Biarkan Keuntungan Mengalir dan Membatasi Kerugian
Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar FEB-UI
KONTAN – (28/10/2024) Analisis fundamental percaya, harga saham akan konvergen ke nilainya. Kita mencoba mencari saham yang harga di bawah nilainya atau undervalued dengan prinsip buy low and sell high. Berbeda dengan analisis fundamental, analisis teknikal mengajarkan kita untuk tidak takut membeli saham pada harga tinggi jika dapat menjualnya lebih tinggi lagi, buy high and sell higher.
Tidak ada yang salah dengan trader berprinsip begitu. Tanpa trader, pasar saham sepi dan likuiditas berkurang. Transaksi harian tidak akan mencapai belasan triliun rupiah per hari. Mereka sejatinya menciptakan banyak pekerjaan di bursa dan memberi keuntungan untuk perusahaan efek dan juga regulator.
Yang kurang pas, jika Anda membeli berdasarkan rekomendasi analisis teknikal, tapi saat menjual, Anda berpaling ke analisis fundamental. Maksudnya, Anda membeli saham berdasarkan analisis teknikal tapi ketika harga terkoreksi, tidak mau cut loss.
Lihatlah saham-saham blue chips. Seperti UNVR, GGRM, SMGR, HMSP, INTP, dan BSDE. Jika Anda sempat membeli lima atau sepuluh tahun lalu dan tidak bersedia jual rugi, karena yakin berfundamental bagus, Anda terpaksa gigit jari sekarang. Harga semua saham itu turun belasan hingga puluhan persen dalam 5-10 tahun terakhir.
Anda tidak saja menderita capital loss tetapi juga opportunity cost, karena tidak dapat menikmati return dari saham-saham lain yang naik banyak.
Sebaliknya ketika harga naik menembus level resistance, Anda justru cepat-cepat menjual. Padahal analisis teknikal justru mengatakan saatnya memborong atau beli lebih banyak.
Bloomberg mencatat, ada 44 saham yang harganya telah naik 500% dalam lima tahun terakhir. Dua jawaranya adalah PANI dengan kenaikan 224.891% dan DCII dengan 8.548% saat artikel ini ditulis, pekan lalu. Sementara year to date, sebanyak 16 saham telah terbang minimal 300%. Dipimpin KARW (5.660%) dan FORU (2.233%).
Apa yang salah dengan strategi sell the winners too soon dan hold the losers too long? Anda membatasi keuntungan, sementara kerugian dibiarkan mengalir.
Mestinya let the profits run, Anda justru let the losses run. Saham pecundang cenderung disimpan sementara saham jagoan terlalu cepat dijual untuk profit taking.
Implikasi dari bias ini, investor ritel mengalami banyak keuntungan kecil (many small gains) dan tidak ada keuntungan besar di satu sisi. Lalu, kemungkinan ada kerugian besar (large loss) di samping kerugian kecil di sisi lain.
Ini disebut efek disposisi dan diamati pertama kali oleh Shefrin dan Statman (1985). Apakah Anda mengalaminya? Silakan periksa portofolio Anda.
Apakah saham losers lebih banyak daripada saham winners? Alternatif lain, setahun terakhir apakah saham yang Anda lepas lebih banyak untung daripada rugi, untuk menguji apakah Anda lebih banyak merealisasikan keuntungan daripada kerugian? Terakhir, tahun ini bandingkan keuntungan penjualan saham dengan keuntungan portofolio Anda. Apakah realized gain lebih besar daripada unrealized gain?
Ketika Camerer dan Weber (1998) melakukan penelitian ini, mereka mendapatkan ketiga pendekatan di atas memberikan hasil yang sama yaitu mendukung teori ini. Mengapa ini dapat terjadi?
Berbeda dengan teori keuangan tradisional yang mengatakan manusia itu adalah risk averse, behavioral finance (BF) menyatakan manusia itu sebenarnya loss averse dan bukan risk averse. Saat harga saham turun di bawah harga belinya, investor cenderung menahannya dengan harapan harga sahamnya kembali naik dan kerugian berubah menjadi keuntungan.
Menurut Kahneman dan Tversky (1979), manusia merasakan kerugian jauh lebih dalam dan lebih lama daripada efek keuntungan dengan jumlah uang yang sama.
Kerugian selalu membawa kesedihan dan kekecewaan, sementara keuntungan mendatangkan kepuasan dan kesenangan. Namun, derajat kesedihan dan kesenangan yang ditimbulkan untuk nilai uang yang sama sungguh berbeda. Untuk teori prospeknya ini, Kahneman diganjar nobel ekonomi di 2002 dan menjadi satu-satunya psikolog yang dapat meraihnya hingga saat ini.
Dalam investasi saham, merealisasikan kerugian berarti mengakui kesalahan dalam memilih saham. Jika pengambilan keputusan salah ini diketahui orang lain, tentu ada rasa malu. Orang lain juga akan menilai kurangnya kemampuan investor.
Pandangan seperti ini cukup menyakitkan dan menurunkan harga diri. Lebih lanjut, BF mengatakan investor juga tidak bersedia merealisasikan kerugiannya karena ingin meminimumkan future regret. Menjual saham rugi membuka kemungkinan timbulnya penyesalan lebih besar di kemudian hari jika harga saham kembali naik.
Merealisasikan kerugian juga menutup kemungkinan keputusan awal, yaitu pembelian saham, sebenarnya tepat. Bahwa investor tersebut sesungguhnya piawai dan berpengalaman.
Jika kemudian harga saham tersebut naik, investor tidak saja menderita kerugian tetapi juga mengalami penyesalan yang luar biasa besar karena melakukan dua kesalahan berturut-turut.
Pertama, membeli saham yang menjadi losers dalam waktu lama. Kedua, melepaskan pada saat yang tidak tepat. Untuk minimalisasi penyesalan tersebut, banyak investor mengambil posisi bertahan dengan saham pecundangnya.
Sebaliknya terjadi untuk saham-saham untung. Ada efek kebanggaan dan kemenangan dalam diri investor karena mengambil keputusan tepat dalam memilih saham. Tanpa menunggu lama, investor ritel pada umumnya segera merealisasikan keuntungan.
Kesimpulannya, jangan takut cut loss dan jangan terlalu cepat merealisasikan keuntungan. Jangan juga terlalu bersedih jika portofolio Anda berisi pepesan kosong karena sebagian besar investor lain juga sama.
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 28 Oktober 2024. Rubrik Wake Up Call.