SERIAL DISKUSI KEBIJAKAN PUBLIK
“SINERGI KELEMBAGAAN DAN KESINAMBUNGAN FISKAL
DALAM PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA”
Selasa, 30 Juni 2015 bertempat di Kampus UI Salemba, dalam rangka HUT Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik FEB UI Menyelenggarakan serial diskusi dengan tema “Sinergi Kelembagaan Dan Kesinambungan Fiskal Dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial Di Indonesia”. Kegiatan yang dilaksanakan setiap semester ini dibuka oleh Ketua Program Studi MPKP FEB UI Dr. Telisa Aulia Falianty, ada beberapa narasumber yang hadir dalam acara tesebut diantaranya :
Isnavodiar Jatmiko, M.M. (AVP KM dan Kemitraan, Divisi Perencanaan Strategis,
BPJS Ketenagakerjaan), TeguhDartanto, Ph.D. (Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia), Wahyu Utomo (Kepala Bidang Kebijakan Belanja Pusat dan Pembiayaan, Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan), sedangkan Moderator dalam serial diskusi ini yaitu : Chaikal Nuryakin, Ph.D.
Umumnya, masyarakat Indonesia memaknai jaminan sosial hanyalah berupa bantuan-bantuan pemerintah (pusat dan daerah) kepada rumah tangga miskin, seperti; BLT, RASKIN, dsb. Pemaknaan seperti ini jelas tidak tepat. Karena bantuan pemerintah kepada rumah tangga miskin hanyalah sebagian dari sistem jaminan sosial yang dipraktekkan di negara-negara lain (maju). Asuransi yang bersifat sosial yang diinisiasi ataupun didukung pemerintah serta yang tumbuh atas prakarsa masyarakat sendiri merupakan bahagian lain dari sistem jaminan sosial yang amat penting. Selain itu penerapan sistem jaminan sosial di Indonesia masih banyak kendala dan berbagai masalah yang harus di selesaikan, seperti pemaparan Isnavodiar Jatmiko, M.M. yang menerangkan bahwa “Social security di Indonesia benar-benar dimulai tahun 2004. Sebelum tahun 2004 hanya terbatas untuk pekerja saja, belum kepada semua orang miskin dan tidak memberikan perlindungan pada seluruh fase hidup. Perlindungan jaminan sosial setelah tahun 2004 dilakukan dari sejak lahir sampai meninggal diatur dalam UU SJSN tahun 2004. Oleh karena itu dibentuk 2 badan penyelenggara jaminan sosial Indonesia (sesuai UU No. 24 Tahun 2011), yaitu BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan” katanya. “Hidup layak di seluruh fase hidup manusia termasuk hidup layak saat pensiun dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan progam Jaminan Pensiun dengan iuransebesar 3%. Selamaini, kondisipelayananpublik di Indonesia terkendala program dariKementerian/Lembaga yang berjalansendiri-sendiridantidakharmonis”. Tambahnya.
Selain itu, Teguh Dartanto, Ph.D. menerangkan bahwa “ Masalah dalam BPJS Kesehatan dimulai dari adanya masalah sistem pembayaran preminya. Ada golongan preminya diambil dari rekening langsung (untuk pekerjakan torandan PNS), tetapi ada yang dibayarkan oleh pemerintah (untuk golongan masyarakat miskin). Masalah muncul dari golongan middle dari informal sectors (missing middle problem) yang tidak masuk ke dalam 2 golongan yang disebutkan sebelumnya”. “Orang dalam golongan biasanya dikenai premi yang cukup mahal sehingga agak sulit membuat masyarakat pada golongan ini untuk bergabung dengan BPJS Kesehatan (single carrier), Katanya.
Dari sisi kesinambungan fiskal, Wahyu Utomo menyatakan “tantangan yang perlu diperhatikan antara lain : pemberian manfaat dan sustainability dari SJSN kedepannya. Keberlangsungan SJSN dilakukan dengan mamastikan fiskal yang sehat dan prasyarat program JKN adalah perlu adanya peserta yang banyak, usia produktif dintingkat kolektivitas yang tinggi sehingga adanya keseimbangan antara iuran dengan biaya manfaat dari BPJS Kesehatan “.
Serial diskusi MPKP FEB UI membahas mengenai bagaimana Program Kerja BPJS Kesehatandan BPJS Ketenagakerjaan, serta Anggaran Jaminan Sosial Nasional yang di berikan pemerintah kepada masyarakat. Kegiatan ini berlangsung secara interaktif dan antusias.