Kiki Verico: Ekonomi dan Relativitas
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
Dari sisi relativitas waktu, ekonomi bersifat dinamis. Saat ini dinamika ekonomi yang paling sering dibicarakan dunia ialah migrasi cara produksi, penjualan dan pembayaran dari konvensional ke online. Perubahan itu berdampak pada semua pihak di semua negara. Konsumen semakin dimudahkan untuk membeli barang dan menyewa jasa yang tidak hanya berasal dari suplai dalam tetapi juga luar negeri.
Konsumsi atas jasa pun kini mengalahkan barang. Perputaran uang semakin cepat dan persaingan usaha semakin ketat. Produsen dituntut semakin efisien dan terbuka untuk kolaborasi. Manajemen produksi dan pemasaran kini dapat dilakukan secara online berbasis informasi data yang sangat besar.
“Informasi data besar atau big data membuka peluang besar produsen membaca perilaku konsumen dan pesaing. Data besar membantu siapa pun yang memilikinya mendeteksi arah minat konsumen dari jejak digital atas barang dan jasa yang ia tinggalkan. Dalam dunia yang semakin dinamis, pemerintah di seluruh dunia harus segera beradaptasi agar kebijakannya tidak mengurangi manfaat yang telah dinikmati konsumen dan bisnis online tetap hidup,” ucap Kiki Verico dalam rilis tulisannya di Koran Media Indonesia, (20/2/2019).
Selain relatif terhadap waktu, ekonomi juga relatif antarfaktor. Setiap faktor ekonomi tidak berdiri sendiri karena terkait dengan faktor lain. Dalam enam tahun terakhir sejak 2013, RI mengalami defisit transaksi berjalan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi lebih rendah jika dibandingkan dengan periode enam tahun sebelumnya ketika transaksi berjalan surplus.
Pertumbuhan ekonomi 2013-2018 rata-rata sekitar 5,1%, sedangkan pertumbuhan ekonomi 2006-2012 sebesar 5,8%. Namun, menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi 5,1% lebih rendah dari 5,8% tidak sepenuhnya tepat karena indikator pertumbuhan ekonomi harus dikaitkan dengan indikator lain seperti penciptaan lapangan kerja.
“Konsep itu dikenal dengan nama Hukum Okun karena berasal dari pemikiran ekonom Arthur Okun pada 1962. Misalnya, pertumbuhan ekonomi periode 2017-2018 sebesar 5,17% yang lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi 2005-2006 sebesar 5,5%, tetapi angka pengangguran terbuka Februari (2017-2018) menurun,” ujarnya.
Melalui Hukum Okun terlihat, kendati pertumbuhan ekonomi 2017-2018 lebih rendah daripada 2005-2006, pertumbuhan ekonomi 2017-2018 ini lebih tinggi daripada minimum pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja pada periode itu, yaitu 4,7%. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang rendah belum tentu ‘rendah’ karena harus dikaitkan dengan faktor lain seperti penciptaan lapangan kerja.
Selain penciptaan lapangan kerja, inflasi juga membawa sifat relatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Inflasi menurunkan daya beli. Namun, ia dibutuhkan untuk menghasilkan ekspektasi optimistis di dunia usaha. Dalam kondisi normal, laju inflasi berbanding terbalik dengan angka pengangguran. Turunnya angka pengangguran menunjukkan produktivitas meningkat sehingga lapangan kerja baru bertambah.
Kondisi optimal tercapai ketika para pekerja baru mampu beradaptasi dengan cepat sehingga peningkatan output lebih cepat daripada penambahan lapangan kerja. Peningkatan output ialah pertumbuhan ekonomi, sedangkan penambahan lapangan kerja ialah proksi laju inflasi. Data menunjukkan bahwa sejak RI mengalami defisit transaksi berjalan pada 2013, rata-rata pertumbuhan ekonomi memang hanya sekitar 5,1%. Namun, angka ini selalu lebih tinggi daripada rata-rata laju inflasi sebesar 4,05%.
Fakta ini menunjukkan, kendati tumbuh pelan, ekonomi RI berada pada periode produktif karena laju pertumbuhan jumlah uang beredar diterjemahkan lebih besar pada pertumbuhan ekonomi tinimbang kenaikan harga. Selain itu, laju inflasi yang rendah dan terkendali membuat tekanan pada suku bunga mengecil dan transmisi dari pelemahan rupiah tidak otomatis memicu inflasi.
“Untuk menetralisasi faktor perubahan harga, karena merupakan bagian dari nilai tambah ekonomi, kedua indikator ini dibagi dengan total nilai produk domestik bruto (PDB). Untuk utang publik, kriterianya mengacu pada standar stability & growth pact (SGP) dengan rasio maksimum total utang publik per PDB nominal sebesar 60% dan defisit tahunan APBN sebesar 3%,” tambahnya.
Total utang publik RI sebesar 29% dan defisit tahunan APBN 1,76% per PDB nominal berada di bawah batas SGP. Indonesia menerapkan disiplin fiskal sehingga anggaran pemerintah berada dalam zona aman. Disiplin fiskal menjadi salah satu faktor yang membuat peringkat investasi RI naik sehingga investor dunia percaya investasi di Indonesia menguntungkan. Itulah sebabnya kita disebut emerging country. Setiap kali arus modal keluar dari negara maju, RI ikut menerimanya dan rupiah menguat.
Relativitas lain yang penting diperhatikan Indonesia ialah defisit neraca perdagangan. Sejak harga minyak internasional turun pada 2012, harga komoditi andalan ekspor Indonesia, seperti sawit, batubara, dan karet, juga ikut turun. Penurunan ini menggerus surplus neraca perdagangan nasional sehingga Indonesia mengalami defisit neraca transaksi berjalan.
Semua tahu bahwa RI harus meningkatkan surplus neraca perdagangan dengan mendorong ekspor manufaktur. Namun, tidak semua sadar bahwa ekspor dan impor manufaktur itu memiliki keterkaitan. Meningkatkan ekspor manufaktur sama dengan meningkatkan impor karena 90% impor nasional ialah barang setengah jadi dan mesin.
Data menunjukkan impor Indonesia naik lebih besar daripada ekspor sehingga dalam jangka pendek surplus neraca perdagangan selalu menurun dan memperlebar defisit neraca transaksi berjalan. Investasi seperti ini membutuhkan ketersediaan SDM berkualitas, pekerja dengan tingkat keahlian menengah tinggi, dan iklim usaha yang kondusif. Oleh karena itu, reformasi struktural harus selalu dilakukan bersamaan dengan upaya peningkatan kualitas SDM.
“Ekonomi relatif terhadap waktu, antarfaktor atau keduanya. Faktor ekonomi secara relatif berdampak atau terdampak sehingga harus dikaitkan satu sama lain dengan benar. Ia secara relatif tidak mutlak sehingga harus dilihat dalam bentuk proporsi. Ia secara dinamis selalu berubah sehingga harus dilihat dalam rentang waktu. Agar akurat, setiap analisis ekonomi harus memiliki dimensi relatifitas waktu, faktor dan pembeda sebab akibat,” tutupnya. (Des)
Sumber: Koran Media Indonesia. Edisi: Rabu, 20 Februari 2019. Kolom Opini. Hal 10.