Telisa Aulia Ulas Fenomena Pelemahan Rupiah
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
Sejak awal 2018 pelemahan mata uang rupiah mengundang kekhawatiran publik, karena sebagian dari mereka masih trauma pada era krisis moneter (1997-1998). Nilai tukar rupiah nominal terkuat pernah mencapai Rp8.555 per USD pada Mei 2011. Dengan nilai tukar terendah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) di level Rp14.404 per USD, terdapat jarak yang lebar antara kurs terkuat dan terlemah dalam rentang waktu tujuh tahun.
Depresiasi rupiah secara kumulatif ialah 40,6%, artinya rupiah telah kehilangan nilainya secara nominal sebesar 40% terhadap mata uang dollar dengan asumsi 2011 sebagai basis. Kehilangan nilai ini bisa memengaruhi nilai aset dalam denominasi rupiah, artinya orang yang memegang aset dalam rupiah akan mengalami penurunan dalam nilai aset sebesar 40%.
“Pada tulisan ini saya ingin menyoroti secara lebih filosofis dan mendalam terkait pelemahan rupiah ini. Sudah banyak tulisan yang mengulas pelemahan rupiah. Penyebab yang dibahas, antara lain kenaikan dan ekspektasi kenaikan Fed fund rate (suku bunga acuan AS), dampak perang dagang AS versus Tiongkok, kenaikan harga minyak dunia, serta ketidakpastian pasca-Brexit” jelas Telisa Aulia Falianty dalam tulisannya di koran Media Indonesia, Rabu (4/7/2018).
Melemah atau menguatnya nilai tukar merupakan fenomena ekonomi yang sangat alamiah di dalam sistem nilai tukar mengambang. Pergerakan nilai tukar mencerminkan dinamika perubahan permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing (valuta asing). Pelemahan nilai tukar juga seringkali dikaitkan dengan peran para spekulan.
Spekulan ini biasanya memiliki banyak cadangan valas dan lembaga hedge fund yang besar. Bank sentral dengan koordinasi yang kuat dengan pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk menghadang serangan para spekulan ini, di antaranya kebijakan yang ahead the curve, pre-emptive, dan front loading. Kemudian, bank sentral telah mengeluarkan berbagai aturan untuk memperkuat pengelolaan devisa dan telah mengeluarkan juga PBI terkait kewajiban penggunaan rupiah dalam transaksi di domestik.
Selanjutnya, bank sentral telah mengatur transaksi spot dan transaksi derivatif valas yang standar yang dilakukan bank dengan nasabah di atas jumlah tertentu (threshold), wajib memiliki underlying transaksi. Dan terakhir, bank sentral juga telah memperketat izin operasional kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA). Selama ini, spekulasi bukan tidak mungkin dilakukan melalui money changer.
Pelemahan rupiah bukanlah yang terburuk karena ada negara-negara yang mata uangnya melemah lebih parah. Namun, yang perlu dikhawatirkan ialah persistennya pelemahan rupiah kali ini cukup besar. Belum ada tanda rupiah akan kembali menguat, setidaknya ke kisaran Rp12.000 – Rp13.000. Angka ini masih jauh dari rata-rata nilai tukar dalam 18 tahun terakhir di kisaran Rp10.000 per USD.
”Faktor fundamental daya saing dan produktivitas domestik menjadi sangat penting untuk ditingkatkan. Kebijakan kenaikan BI rate ialah necessary condition, tetapi tidak sufficient. Kunci produktivitas ekspor menjadi kunci utama dan membutuhkan bantuan semua pihak selain otoritas moneter dan fiskal” tutupnya. (Des)
Sumber: Koran Media Indonesia. Rabu, 4 Juli 2018. Kolom Opini, Hal. 8