Ari Kuncoro : Neraca Pembayaran Indonesia
Indonesia mengalami perbaikan kondisi eksternal pada triwulan III-2019. Secara keseluruhan, neraca pembayaran memang masih defisit 46 juta dollar AS.
Indonesia mengalami perbaikan kondisi eksternal pada triwulan III-2019. Secara keseluruhan, neraca pembayaran memang masih defisit 46 juta dollar AS. Namun, kondisi hal ini sudah lebih baik dibandingkan dengan defisit hampir dua miliar dollar AS pada triwulan II-2019. Perbaikan ini terjadi terutama karena neraca barang surplus 1,255 miliar dollar AS pada triwulan III-2019. Akibatnya, defisit transaksi berjalan berkurang menjadi 7,685 miliar dollar AS, dari 8,151 miliar dollar AS pada triwulan II-2019.
Arus modal masuk ikut mengimbangi defisit transaksi berjalan. Akan tetapi, neraca pembayaran Indonesia tetap defisit karena arus pendapatan primer negatif, sebagai repatriasi dari balas jasa modal dari orang asing, termasuk pendapatan dari ekspatriat. Pada triwulan III-2019, pendapatan primer defisit 8,4 miliar dollar AS, yang dikompensasi sebagian oleh surplus pendapatan sekunder yang mencapai 1,78 miliar dollar AS.
Jangka pendek vs jangka panjang
Tren pada Oktober 2019, sebagai bulan pertama pada triwulan IV-2019, juga terlihat menjanjikan. Badan Pusat Statistik mengumumkan, nilai ekspor secara bulanan tumbuh 5,92 persen. Sementara, nilai ekspor secara tahunan turun 6,13 persen. Di sisi lain, impor meningkat 3,57 persen secara bulanan, sedangkan secara tahunan turun 16 persen. Secara keseluruhan pada bulan Oktober tercipta surplus 161,3 juta dollar AS.
Pertanyaan awam, bagaimana menerjemahkan data di atas yang membingungkan. Ada beberapa hal. Pertama, tren jangka pendek versus jangka panjang. Kedua, apakah kenaikan impor itu baik. Jawabannya sangat kompleks, tidak sekedar ya atau tidak. Pertumbuhan tahunan yang negatif menjelaskan situasi belum baik seperti sedia kala. Situasi pada 2018 berbeda dengan 2019.
Pada 2018, perang dagang masih dalam masa gertak-menggertak. Sudah terjadi tren penurunan pertumbuhan perdagangan dunia sejak awal 2018, akan tetapi dampak yang menggigit baru dirasakan dunia, termasuk Amerika Serikat dan China, sejak awal 2019. Sejak Maret 2019, tren pelambatan ini sudah mulai dihubungkan dengan resesi dunia, apalagi indikator tren perbedaan suku bunga jangka pendek dan jangka panjang di AS -yang selama ini digunakan untuk mendeteksi resesi- sudah menunjukkan lampu kuning.
Di lain pihak, pertumbuhan ekspor bulan ke bulan yang positif menunjukkan dunia menyambut prospek perdamaian dagang AS-China, yang sebenarnya juga masih alot. Akan tetapi, setelah sekian lama hanya mendengar berita yang negatif, apa pun yang berbau positif hampir pasti akan mendapat sambutan hangat. Namun, hal ini sekali lagi menunjukkan, ekspor Indonesia dengan basis komoditas masih tergantung dari angin baik internasional. Kenaikan impor secara bulanan juga merupakan cermin dari ketergantungan ekspor dan industri Indonesia terhadap bahan-baku/penolong impor. Bahan baku impor diperlukan jika industri dalam negeri belum dapat menghasilkannya.
Selama ini, subsitusi dari bahan baku impor menuju bahan baku dalam negeri memang terjadi sangat lambat. Pada 2006-2015, persentase produksi yang diekspor menurun dari 12,6 persen menjadi 10,4 persen. Pada saat yang sama, proporsi input industri yang diimpor meningkat dari 8,3 persen menjadi 10 persen. Salah satu strategi melakukan subsitusi impor adalah dengan program B20 yang akan ditingkatkan menjadi B30 yang berdampak nasional. Namun, perlu juga diperhitungkan melakukan subsitiusi impor melalui perbaikan perizinan dan investasi yang mengubah struktur industri Indonesia dengan fokus mendorong industri bahan baku industri dan penghasil input industri yang lain. Salah satu contoh adalah industri mobil listrik.
Bank of America memperkirakan, dalam 10 tahun mendatang, permintaan minyak dunia akan mencapai puncaknya kemudian menurun. Pada 2030 diperkirakan pertumbuhan permintaan minyak dunia akan mencapai nol persen per tahun. Faktor penyebabnya adalah penyebaran mobil listrik. Kendati demikian, pertumbuhan kendaraan listrik akan terhambat kelangkaan barang tambang langka yang digunakan untuk bahan baku baterai, yaitu Lithium dan Cobalt. Lithium terkonsentrasi di beberapa negara Amerika Latin, sedangkan Cobalt ada di Republik Demokrasi Kongo yang pemerintahannya tidak stabil.
Pada 2020, kendaraan listrik hanya mengambil pangsa 5 persen dari penjualan kendaraan bermotor dunia. Pangsa ini diramalkan akan meningkat menjadi 40 persen pada 2030 dan 95 persen pada 2050. Ditandatanganinya Peraturan Pemerintah tentang Mobil Listrik memberi isyarat jalur ekspansi Indonesia di masa depan ke arah industri yang mempunyai basis sumber daya dalam negeri. Nikel dan Cobalt merupakan hasil tambang Indonesia yang menjadi elemen utama industri baterai mobil listrik.
Dengan jumlah penduduk yang besar sebagai penyangga pasar, Indonesia mempunyai prospek baik berperan dalam industri otomotif dunia di masa depan.
Sumber: Harian Kompas : 19 November 2019