dan warisan Indonesia melalui setiap produknya. Berkat perpaduan antara kerajinan tradisional yang kemudian disempurnakan menggunakan inovasi teknologi modern, DOWA berhasil meraih perhatian global sebagai salah satu merek yang dihormati dalam industri mode.
Setelah itu, para peserta berkunjung ke Monggo Chocolate untuk mendengarkan kisah pendirinya, yakni Thierry Detourney, chocolatier asal Belgia yang datang ke Indonesia pada 2001. Mulanya, ia terkesan dengan cita rasa unik biji kakao Indonesia, salah satu produsen kakao terbesar di dunia. Usaha pertama Thierry menjual cokelat dimulai bersama seorang teman yang menjual kreasi coklatnya di Universitas Gadjah Mada. Respon positif dari pasar mendorongnya untuk mendirikan Monggo Chocolate pada 2005. Nama merek “Monggo” berasal dari kata dalam bahasa Jawa yang berarti silakan, mencerminkan hubungan mendalam perusahaan dengan budaya Indonesia.
Meskipun harganya lebih mahal, ia ingin memperkenalkan coklat yang dibuat dengan 100% lemak murni dari biji kakao dari daerah Jawa, Sulawesi, dan Sumatra, menggabungkan cita rasa Indonesia dengan teknik tradisional (artisanal) Belgia. Terbukti, coklat ini menunjukkan kualitas superior dibandingkan dengan merek lokal lainnya. Thierry terus mengembangkan variasi produk berbentuk seperti praline, ganache, dan truffle yang membantu Monggo Chocolate berkembang dan dihormati di Indonesia.
Tidak hanya membuat cokelat yang enak, Monggo berkomitmen memiliki identitas yang turut memberikan kontribusi positif dengan menjalin kemitraan dengan petani kakao lokal, mendukung praktik perdagangan berkelanjutan, mempromosikan kualitas kakao Indonesia di pasar global. Monggo pun menggunakan bahan kemasan ramah lingkungan, termasuk kertas daur ulang dan kotak berbahan dasar daun pisang. Perhatian terhadap keberlanjutan ini selaras dengan konsumen yang semakin sadar akan dampak ekologis dari produk yang dibelinya.
Hari kelima GNAM Week 2024 diakhiri dengan diskusi kelompok oleh para peserta untuk mempersiapkan presentasi. Setelah itu, setiap kelompok menyajikan temuannya selama 15 menit dan sesi tanya jawab selama 10 menit dengan para penilai Arviansyah, Ph.D., Yeshika Alversia, M.Sc., Jonathan Marpaung, Ph.D. dan Triza Mudi, M.S.M., Ph.D.
Pemenang kelompok terbaik jatuh pada kelompok 3, diikuti oleh kelompok 2 di posisi kedua dan kelompok 6 di posisi ketiga. Sementara pengumuman ‘Most Engaging Participant’ diberikan kepada Anggelina Purnama dari Universitas Indonesia, Putri Suli dari Universitas Indonesia, Vikash Malavath dari IIMB India, dan Gowtham Kumar dari IIMB India, sedangkan ‘Most Contribution Participant’ diberikan kepada Frischa Melyanthy dari University of Oxford, Herman Sibuea dari Universitas Indonesia, Khrisna Triharyo dari Universitas Indonesia, dan Domino Joanna dari Asian Institute of Management Philippines.