Mahasiswa FEB UI Diberi Pembekalan Anti Radikalisme dari BNPT

Mahasiswa FEB UI Diberi Pembekalan Anti Radikalisme dari BNPT

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK (20/08/2018) – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengadakan talkshow di masa Orientasi Pengenalan Kampus bagi mahasiswa baru mengenai “Peran Generasi Millenial dalam Mempertahankan Keutuhan NKRI” yang berlangsung di Auditorium Soeria Atmadja dan Student Center, pada Senin (20/8/2018).

Pembicara yang dihadirkan dalam talkshow ini, di antaranya Komjen. Pol. Drs. Suhardi Alius, M.H., selaku Kepala BNPT, Muhammad Abdullah Darraz selaku Maarif Institute, dan Abdul Muta’ali selaku Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI.

Komjen. Pol. Drs. Suhardi Alius, M.H., memaparkan mengenai ‘Resonansi Kebangsaan dan Bahaya serta Pencegahan Radikalisme’. Radikalisme merupakan suatu paham yang menginginkan sebuah perubahan atau pembaruan dengan cara drastis hingga ke titik paling akar. Bahkan, untuk mencapainya melibatkan banyak cara hingga yang paling ekstrem, yaitu kekerasan baik simbolik maupun fisik dan terbagi menjadi pra radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, dan jihadisasi.

Seseorang yang menganut paham radikalisme sering disebut terorisme. Dinamika propaganda dan rekrutmen terorisme terdapat dua perbedaan. Untuk merekrut terorisme dengan cara lama biasanya dari pendekatan kekeluargaan, pertemenan, ketokohan, dan lembaga keagamaan. Sedangkan cara baru dengan menggunakan website, media sosial, dan social messenger. “Cara barulah yang paling mudah diterapkan saat ini, karena mudah diakses, tidak ada kontrol regulasi & aturan, audiens yang luas, anonim, kecepatan informasi, dan media yang interaktif,” tutur Suhardi Alius.

Proses rekrutmen di Perguruan Tinggi dilakukan dengan cara berdakwah terbuka di ruang terbuka, perpustakaan, aula Fakultas dengan sasaran mahasiswa baru maupun lama. Mereka mencari targetnya melalui kenalan dan minim pemahaman terhadap agama & berjiwa labil. Selain itu, mereka mendoktrin maba dengan ajaran khilafah, dan anti Pancasila (pola pikir garis keras).

Untuk itu, upaya yang harus segera dilakukan bagi dekan, dosen, maupun sivitas akademika untuk mencegah radikalisme/terorisme di Perguruan Tinggi, antara lain memantau kehadiran dan dinamika mahasiswa secara teliti, pemberian pembekalan tentang wawasan kebangsaan dan Pancasila serta pelajaran agama yang bersifat moderat, mengintervensi pola mentoring melalui kerjasama dengan alumni dan mahasiswa yang berpengalaman moderat. “Selain itu, memberlakukan sanksi kepada sivitas akademika yang terindikasi melanggar/mendukung pahal radikal,” tutup Suhardi Alius.

Kemudian, Muhammad Abdullah Darraz mengatakan Indonesia terdiri dari ragam agama, keyakinan, bahasa, suku, daerah, dan pilihan politik. Kebhinnekaan tersebut dibingkai dalam satu ikatan kesatuan, Bhinneka Tunggal Ika.

“Keberagaman Negara Kesatuan Republik Indonesia disatukan oleh adanya satu pengalaman bersama, yaitu mengalami ketertindasan akibat penjajahan dan pengalaman senasib sepenanggungan,” ucap Muhammad Abdullah Darraz.

Tantangan dan ancaman kebhinnekaan NKRI, antara lain intoleransi terhadap perbedaan, penolakan & intimidasi terhadap kelompok minoritas keagamaan di Indonesia, dan beredarnya informasi hoax di media sosial yang dapat memecah belah persaudaraan. “Dewan Pers mencatat, jumlah situs portal berita di Indonesia mencapai kisaran 43.000. Jumlah yang terverifikasi sebagai situs berita resmi hanya 200-an. Artinya ada puluhan ribu situs yang belum jelas statusnya dan berpotensi menyebarkan hoax,” tutup Muhammad Abdullah Darraz.

Dan terakhir, Abdul Muta’ali menyampaikan bahwa seseorang yang menganut paham radikalisme dikarenakan pemahaman ajaran Islam secara literal yang menyebabkan adanya beberapa kesalahan dalam penerjemahan. Selain itu, produk globalisasi juga menjadi faktor penyebab mudahnya memberikan informasi paham radikalisme kepada calon bidik pengikutnya.

“Sering sekali dalam proses mencari pengikut dari terorisme ini mengatasnamakan agama Islam yang dilandasi oleh ilmu yang tak sesuai dengan ajaran Islam, syahadat yang melenceng, dan salah menafsirkan makna perjuangan (jihad) sesungguhnya dalam Islam,” kata Abdul Muta’ali.

Dengan demikian, peran generasi millennial sangat diharapkan untuk menangkal terjadinya paham radikalisme/terorisme di lingkungannya terutama kampus. Selain itu, juga pentingnya menjaga sebuah persatuan dalam menjaga keutuhan NKRI. Karena pemuda adalah tulang punggung bangsa, banyak rintangan dan hambatan untuk generasi muda dalam menjaga keutuhan NKRI. (Des)