Opini I Media Indonesia, Selasa, 10 Oktober 2017
BANYAK sekali pemangku kepentingan (stakeholder) di Indonesia -di dalam dan di luar pemerintah- yang tidak mengetahui bahwa Putaran Doha (WTO Doha Round) tahun lalu praktis terhenti sesudah negosiasi-negosiasi selama hampir 15 tahun berjalan.
Yang tertinggal sekarang di WTO cuma fungsi menengahi perselisihan-perselisihan (dispute settlements) sampai dengan ke tingkat banding dalam segala isu perdagangan serta investasi di antara negara anggota.
Posisi WTO karena itu praktis serupa dengan yang telah disetujui di Uruguai Round, yakni ketika lembaga GATT yang dibentuk sejak PD II berakhir digantikan WTO yang bersifat lebih permanen, disertai keputusan-keputusan yang bersifat mengikat dengan sanksi-sanksi yang berkaitan.
Sikap yang keras dari pemerintahan Presiden Trump terhadap posisi-posisi globalisasi yang berjalan makin cepat di bawah WTO, yang dituduhnya ‘merugikan ekonomi, bisnis, dan masyarakat AS’, semakin memperlemah posisi WTO.
Bahkan dengan berslogan America First, Let’s Make America Great Again, Presiden Trump menghentikan negosiasi-negosiasi AS di TPP (Trans-Pacific Partnership) secara sepihak. AS juga seperti tidak antusias tentang negosiasi-negosiasi TTIP (Transatlantic Trade and Investment Partnership), selain mengancam peninjauan kembali dari NAFTA (North America Free Trade Area).
Pada saat yang sama, Inggris telah memutuskan keluar dari European Union, dalam peristiwa Brexit yang mengagetkan. Di banyak negara di lingkungan EU, pemilu demi pemilu telah memunculkan gerakan-gerakan populisme yang menolak globalisasi.
Kali ini populisme yang bermunculan di AS dan EU ialah dari ‘Sayap kanan’, yang mencerminkan kebangkitan kembali sentimen nasionalisme sempit. Gerakan-gerakan ini dinilai sebagai potensi yang mengancam keabsahan dari hasil-hasil negosiasi ekonomi bilateral, regional, dan multilateral yang telah berjalan sejak berakhirnya PD II.
Akibat dari proses ‘deglobalisasi’ ini antara lain ancaman terjadinya trade war antara AS dan Tiongkok, antara AS dan beberapa negara EU bahkan dengan sekutu-sekutu geopolitik AS seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Proses deglobalisasi ini telah semakin memunculkan skim kerja sama bilateral seperti FTA (free trade agreement) dan yang sejenisnya, yang sekarang telah mencapai jumlah puluhan yang berperan penting. Koordinasi kebijakan global di bidang ekonomi semakin sirna.
Di tengah-tengah situasi global yang semakin tidak menentu ini, posisi BP Batam -yang pada awal reformasi telah berbentuk otorita -perlu ditinjau kembali karena jelas terancam proses semakin surut relevansinya. Hampir semua negara industri yang penting tampak seperti mulai balik ke cara-cara proteksionisme di dalam berbagai variasi.
(Patut dicatat: negosiasi-negosiasi puluhan tahun di GATT dan di Doha Round telah mengenalkan keberadaan berbagai metode proteksionisme dalam jumlah yang semakin meningkat dan dicoba untuk dilucuti demi keterbukaan ekonomi serta bisnis global. Dewasa ini, pengetahuan metode-metode itu malah digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menuju ke trade war).
Pada dekade 1960-an, di bawah tahapan-tahapan negosiasi GATT untuk memperkuat globalisasi, muncullah di banyak negara berbagai upaya rekayasa untuk memulai proses industrialisasi yang diarahkan ke kegiatan ekspor demi pemanfaatan pasar global yang semakin terbuka.
Pada saat itulah di Jepang diciptakan rekayasa yang dijuluki ‘Nippon Inc’, yang memadukan koordinasi serta kerja sama erat di antara METI (Ministry of External Trade & Industry), Bank of Japan, Keidanren–himpunan konglomerat-konglomerat, dan sebagainya.
Model rekayasa kelembagaan skala besar ini ditiru Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia, dll.
Sejak pemerintahan dipimpin Deng Hsiao Ping, RRC mulai mengadopsi model rekayasa kelembagaan ini di dalam skala yang masif, yang bersifat komprehensif yang dimungkinkan di bawah pemerintahan PKC.
Begitulah, kalau pembangunan kawasan-kawasan industri yang bersifat wilayah khusus (enclave), yang didukung kemudahan-kemudahan birokrasi serta skim-skim insentif, dilakukan di Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Thailand, RRC langsung menggunakan strategi rekayasa SEZ (special economic zone) yang sangat luas wilayahnya dan sangat jauh derajat kebebasannya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sangat ‘liberal’.
Hampir seluruh wilayah pantai Tiongkok diliputi SEZ, yang didukung sistem global supply-chain, pelabuhan-pelabuhan peti kemas bertaraf global dan kapasitas armada kapal milik Tiongkok yang menguasai jalur-jalur perdagangan global.
Akibatnya, export-based industrialisation berhasil digunakan untuk menjadikan RRC sebagai raksasa industri yang kita lihat dewasa ini, yang menimbulkan ‘kejengkelan’ Trump.
Menarik sekali metode rekayasa kelembagaan yang dilakukan Korea Selatan belakangan ini.
Dengan memanfaatkan skim FTA yang melibatkan sejumlah 52 negara, mereka mengalihkan strategi FTZ (free trade zone) atau EPZ (export-processing zone) yang mirip tapi lebih efektif daripada Batam, ke strategi Korean Free Economic Zone (KFEZ).
Dewasa ini delapan KFEZ telah mulai dibangun atau telah beroperasi. RRC tidak memiliki FTA sebanyak itu, dan karena itu Korea Selatan yakin bahwa KFEZ akan mampu menyaingi SEZ seperti Shenzhen.
(Perlu diingat, bagaimana KFEZ tersebut memanfaatkan kesuksesan-kesuksesan generasi ke-1 dan ke-2 dari EPZ mereka, yang memacu export-based industrialisation-nya pada beberapa dekade yang lalu.)
KFEZ ini diperkirakan mampu mengakses sekitar 74% daripasar global lewat pemanfaatan intensif dari FTA sejumlah 52 tersebut.
Dari gambaran di atas, tampak betapa beratnya tantangan yang dihadapi Batam dewasa ini dan ke masa depan yang dekat.
Hal ini terkait dengan kenyataan, bagaimana sejak berdirinya FTZ Batam, yang meliputi wilayah Kepulauan Barelang, perkembangan kapasitasnya praktis jauh lebih lambat daripada yang tampak di Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan bahkan Thailand.
Sebagian besar sumber persoalannya, seperti telah banyak dibahas di berbagai media kita, terletak pada bidang domestik kita, baik di pemerintah pusat maupun pemda terkait.
Kemampuan bermanuver Batam telah sangat dibatasi ruang gerak di bidang domestik yang sulit dikembangkan.
Apalagi di tengah-tengah berganti-gantinya secara fundamental sistem politik kita pada periode akhir 1960-an sampai sekarang.
Patut diingat bahwa isu ini tidak begitu mengemuka di negara-negara di atas, yang menganut one-party state system dalam berbagai variasinya.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
Guru Besar Emeritus
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia