Multidimensional Poverty and Gender: Towards a Strong and Equitable Recovery from COVID-19
Rifdah Khalisha – Humas FEB UI
DEPOK-(21/4/2021) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) bersama Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) Oxford University menggelar Webinar Multidimensional Poverty and Gender: Towards a Strong and Equitable Recovery from COVID-19” pada Rabu (21/4).
Acara menghadirkan Nurtami Soedarsono, Ph.D. (Wakil Rektor Universitas Indonesia) pada pembuka, Sri Mulyani Indrawati, Ph.D. (Menteri Keuangan RI) sebagai pembicara keynote, Prof. Sabina Alkire (Oxford University) sebagai panelis utama, Dr. Beta Yulianita Gitaharie (Dekan FEB UI) pada penutup, Putu Natih, D.Phil. (Oxford University) sebagai pemandu acara, Hanna Keraf (Pendiri DuAnyam), Dana Iswara, M.A. (Pengusaha dan Mantan Jurnalis), dan Dr. Rahmatina Kasri (FEB UI).
Nurtami dalam sambutannya menyampaikan, “Webinar ini mempertemukan para pakar dan peneliti dari Indonesia dan United Kingdom untuk bekerja sama menemukan solusi inovatif atas berbagai tantangan di tengah COVID-19, terutama tantangan bagi kaum perempuan. Meskipun hanya dapat bertemu secara virtual, saya sangat terkesan dengan kolaborasi yang kuat antara rekan-rekan di lingkungan FEB Universitas Indonesia dan OPHI Oxford University. Saya berharap webinar dan diskusi ini semakin mengokohkan semangat kerja keras untuk mendukung pengembangan roadmap yang berkeadilan menuju pemulihan bagi Indonesia yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan.”
Menteri Sri mengatakan, “Topik kemiskinan multidimensi dan gender sangat relevan dengan situasi sekarang. Bertepatan dengan perayaan Hari Kartini di Indonesia mengenai perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak yang setara, terutama di bidang pendidikan. Dengan begitu, mereka pun memiliki kesempatan yang sama untuk memajukan mata pencahariannya.”
“Di tengah pandemi COVID-19 yang tengah menimpa secara global, menurut data PBB tercatat 70 persen pekerja kesehatan dan sosial adalah perempuan. Oleh karena itu, wanita akan lebih terdampak COVID-19. Para wanita juga menerima upah 11 persen lebih rendah daripada pria yang pasti akan menambah ketimpangan antar gender,” sambungnya.
Lalu, Prof. Sabine dalam sesinya memaparkan penelitiannya, “Wanita mengalami kemiskinan multidimensi, tetapi ukuran kemiskinan standar seringkali mengabaikan beban ekstra deprivasi dan beban perawatan. Penelitian ini mengukur kemiskinan multidimensi dengan membuat profil deprivasi untuk mengidentifikasi berbagai masalah yang memengaruhi wanita atau rumah tangga.”
Indeks kemiskinan multidimensi (MPI) dapat membuat pengalaman perempuan terlihat apabila memasukkan indikator gender, memilah MPI berdasarkan gender dan kepala rumah tangga wanita, menganalisis variabel deprivasi individu (dalam pendidikan, kesehatan, dan standar hidup), serta memperluas MPI nasional dan wanita terkait dengan dimensi deprivasi di seluruh siklus hidup perempuan.
Berdasarkan penelitian di Afghanistan, terlihat bahwa 74,81 persen wanita dan 46,73 persen pria berusia 10+ yang tidak menyelesaikan sekolah dasar atau mengetahui baca tulis. Namun, populasi kepala rumah tangga pria lebih banyak daripada kepala rumah tangga wanita.
Lalu, menurut analisis gender di Asia Selatan, tercatat 10,7 persen anak perempuan dan 9,0 persen anak laki-laki usia sekolah miskin dan tidak bersekolah. Selain itu, 28,1 persen anak perempuan dan 27,7 persen anak laki-laki di bawah 5 tahun yang miskin dan kurang gizi.
“Data tersebut menunjukkan bahwa wanita lebih banyak yang tidak menyelesaikan sekolah dasar atau mengetahui baca tulis. Selain itu, hanya sedikit dari mereka yang memegang peran sebagai kepala rumah tangga. Anak perempuan pun lebih cenderung tidak bersekolah dan kekurangan gizi. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan kepada wanita dalam mengatasi kemiskinan multidimensi,” tuturnya.
Hanna menjelaskan seputar Du Anyam, “Du Anyam adalah merek kerajinan etis terkemuka di Indonesia yang memberikan dampak sosial tambahan bagi komunitas pengrajin. Hingga saat ini, Du Anyam telah memberikan 1500+ wanita pelatihan, 300 beasiswa untuk anak-anak pengrajin, 4800+ makanan bergizi untuk wanita dan anak-anak, 500 kacamata untuk pengrajin senior, 500 lampu solar,dan 100+ wanita menerima literasi keuangan. Kami ingin terus memberdayakan para wanita di pedesaan untuk meningkatkan kapasitas diri dalam berbagai hal.”
Selanjutnya, Dana membagikan kisah toko Dua Nyonya yang terpaksa harus menghentikan operasi sejak pandemi, “Toko saya tidak tutup, tetapi produksi dan penjualan benar-benar berhenti. Para pegawai yang seluruhnya perempuan harus tinggal di rumah dan hanya menerima upah pokok, tanpa tunjangan makan dan transportasi. Pada Oktober 2020, saya dan rekan bisnis mulai berinisiatif mengubah kain batik menjadi barang sederhana yang mudah terjual, seperti masker wajah, celemek, dan sajadah. Hingga saat ini, kami belum membuka toko, tetapi kami menjual di media sosial dan menghubungi pelanggan secara perorangan.”
“Menurut saya, penjualan meningkat cukup signifikan dalam sebulan terakhir karena banyak yang berbelanja untuk hadiah Ramadan. Namun, harus saya akui penjualannya turun sebanyak 60 persen. Saya belajar dari perempuan di Indonesia bahwa saya harus memahami rasa kolektif dan solidaritas di antara perempuan serta melihat kreativitas dan inovasi melalui akses digital,” imbuhnya.
Rahmatina memaparkan perspektif dan pengalaman melalui materinya mengenai giving behavior, pandemic, and women in Indonesia. Menurut World Giving Index oleh Charity Aid Foundation (2019), Indonesia terdaftar dalam 10 negara paling dermawan di dunia selama 10 tahun terakhir. Banyak penduduk Indonesia lebih mungkin membantu orang asing atau menyumbangkan uang dan waktu. Terbukti, Indonesia pertama kalinya menduduki peringkat pertama dari 146 negara dalam World Giving Index pada tahun 2019.
“Kemurahan hati adalah bagian dari budaya Indonesia. Kita dapat melihatnya dari tradisi Morakka’bola dari Sulawesi Selatan yang membantu warga yang hendak pindah rumah, Sinoman dari Jawa yang membantu secara sukarela pada acara pernikahan atau acara lainnya, dan Marsialapari di Sumatra Utara yang Saling menolong pada saat memasuki masa tanam dan panen padi. Kedermawanan sangat erat kaitannya dengan religiusitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha. Seluruh agama tersebut sangat mendorong kemurahan hati dan perilaku memberi.”
COVID-19 tersebar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Menurut WHO pada 21 April 2021, 141.754.944 kasus telah terkonfirmasi. Pandemi telah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi (PDB) Indonesia turun 2,07 persen pada 2020, angka kemiskinan meningkat dari 9,22 persen menjadi 10,19 persen, dan, angka pengangguran meningkat dari 4,94 persen menjadi 7,07 persen.
Wanita lebih terdampak pandemi. Ketidaksetaraan gender melebar ketika perempuan mengambil lebih banyak tanggung jawab. Sebuah laporan terbaru oleh PBB menunjukkan bahwa kesehatan mental perempuan telah mengalami kemunduran lebih besar, 57 persen wanita mengalami peningkatan stres dan kecemasan, lebih tinggi 9 persen dari pria.
Pandemi telah menciptakan masyarakat yang lebih empati dan peduli. Mereka lebih kuat dalam solidaritas sosial dan lebih bersedia membantu orang lain. Berdasarkan penelitian Inventure-Alvara (2021), 92,9 persen responden menjawab bahwa mereka memberikan sumbangan dalam situasi pandemi ini. Pandemi telah meningkatkan donasi yang dilakukan dan memperkuat kebiasaan berdonasi melalui saluran digital, berdasarkan GoPay Digital Donation Outlook (2020), sejak COVID-19, persentase donasi secara digital meningkat dari 32 persen menjadi 43 persen.
“Menurut beberapa ahli terkemuka, anak perempuan dan perempuan lebih cenderung terlibat dalam perilaku pro-sosial daripada anak laki-laki dan laki-laki. Wanita juga secara signifikan lebih mungkin untuk memberi amal. Di semua budaya, wanita menghargai kebajikan (misalnya memberi dan membantu orang lain, menyediakan kesejahteraan umum) lebih dari pria. Dengan kata lain, perlu adanya peningkatan peran perempuan untuk mencapai pemulihan COVID-19 yang adil dan berkelanjutan,” ujarnya.
Mengakhiri paparan, Rahmatini mengutip pesan inspiratif Raden Ajeng Kartini, “Saya pikir, kita harus hidup bersama dan untuk banyak orang. Itulah tujuan hidup untuk membuat hidup indah.”
Pada akhir acara, Beta mengucapkan terima kasih kepada para penyelenggara yang telah berhasil menjalankan webinar dengan baik, para pembicara wanita luar biasa yang telah menunjukkan bahwa mereka mampu mengambil peran penting untuk mendorong wanita meningkatkan kehidupannya, dan para partisipan yang telah meluangkan waktu untuk hadir pada webinar hingga akhir.