Blunder PPh, PPN, dan Tax Amnesty
Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy, CPA – Staf Pengajar Departemen Akuntansi UI
KONTAN – (25/11/2024) Penolakan terhadap kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan Tax Amnesty Jilid III menghiasi headline, tajuk, dan editorial sejumlah harian nasional pekan lalu. Di antaranya adalah Buruh Ancam Mogok Massal Menentang Kenaikan PPN, Kelas Menengah Kian Terjepit, Aneka Pajak Tambah Beban Masyarakat, Jurus Instan Pemerintah Kumpulkan Uang, Beban Berlipat Rakyat, Tax Amnesty Muncul Lagi Demi Target Prabowo, Menakar Urgensi Tax Amnesty, Pengemplang Pajak Bakal Diampuni Lagi, dan Tax Amnesty Jadi Bibit Kecemburuan.
Kecuali pemerintah dan sebagian anggota DPR, saya tidak membaca ada pihak lain yang mendukung. Tarif PPN 12 persen adalah amanat UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang diputuskan pemerintah dan DPR di era Presiden Jokowi. Namun, masyarakat menolak dan menilai pemerintah kurang peka dan tidak punya sense of crisis jika menaikkannya saat daya beli konsumen terus melemah. Kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% sejak April 2022 saja masih terasa berat. Toko dan pabrik banyak yang tutup sehingga PHK terjadi dimana-mana. Rata-rata tabungan rumah tangga turun 6,3% menjadi Rp4,3 juta per Juli lalu.
Kelas menengah terpaksa turun kasta menjadi miskin akibat kenaikan harga barang yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan. Jumlah kelas ini, yaitu mereka yang pengeluaran bulanannya antara Rp2 juta hingga Rp9,9 juta turun dari 57,3 juta orang (21,5%) di tahun 2019 menjadi 47,9 juta pada Maret 2024 (17,1%).
Di balik tambahan penerimaan pemerintah yang diperkirakan Rp73,8 triliun dari kenaikan tarif PPN ini ada risiko anjloknya konsumsi nasional yang saat ini 57% dari PDB. Pajak memang selalu membawa efek kontraktif.
Dalam perpajakan, kita mengenal pajak pusat, yaitu pajak yang masuk ke pemerintah pusat atau APBN seperti pajak penghasilan (PPh) dan PPN. Lalu pajak daerah yang masuk ke APBD yaitu pajak bumi & bangunan (PBB) dan pajak kendaraan bermotor (PKB).
Selain itu, ada pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung umumnya berdasarkan kemampuan wajib pajak seperti PPh, PBB, dan PKB. Sementara pajak tidak langsung dikenakan tanpa melihat kondisi ekonomi seseorang. Contohnya adalah PPN, macam-macam bea, dan pajak penjualan. Buruh, nelayan, dan petani harus membayar pajak yang sama besar dengan orang kaya dan pengusaha untuk barang yang dibelinya. Karenanya, kenaikan tarif PPN sebagai pajak pusat dan tidak langsung akan lebih memberatkan masyarakat menengah dan bawah yang selama ini sudah banyak yang terpaksa makan tabungan alias mantab.
PPN Populer
Saat ini sebanyak 175 negara di dunia telah menerapkan PPN termasuk sebagian besar negara Asia dan negara-negara OECD. Sementara Amerika Serikat, Myanmar, dan belasan negara lainnya mengenakan pajak penjualan. Ada juga negara yang tidak membebankan keduanya, yaitu Hong Kong dan Brunei Darussalam.
Meskipun PPN dan pajak penjualan adalah pajak konsumsi, keduanya tidak sama. Pajak penjualan dikenakan pada produk akhir dalam rantai pasok dan tidak perlu mekanisme kredit pajak sehingga sangat praktis dan tidak rumit di mata korporasi. Biaya pencatatan dan pelaporan jadi jauh lebih murah. Sementara PPN dikenakan sepanjang rantai pasok. Mengapa PPN jauh lebih populer?
Ini karena pajak penjualan mengalami beberapa kekurangan. Yang utama, tidak ada cross-reporting. Dengan pajak penjualan, pemerintah tidak punya catatan dari pihak terkait mengenai pajak yang sudah dipungut penjual. Karenanya, tingkat kepatuhan akan lebih rendah dan pemerintah tidak punya kemampuan untuk memaksakan.
Sementara PPN yang menyediakan jejak audit (audit trail) secara otomatis. Penjual tahu kalau pembeli akan melaporkan transaksinya untuk dapat mengklaim kredit dalam menghitung pajaknya. Karenanya, penjual tidak ada pilihan lain kecuali melaporkannya juga. Dengan pajak penjualan, ketika penjual akhir tidak melaporkan pajak penjualan, keseluruhan penerimaan pemerintah akan hilang. Dengan PPN, kehilangannya hanya sebesar pertambahan nilai yang tidak dilaporkan.
Dibandingkan tarif PPN di dunia yang rata-rata 15%, tarif 11% memang belum besar. Tetapi dibandingkan banyak negara tetangga, tarif kita nomor dua tertinggi setelah Filipina dengan 12%. Jepang, Laos, Malaysia, Kamboja, Papua New Guinea mengenakan 10%. Sementara Singapura 9%, Vietnam 8%, Taiwan 5%, Uni Emirat Arab 5%, dan Timor Leste 2,5%. Thailand bahkan sejak awal Oktober 2024 justru menurunkan tarifnya dari 10% menjadi 7%.
Sejatinya, sejak awal saya sangat tidak setuju pemerintah menurunkan PPh badan dari 25% menjadi 22% mulai tahun pajak 2020 dan kemudian rencananya menjadi 20% di 2022 agar lebih menarik di mata investor asing seperti Singapura dengan tarif PPh 17%. Indonesia itu tidak akan mampu menyaingi daya tarik Singapura. Di sini tingkat korupsi dan kebocoran anggaran masih tinggi sementara kepastian hukum dan tax ratio di peringkat bawah. Terbukti, rasio pajak terjun ke level 8,3% di 2020, naik sedikit menjadi 9,1% di 2021, 10,4% di 2022 (10,1% tanpa PPS), dan 10,2% di 2023.
Program Pengukapan Sukarela (PPS) di semester pertama 2022 ternyata hanya menaikkan rasio pajak 0,3%. Belajarlah dari India yang sudah 8 kali tax amnesty namun tingkat kepatuhan pajak masih rendah. Penurunan tarif PPh badan hingga 20% pun akhirnya ditunda.
Daripada menggenjot PPN yang kurang berpihak ke kelas menengah dan bawah, Menteri Keuangan sebaiknya mengembalikan tarif PPh badan ke 25%.
Blunder tarif PPh dan PPN ini jangan diperparah dengan rencana tax amnesty yang hanya akan dinikmati kalangan atas dan mencederai rasa keadilan wajib pajak yang sudah patuh. Lainnya, naikkan tarif progresif PPh pribadi menjadi 45% atau 50% untuk penghasilan belasan hingga puluhan miliar setahun.
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 25 November 2024. Rubrik Wake Up Call. Halaman 4.